
Dewi Candraningrum dalam presentasinya menyampaikan bahwa sebenarnya peradaban Indonesia mempunyai hutang besar pada kelamin kita. Dewi menjelaskan mengenai buku yang ditulis Freud yaitu The Riddle of Femininity yang menjelaskan bahwa pada seksualitas perempuan ada kecemburuan terhadap penis yang disebut penis envy. Ia juga menjelaskan bahwa pada abad pertengahan Eropa itu menempatkan seks sebagai shame dan disgust, sebagai sesuatu yang memalukan dan menjijikkan. “Peradaban kita telah mereduksi apa yang disebut kelamin seperti yang terjadi pada abad pertengahan Eropa”, Dewi menegaskan. Karena menurutnya sebelum Portugis dan Belanda masuk, Indonesia mempunyai rekam jejak dan dokumentasi yang agung dan suci mengenai seksualitas, seperti Lingga dan Yoni yang ada di Candi Ceto. Mitos seks di Nusantara itu digambarkan sebagai ritual yang suci. “Peradaban, negara dan kita semua punya hutang pada kelamin”, sekali lagi Dewi menegaskan. Dia menyebutkan tragedi Jugun Ianfu pada tahun 1945, Gerwani pada 1965 dan sampai dengan tragedi perkosaan pada perempuan etnis Tionghoa membuktikan bahwa seksualitas itu bisa menjadi alat politik yang sangat efisien untuk melancarkan fitnah dan menutupi sejarah—seperti pada tulisan Saskia Wieringa, Sexual Slander, di Indonesian Feminist Journal Vol.3. “Kita punya hutang terhadap kelamin, karena meletakkan seksualitas sebagai kejijikkan yang kemudian ditutup oleh tirai-tirai yang disebut tabu, ditambah lagi dengan diakselerasi oleh tafsir-tafsir konservatif. Pengetahuan seksualitas kita semakin mundur”, tutur Dewi.
Pada kesempatan ini juga Dewi menceritakan tentang pengalamannya mengadvokasi korban perkosaan terduga Raja Solo yang pada saat memberikan kesaksian di pengadilan dia tidak sanggup memberikan pernyataan, seperti apa yang disebutkan Freud sebagai hysteria. “Mitos besar itu menjadikan keperawanan sebagai sesuatu dokumen penting yang tidak boleh rusak atau hilang, sehingga korban perkosaan akan teropresi karena mitos itu”, tutur Dewi. Menurut Dewi seharusnya kita menanamkan kepada anak-anak kita bahwa nilai dan harga diri bukan diukur dari seksulitas tapi diukur dari karya. Hal itu menjadi catatan penting karena perempuan korban perkosaan yang depresi, gila atau hysteria itu kesaksiannya tidak dipertimbangkan di mata hukum. “Narasi yang tumbuh di masyarakat adalah seperti narasi Freud mengenai maskulinitas yang harus menindas feminitas”, ungkap Dewi. (Andi Misbahul Pratiwi)