Pada Jumat (27/9/24), telah diadakan diskusi publik dalam rangka peluncuran dan diseminasi hasil penelitian bertajuk “Catatan Kelabu Pelindungan Pembela HAM 2014-2023” yang dilakukan oleh Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang tergabung dalam Kaukus Perempuan Pembela HAM (PPHAM) dan difasilitasi oleh Kemitraan. Diskusi publik ini dihadiri oleh berbagai aktivis, peneliti, jurnalis, mahasiswa, perwakilan OMS, kementerian, serta berbagai lembaga-lembaga pemerintah. Jurnal Perempuan sendiri menjadi salah satu pihak yang diundang untuk hadir dalam diskusi publik ini, dan telah berkesempatan untuk hadir secara daring. Dalam sambutan pada awal diskusi, Laode M. Syarif selaku Direktur Eksekutif Kemitraan menyampaikan bahwa Kemitraan, sebagai organisasi yang berfokus pada tata kelola pemerintahan, merasa perlu untuk melihat jejak perlindungan HAM selama 10 tahun terakhir. Ini memiliki urgensi yang cukup genting mengingat kian maraknya tren kebijakan negara yang menegasikan HAM dan perlindungan lingkungan. Lantas penting, menurutnya, bagi civil society untuk terus menilai dan memberi masukan bagi pemerintah. Laode memberikan catatan optimis bagi awal diskusi ini, di mana ia berharap temuan dari penelitian ini dapat dijadikan referensi agar pemerintahan baru yang akan datang dapat menjadi “panglima” perlindungan lingkungan, HAM, dan demokrasi. “Penting bagi kita untuk menaruh harapan,” ujarnya, “karena kalau tanpa harapan ya kita mati saja sekarang.”
Setelah sambutan, paparan laporan penelitian disampaikan oleh Zainal Abidin selaku peneliti Kemitraan. Ia membuka paparan dengan terlebih dahulu menyampaikan latar belakang rentang waktu diadakannya penelitian ini, yaitu dua periode pemerintahan Joko Widodo. Ia mencatat bahwa di awal masing-masing periode jabatannya, Presiden Joko Widodo telah menyatakan komitmennya bahwa negara akan negara akan “melindungi, memberi penghormatan bagi pemenuhan HAM, serta rasa aman kepada seluruh warga negara.” Kendati demikian, temuan penelitian PPHAM menemukan fakta sebaliknya: selama kurun waktu penelitian, indeks demokrasi Indonesia kian stagnan atau malah cenderung turun. Tidak hanya kebebasan sipil dan pers yang kian dikekang, tetapi serangan terhadap para pembela HAM juga kian meningkat. Selanjutnya, Zainal juga menyampaikan beberapa pendahuluan mengenai cara kerja penelitian. Penelitian ini mengkaji situasi dan kebutuhan pelindungan Pembela HAM di Indonesia pada kurun waktu November 2014–Desember 2023. Penelitian dilakukan dengan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan untuk memberikan analisis komprehensif. Pengumpulan data dilakukan secara primer melalui wawancara dengan narasumber dari berbagai OMS sekaligus secara sekunder melalui studi pustaka berbagai jenis dokumen. Analisis juga dilakukan baik secara kualitatif melalui identifikasi tema dan pola data, sekaligus secara kuantitatif melalui penyusunan database kasus dan analisis deskriptif statistik. Triangulasi datanya sendiri dilakukan dengan verifikasi-komparasi terhadap berbagai sumber, wawancara mendalam, forum group discussions, dan konsultasi ahli. Dalam penelitian ini, pembela HAM sendiri didefinisikan sebagai “orang dan/atau kelompok dengan berbagai latar belakang, termasuk mereka yang berasal dari korban, baik secara sukarela maupun mendapatkan upah, yang melakukan kerja-kerja pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dengan cara-cara damai” (Peraturan Komnas HAM No.5/2015). Instrumen perlindungan terhadap mereka tercantum dalam berbagai instrumen, baik dalam tingkat nasional dan internasional. Majelis Umum PBB pada tahun 1999 menyatakan kewajiban negara untuk melindungi kebebasan berekspresi, berserikat, serta akses sumber daya untuk advokasi HAM. Terdapat beberapa poin penting yang disampaikan dalam paparan penelitian ini. Pertama, ditemukan bahwa serangan terhadap Pembela HAM terus terjadi dengan tingkat tinggi. Total korban yang teridentifikasi oleh penelitian ini mencapai 5.475 jiwa pada 1.019 peristiwa yang berbeda. Papua menjadi daerah dengan jumlah korban tertinggi, sementara DKI Jakarta menjadi daerah yang mengalami peristiwa terbanyak. Bentuk ancaman atau serangan terhadap Pembela HAM juga menjadi semakin serius dan bervariasi: pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, sebagian besar serangan berbentuk penganiayaan dan ancaman; sementara pada periode kedua, tren serangan berupa judicial harassment (tuntutan perdata, kriminalisasi) meningkat hingga menyentuh angka yang sama. Penelitian juga mencatat bahwa mayoritas korban adalah aktivis, mahasiswa/pelajar, serta jurnalis. Secara khusus, para korban perempuan pembela HAM mengalami serangan yang khas, antara lain melalui ancaman pemerkosaan, pelecehan, kekerasan