Untuk merayakan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret, Jurnal Perempuan mengadakan serangkaian acara mulai dari kuliah umum, diskusi, pertunjukan seni hingga pameran yang diisi sejumlah organisasi yang bekerja untuk isu perempuan dan kemanusiaan. Acara yang merupakan kolaborasi bersama Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Unversitas Negeri Jakarta ini diikuti sekitar 500 peserta dari berbagai kalangan. Dalam sambutannya Wakil Rektor UNJ Muchlis R Luddin mengatakan diskusi diharapkan dapat menyumbangkan gagasan-gagasan yang dapat mencerdaskan peserta. Sementara itu, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro ketika menyampaikan sambutan menjelaskan perbedaan antara Hari Ibu dan Hari Perempuan Internasional dan alasan kedua hari tersebut perlu dirayakan. Atnike mengutarakan Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember merupakan momen ketika gerakan perempuan Indonesia menemukan jati dirinya. Pada 22 Desember 1928 perempuan Indonesia menemukan satu makna kebangsaan, nasionalisme dan anti penjajahan kolonial dalam Kongres Perempuan. Atnike melanjutkan, sementara Hari Perempuan Internasional adalah hari ketika perempuan di seluruh dunia menemukan identitas politiknya. Hari Perempuan Internasional dikenal ketika perempuan-perempuan pada masa Perang Dunia Pertama menolak keberlangsungan perang dan berdemonstrasi untuk mendesak perdamaian dan hak-hak untuk mendapatkan kehidupan dan kesejahteraan dengan menggunakan istilah bread and peace. Kemudian sejarah itu diperingati dari tahun ke tahun hingga hari ini. Untuk itu menurut Atnike tidak ada salahnya merayakan kedua hari perempuan tersebut. “Yang pertama kita merayakan Hari Ibu sebagai hari perempuan Indonesia, sementara Hari Perempuan Internasional adalah hari bagi perempuan di seluruh dunia untuk menyatakan kebebasan, perjuangan dan aspirasi kita,” tuturnya. Atnike menambahkan Hari Perempuan Internasional kerap diperingati bukan hanya sebagai sarana perjuangan tetapi juga untuk mencatat keberhasilan yang telah dicapai oleh perempuan di seluruh dunia. Lebih lanjut Atnike mengatakan ketika Jurnal Perempuan memilih edisi Feminisme dan Cinta, isu ini menurutnya tepat dalam konteks Hari Perempuan Internasional karena cinta adalah salah satu konsep yang diterima di seluruh dunia, dalam berbagai kebudayaan, bangsa, kelas, etnis, agama dan sebagainya. Semua orang mengenal cinta dalam berbagai aspirasi dan nilai-nilai yang dipercaya atau diyakini. Atnike menjelaskan bahwa dari perspektif feminisme cinta dalam praktiknya kerap mengalami degradasi, baik itu sekadar menjadi komoditas industri komersial untuk menjual tubuh, maupun sebagai sesuatu yang mendominasi yang kemudian melahirkan kekerasan. Kaum feminis memandangnya sebagai cinta yang menindas, cinta yang tidak setara. Untuk itulah menurut Atnike, Jurnal Perempuan mengangkat isu feminisme dan cinta agar kita bisa membedah konsep cinta yang lebih positif. Meskipun dalam praktiknya cinta kerap disalahgunakan sebagai alat dominasi, tetapi kaum feminis juga melihat bahwa cinta dimungkinkan menjadi sarana yang membebaskan. Atnike mengutip seorang feminis bernama bell hooks yang mengatakan bahwa cinta yang membebaskan itu mungkin tetapi bagi kaum perempuan untuk mencari makna cinta maka pertama-tama kita harus mencintai dan mengenali diri kita sebagai perempuan. Oleh karena itu, diskusi hari itu (8/3/2018) diharapkan menjadi ruang untuk mendiskusikan cinta secara kritis dan menemukan cinta yang membebaskan. Cinta tak terbatas hanya pada cinta yang romantis, tetapi juga cinta pada kemanusiaan, cinta pada keadilan dan cinta pada kesetaraan. Sementara itu, Chargé d’Affaires Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste Geoffrey Dean dalam sambutannya mengutarakan bahwa tema Hari Perempuan Internasional di Kanada tahun ini adalah My feminism, yang diinspirasi oleh peran feminsime dalam membawa perubahan di Kanada dan negara-negara lain di dunia. Dean mengungkapkan feminisme adalah tentang kesetaraan, kesetaraan bagi perempuan, laki-laki, dan semua orang dengan berbagai identitas gender. Mencapai kesetaraan gender berarti bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk meraih potensi mereka secara penuh. Dean juga menyampaikan bahwa Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau merupakan seorang feminis sekaligus duta He For She. Menurutnya fakta ini sangat penting karena memajukan hak-hak perempuan dan anak perempuan bukanlah urusan perempuan dan anak-anak perempuan saja. Sebaliknya, ini adalah urusan semua orang. Untuk itu ia mengajak semua orang untuk bertindak sebagai pejuang kesetaraan gender. Dean menambahkan ketika perempuan dan anak-anak perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk berhasil, mereka dapat menjadi pembawa perubahan yang sangat kuat, menggerakkan pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan kerja sama, dan meningkatkan kualitas hidup bagi keluarga dan masyarakat. Lebih jauh Dean menjelaskan Kanada berkomitmen terhadap pendekatan feminis sejati dan mendukung pemberdayaan perempuan dan anak-anak perempuan secara ekonomi, politik dan sosial dan menempatkan kesetaraan gender sebagai sebuah prioritas demi kebaikan semua orang. Untuk itulah menurutnya Kanada memiliki kabinet yang seimbang secara gender, 50% perempuan, 50% laki-laki untuk memastikan pembuatan keputusan yang lebih baik. Lebih lanjut Dean mengatakan dirinya merasa sangat senang berbicara di dalam ruangan yang dipenuhi oleh anak muda, karena mereka adalah pemimpin hari ini dan masa depan. Ia berharap mereka menjadi generasi terakhir yang menghadapi ketidaksetaraan gender. Dean juga mengingatkan bahwa kita sering menjumpai kekerasan berbasis gender di sekeliling kita, dalam bentuk lelucon seksis, dalam bahasa yang kita gunakan, dalam media massa yang merendahkan perempuan. Ia menambahkan kita semua mempunyai peran untuk mematahkan stereotip, mendobrak tabu, dan mengubah perilaku yang mendiskriminasi perempuan dan anak perempuan. Untuk itu Dean mengajak semua peserta untuk berani bersuara, untuk mengupayakan kesetaraan bagi semua orang. “Ini adalah saatnya bagi siapa saja, laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, semua anggota masyarakat untuk berpikir dan bertindak sebagai pejuang gender,” tutur Dean mengakhiri sambutannya. Usai sambutan, acara yang didukung oleh Kedutaan Kanada dan Ford Foundation ini dilanjutkan dengan kuliah umum tentang Cinta dan Politik oleh Rocky Gerung, pengajar Kajian Filsafat dan Feminisme Jurnal Perempuan. Setelah itu diskusi dengan tema Feminisme dan Cinta digelar dengan menghadirkan empat pembicara yakni Robertus Robet, Dosen Sosiologi FIS UNJ, Sri Nurherwati, Komisioner Komnas Perempuan, Kartika Jahja, musisi dan aktivis kesetaraan gender dan Naufaludin Ismail, penulis JP96 dengan dipandu oleh Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy. Usai diskusi acara yang berlangsung di Gedung Dewi Sartika UNJ ini diisi dengan pentas seni yang menghadirkan bintang tamu SIMPONI Band yang dikenal sebagai grup musik yang aktif mengampayekan isu perempuan, lingkungan dan anti korupsi. Acara juga dimeriahkan oleh penampilan Paduan Suara Kajian Gender Universitas Indonesia. Sejumlah organisasi seperti Help Nona, Perempuan Peduli, Akara Perempuan, Perutpuan, Kojigema Institute, dan LBH Masyarakat turut membuka stan untuk memperkenalkan organisasi mereka kepada publik. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |