
Pada acara tersebut, Ema Liliefna menyampaikan bahwa konvensi ini akan memasuki pembahasan final dalam tiga sidang perburuhan internasional dari tahun 2018 sampai dengan 2020. Ema menyatakan bahwa pengusaha dan pemerintah memiliki keberatan dalam menyikapi isu Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). “Jarang Perusahaan mau mengakui bahwa ruang kerja berkaitan dengan ruang privat atau rumah tangga. Padahal penelitian yang dilakukan oleh ILO menunjukkan tidak jarang istri masih diancam sampai ke kantor apabila terjadi KDRT di rumahnya”, tutur Ema. Bagi Ema perlu ada pendekatan serius kepada perusahaan agar dapat menyuarakan hal yang sama yakni melindungi perempuan di lingkungan kerja.
Sementara itu, Lita Anggraini menyampaikan konvensi ini lahir karena desakan dan penelitian dari berbagai negara anggota ILO untuk memberikan mandat pada negara dalam membuat kebijakan yang memperhatikan hak pekerja. “Syarat tinggi badan, jenis kelamin, dan ras masih menjadi ukuran yang diwajarkan dalam dunia profesionalitas, hal ini tentunya menjadi batasan bagi seseorang untuk bekerja, padahal seharusnya bekerja membutuhkan kualitas skill” tutur Lita.
Kemudian, Fitri mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki arus migrasi buruh yang tinggi, namun belum memiliki kebijakan yang memadai dalam menangani persoalan yang dialami para pekerja migran. Fitri mengakui bahwa Indonesia masih kental dengan budaya patriarki dan diskriminasi pada pekerja apalagi pekerja perempuan. Selain itu Fitri juga mengungkapkan bahwa Migrant care menemukan ketertindasan buruh migran memiliki tiga fase. Pertama, fase sebelum bekerja. Pada fase ini buruh migran tidak diberikan pendidikan yang memadai oleh biro Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Kemudian, pada fase saat bekerja, sering ditemukan buruh migran mengalami pelecehan baik verbal maupun non-verbal dari majikan. Yang terakhir adalah fase setelah bekerja. Pada fase ini buruh migran sering mendapat bayaran yang tidak sesuai, tidak jarang pula nasib buruh migran berakhir pada eksekusi mati. “Pejuangan buruh migran perlu didukung, pagi tadi Migrant Care mendapat kabar bahwa Tuti Tursilawati dieksekusi mati di Arab Saudi tanpa ada notifikasi” tutur Fitri.
Selanjutnya, Lilis Mahmudah menyatakan dukungannya atas konvensi ILO tersebut, karena menurutnya konvensi tersebut dapat mengatur persoalan dari hulur ke hilir. Menurut Lilis, selama ini terdapat banyak kasus kekerasan di ruang kerja. Akan tetapi, kasus ini tidak pernah diusut karena keterbatasan perlindungan bagi kaum buruh. Kemudian Mutiara Ika juga menyatakan dukungannya atas konvensi ILO guna mengakhiri diskriminasi di dunia kerja. Ika menekankan bahwa masyarakat perlu mengingat adanya beban ganda yang dilimpahkan kepada perempuan baik secara sosial maupun budaya. “Tidak jarang kita temukan perempuan bekerja di pabrik lalu sampai di rumah harus bekerja mengurus rumah”, tutur Ika. Ia juga menyatakan bahwa yang harus diperhatikan juga adalah cara untuk membongkar beban ganda, bukan sekadar mengatur cara bertahan pada beban ganda. (Iqraa Runi)
Aliansi Bersama Mengakhiri Diskriminasi, Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja:
1. KSBSI
2. KSPI
3. KSPSI-CAITU
4. SPN
5. KSPN
6. KPBI
7. Perempuan Mahardhika
8. JALA PRT
9. SINDIKASI
10. YayasanPerlindungan Insani
11. Kalyanamitra
12. SP TSK-SPSI
13. GERKATIN (Tuli)
14. Institut KAPAL Perempuan
15. JOUDI
16. Rumpun Gema Perempuan
17. YAPESDI
18. SPRT Sapulidi DKI Jakarta
19. SPRT Tangerang Selatan
20. SPRT Tunas Mulia
21. SPRT Merdeka
22. RUMPUN Tjoet Njak Dien
23. RUMPUN
24. TURC
25. Koko.Dirgantoro Opal Communication
27. Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR
28. SPRT Bandar Lampung
29. KIDUNG
30. Migrant Care
31. Institut Perempuan
32. KSARBUMUSI
33. Mitra ImaDEI
34. PPDI Kota Padang
35. www.konde.co
36. LARD Mataram
37. Dewi Keadilan
38. SPRT Paraikatte
39. Asosiasi LBH APIK Indonesia
40. Labor Institute Indonesia.
41. FSPM
42. KOY
43. LBH Jakarta
44. Garteks
45. KOWANI
46. LBH Apik Jakarta
47. SBMI
48. Jurnal Perempuan
49. LIPS