seksual, diskriminasi berbasis gender, serta pembunuhan karakter berbasis stereotip perempuan. Penelitian ini juga mencatat bahwa pelaku serangan terhadap Pembela HAM didominasi oleh kepolisian dan perusahaan. Serangan-serangan ini mengakibatkan para Pembela HAM kehilangan kebebasan, menderita luka fisik, kerugian dalam pekerjaan, gangguan psikologis, bahkan hingga meregang nyawa. Sebagian besar serangan ini antara lain menyerang hak kebebasan sipil (hak untuk menyampaikan pendapat, hak untuk bebas berkumpul, hak atas keamanan, dsb.) serta hak ekonomi (hak atas pekerjaan, pendidikan, dan sumber daya). Penelitian ini juga mencatat adanya berbagai konteks dan situasi penyebab utama terjadinya serangan terhadap Pembela HAM. Situasi yang terjadi saat ini antara lain adalah agenda pertumbuhan ekonomi yang represif, kepentingan ekonomi entitas bisnis dan korupsi, pelemahan gerakan dan partisipasi masyarakat sipil, konflik dan kekerasan di Papua, penegakan dan penciptaan hukum yang represif, represi yang diakibatkan oleh kepentingan nilai dan kelompok mayoritas, paradigma negatif terhadap pembela HAM, impunitas yang melindungi para pelaku serangan pembela HAM, serta minimnya pengakuan dan dukungan pembela HAM. Penelitian ini memberikan berbagai rekomendasi umum bagi negara, di antaranya bahwa pemerintah harus melaksanakan tanggung jawabnya untuk mengakui, menjamin, dan melindungi Pembela HAM; serta melakukan pendidikan dan pelatihan HAM termasuk pemahaman tentang Pembela HAM kepada aparat pemerintah. Rekomendasi ini juga secara khusus ditujukan kepada parlemen, lembaga-lembaga yudikatif, para aparatur negara, serta lembaga-lembaga terkait seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan juga perusahaan-perusahaan yang seringkali terlibat dalam konflik kepentingan di lapangan. Pasca penyampaian hasil penelitian, Luviana Ariyanti (Founder dan pemimpin redaksi Konde.co) selaku moderator acara mempersilakan empat perwakilan aktor-aktor Pembela HAM untuk membagikan testimoni. Mereka adalah Christina Rumalatu, aktivis Pembela HAM yang melawan perusahaan pertambangan di kampung halamannya di Maluku; Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru Foundation yang berkali-kali mengalami intimidasi, penganiayaan, hingga penangkapan oleh aparat; ibu-ibu warga Rempang yang melawan intimidasi, teror, dan kekerasan dalam perlawanan mereka terhadap PT. MEG (Proyek Rempang Eco City); serta Mareta Sari, Direktur JATAM Kalimantan Timur, yang mengalami intimidasi serta teror dari aparat akibat aktivisme dan kritiknya terhadap proyek Ibukota Nusantara. Pada penghujung acara, terdapat pula sesi Talkshow yang menghadirkan Prof. Mahfud MD selaku akademisi, Dr. Dhahana Putra selaku Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Dr. Atnike Nova selaku Ketua Komnas HAM, dan Mercy Barends, selaku anggota Komisi VII DPR RI. Mahfud mencatat bahwa ada harapan dan peluang untuk memperbaiki situasi yang ada, karena sesungguhnya terdapat pula beberapa kasus-kasus di mana negara telah melakukan pembelaan terhadap Pembela HAM–meskipun jumlahnya tentu sedikit. Penentu kebijakan yang berada di tingkat atas menurutnya lantas menjadi penting, agar aktor-aktor di bawah tidak bersifat sewenang-wenang. Dhanana menekankan pentingnya agar diadakan peraturan pemerintah yang dapat melindungi dan menegaskan keberpihakan pada Pembela HAM. Atnike menerangkan upaya-upaya yang telah dilakukan Komnas HAM, yang salah satunya adalah pengarusutamaan konsep pembela HAM. Mercy menyerukan perlunya membangun budaya demokrasi yang sehat serta pemerintahan yang baik. Di akhir acara, para pembela HAM menyampaikan ekspresi yang rasanya berbanding terbalik dengan sambutan optimis Laode. Delpedro menyatakan bahwa ia “optimis” kondisi kedepan akan lebih buruk. Begitu pula Christina, yang juga jujur mengakui bahwa ia merasa pesimis akan pemerintahan yang akan datang, mengingat “wajah-wajah yang sama” masih memenuhi pemrintahan. Meskipun tiap-tiap individu berhak untuk merasa optimis maupun pesimis terhadap tren pemerintahan yang akan datang, sudah selayaknya kita semua tetap berani berharap dan bekerja untuk terus melanjutkan upaya-upaya yang senantiasa ada untuk memperjuangkan keadilan dan pemenuhan HAM bagi bangsa kita. Melalui kegiatan diskusi publik ini, diharapkan hasil penelitian tersebut dapat disebarluaskan dan disampaikan kepada para pemangku kebijakan, serta mewujudkan advokasi bersama untuk mendesak penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Diharapkan juga adanya pengarusutamaan mengenai konsep pembela HAM, mengapa kerja-kerja mereka penting bagi kita semua, dan dijaminnya perlindungan yang berhak mereka dapatkan. (Faiz Abimanyu Wiguna) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |