Dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015 yang diadakan di Auditorium Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia (15/10/2015), Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan memaparkan materi berjudul “Negara, Seksualitas dan Pembajakan Narasi Ibu”. Adapun tema besar yang diangkat dalam seminar yang diadakan oleh Forum Kajian Antropologi Indonesia ini adalah “Narkoba, Seksualitas dan Politik”. Dewi menyoroti keterkaitan antara teori Michel Foucault mengenai biopower, biopolitics dengan konsep Narasi Agung Ibu. Michel Foucault, Bapak teori kritis, tidak membahas secara mendalam mengenai biopolitik. Hal itu dibahas dengan lebih mendalam oleh Jean Francois Bayart. Namun yang perlu diperhatikan dari penjelasan Foucault mengenai biopolitik adalah bagaimana biopolitik kemudian menggunakan tubuh sebagai instrumen kekuasaan. Tubuh di sini dilihat sebagai instrumen kekuasaan dan bahkan sebagai sebuah mekanisme disiplin dari suatu negara. Contoh nyata dalam praktik biopolitik adalah bagaimana Presiden Rusia, Vladimir Putin merayu perempuan-perempuan Rusia untuk memiliki lebih banyak anak. Lebih lanjut Dewi mengungkapkan Jean Francois Bayart mengembangkan teori Foucault dan mengeluarkan teori tentang politik perut. Ia menyatakan bahwa kunci dari bagaimana mengontrol sebuah negara adalah dengan mengontrol perempuan atau lebih tepatnya: rahim perempuan yang dipandang sebagai metafora perut. Apa yang terjadi di Rusia, terjadi pula di Indonesia. Rahim perempuan difitnah demi kepentingan dan kebijakan negara. Gerwani, sebagai contoh, lewat fitnah seksual disingkirkan oleh negara karena sifat organisasinya yang politis dan karenanya tidak sesuai dengan konsep perempuan pada masa Orde Baru (pendamping dan asisten bagi laki-laki, pengurus rumah tangga atau urusan domestik, dan sebagainya). Dewi menjelaskan bahwa konsep perempuan pada masa Orde Baru merupakan contoh dari bagaimana negara mengkonstruksikan apa yang disebut dengan narasi agung tentang ibu. Hampir setiap negara memiliki narasi agung ibu masing-masing dan sesungguhnya konsep-konsep ini berbahaya. Freud, contohnya, merumuskan definisi Ibu yang menurutnya istilah ibu hanya diperuntukkan bagi perempuan yang memiliki rahim, memiliki tugas prokreasi dan memiliki fungsi pengasuhan. Dalam konsep Ibu yang dirumuskan Freud ini, Ibu mengalami kastrasi berkali-kali. Nama, ego dan seksualitas perempuan disunat oleh konsep-konsep narasi agung ibu semacam ini. Pada masa ini, narasi agung ibu tidak lagi dianggap layak oleh negara-negara maju karena tidak sesuai dengan fakta sosial. Pada faktanya konsep pengibuan semakin beragam dengan adanya peran single mother, single father, ataupun teman-teman LGBT dengan konsep pengibuan tersendiri. Ketika seorang perempuan memasuki usia lanjut pun, peran ibu yang tadinya ia jalankan dapat diambil alih oleh anak ataupun orang-orang di sekelilingnya. Bahkan dalam prosesnya, konsep ibu tidak lagi terbatas dalam hubungan personal (individu dengan individu) tetapi juga dalam hubungan yang lebih luas yaitu negara dengan warga negaranya. Dewi menutup paparannya dengan penyataan bahwa kenyataan sosial ini menunjukkan bahwa narasi agung ibu yang kaku dan mendiskreditkan tubuh serta peran perempuan sudah tidak sesuai lagi dan tidak layak untuk terus dipaksakan oleh negara. (Johanna Poerba) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |