
Erwiana Sulistyaningsih yang ditemani sang ayah menceritakan ulang tentang pengalaman perjuangan dari tahun 2014 sampai 2017, “Tahun 2014 hak normatif saya dilanggar, seperti tidak digaji, tidak diberi makan, itulah yang membuat saya berusaha kabur. Tetapi PT mengembalikan saya kembali ke rumah majikan dengan penjagaan yang jauh lebih ketat”, tutur Erwiana. Perjuangan yang terus menerus dilakukan akhirnya membuahkan hasil, kedua majikannya dipenjara selama 6 tahun melalui putusan pengadilan yang terhitung mulai tahun 2015. Erwiana Sulistyaningsih tidak berhenti pada tuntutan pidana tetapi juga melayangkan tuntutan perdata mengingat cacat fisik yang dideritanya membutuhkan biaya. Kemudian, pada tanggal 21 Desember 2017 Erwiana memenangkan gugatan ganti rugi sebesar HKS 809.430 ($103.489). Tetapi perlu diingat bahwa kemenangan yang didapat barulah kemenangan di atas kertas, karena ada kekuasaan berlapis yang membutuhkan strategi. Dengan ini pula Erwiana Sulistyaningsih menegaskan “Kemenangan saya bukan hanya soal nominal tetapi juga untuk membangun semangat buruh migran yang Lain”, tutur Erwiana.
Banyak kritik untuk UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) No. 18 Tahun 2017, terutama kritik tentang tanggungan kesehatan buruh migran yang diberikan kepada perusahaan asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). BPJS tidak mampu membayar tanggungan biaya pemulihan psikis. Sehingga, kasus yang menimpa Erwiana tidak sepenuhnya diatur di dalam UU PPMI No. 18 Tahun 2017. Karsiwen, ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) turut menyampaikan beberapa aspirasi penting terkait dengan kasus Erwiana dan kekecewaannya terhadap kebijakan UU PPMI No. 18 Tahun 2017, “Tidak semua daerah menyediakan psikolog, sedangkan membayar psikolog itu tidak murah dan BPJS tidak mengcover itu”, tutur Karsiwen.
Kemudian, Magdalena Sitorus kembali menjelaskan pentingnya organisasi untuk membantu buruh migran baik di dalam maupun luar negeri. Kasus Erwiana merupakan kasus pertama yang dapat dimenangkan di Hongkong. Pasalnya pengadilan Hongkong kerap kali tidak peduli dengan isu human trafficking. Kasus pemalsuan data yang dilakukan oleh PT maupun pihak terkait tidak dijadikan sebagai kejahatan, melainkan buruh migran tertuduh sebagai pelaku kejahatan. Sehingga, kasus Erwiana dapat dikatakan sebagai sebuah kemajuan atas kesadaran hak buruh migran. Komnas Perempuan ikut serta memberikan edukasi agar buruh migran dapat memberi laporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perkembangan dan data terkini mengenai buruh migran. Oleh karena itu, keberhasilan Erwiana dalam memenangkan kasus sampai ke pengadilan merupakan awal dari banyak perjuangan buruh migran lainnya. Kemenangan ini juga membuktikan apabila sebuah kasus dikawal dengan serius, maka kita bisa memunculkan perubahan. (Iqraa Runi)