Jakarta (23/1), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) menyelenggarakan konferensi pers guna menyampaikan Catatan Awal Tahun (Cawalu) tahun 2020. Kegiatan yang diadakan di Bakoel Koffie, Cikini tersebut dihadiri Dian Kartikasari (Sekjen KPI), Anna Margret (Direktur Cakra Wikara Indonesia) dan Dominicus Dalu (Staf Ombdusman RI) sebagai narasumber. Penyampaian Cawalu merupakan kegiatan yang rutin diadakan setiap awal tahun oleh KPI sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban terhadap publik. Laporan tersebut memotret dan merefleksikan pengalaman yang dialami perempuan Indonesia sepanjang tahun 2019. Dalam laporannya yang disampaikan oleh Dian, KPI menyoroti berbagai persoalan perempuan dalam berbagai isu seperti hukum dan legislasi, SDGs, perlindungan sosial dan layanan dasar, intoleransi, ekstremisme dan terorisme, perempuan dan desa membangun, kelompok rentan, PUG dan prioritas KPPPA. Terkait legislasi, Dian menyebutkan salah satu RUU yang dibahas pada tahun 2019 dan berkaitan dengan perempuan yaitu RUU Kebidanan. “RUU ini hanya mengatur soal pendaftaran bidan, perijinan praktik dan organisasi kebidanan. Kemudian kami kritisi karena RUU tidak menyinggung mengenai layanan kebidanan,” Dian menuturkan. Salah satu masukan yang diberikan adalah jaminan pemerataan persebaran bidan untuk memenuhi kebutuhan perempuan di pedesaan. Masukan terkait layanan kebidanan bagi ibu dan anak serta kesehatan reproduksi kemudian diadopsi ke dalam RUU Kebidanan tersebut. KPI juga menyoroti banyaknya persoalan dalam penyelenggaraan berbagai program perlindungan sosial seperti dana BOS, Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan JKN. Khusus terkait penyelenggaraan JKN, Dian menyampaikan bahwa kenaikan iuran BPJS bukanlah solusi yang permanen karena menurutnya sejak awal BPJS selalu menyampaikan defisit anggaran. “Namun di sisi lain ada isu gaji dan tunjangan bagi pejabat dan direksi BPJS yang sangat tinggi melebihi standar gaji pada badan-badan lainnya dan menjadi sorotan publik namun luput dari perhatian pemerintah dan DPR,” protesnya. Isu lainnya yang Dian sampaikan ialah terkait dengan layanan dasar di bidang Pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat, pekerjaan umum, dan penataan ruang. Berdasarkan pantauan KPI tercatat bahwa belum semua provinsi dan kabupaten / kota memiliki Peraturan Daerah mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar tersebut termasuk pelayanan dan perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Ia menjelaskan bahwa pemerintah daearah wajib memiliki SPM sebagai wujud implementasi dari mandat dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 2 Tahun 2018 dan Permendagri No. 100 Tahun 2018. Dian juga mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2019 pengabaian hak kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, kelompok dengan orientasi seksual dan identitas gender minoritas, buruh migran, perempuan masyarakat adat masih terjadi baik di tingkat nasional maupun lokal. Perempuan dalam kelompok-kelompok rentan tersebut tidak mendapat perhatian bahkan menghadapi berbagai ancaman dan tantangan dalam pemenuhan hak-haknya. Dian menuturkan, “masih banyak diskriminasi yang dialami kelompok rentan, seperti lansia, penyandang disabiltas, LBT, buruh migran dan perempuan masyarakat adat”. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kelompok LBT semakin terancam dikriminalisasi melalui RUU Pidana Propaganda Penyimpangan Seksual. Lebih jauh, KPI juga mencatat berbagai persoalan perempuan pada pemilu 2019 lalu. Dian menyayangkan bahwa adanya praktik partai politik yang menempatkan perempuan sebagai caleh hanya hanya untuk vote getter. Hal itu ditunjukkan ketika seorang caleg perempuan yang terpilih melalui proses pemilu namun kemudian dipecat oleh partai politik, atau kalah dalam proses sengketa pemilu di pengadilan. “Pemanfaatan perempuan sebagai vote getter dalam pemilu menjadi catatan penting supaya ke depan tidak terjadi lagi,” Dian menambahkan. Di sisi lain, hasil pemilu menunjukkan adanya peningkatan keterwakilan perempuan di DPR. Namun menurutnya masih ada tantangan untuk meningkatkan sensitivitas gender para anggota DPR terpilih mengingat hampir sebagiannya adalah politisi baru. Salah satu isu yang juga menjadi perhatian KPI adalah menyoal radikalisme dan ekstremisme. “Isu ini memiliki banyak wajah, mulai dari promosi negara khilafah sampai dengan isu-isu yang berkaitan langsung dengan tubuh perempuan seperti penolakan terhadap aturan yang membatasi perkawinan anak, penolakan terhadap aturan penghentian sunat perempuan dan penolakan terhadap vaksin,” lanjut Dian. Salah satu isu yang juga diusung kelompok tersebut adalah promosi poligami, yang juga dimanfaatkan oleh partai politik untuk meningkatkan perolehan suaranya. Merespons pembentukan kabinet oleh Presiden Joko Widodo dan prioritas KPPPA, menurut Dian turunnya jumlah menteri perempuan dalam kabinet sangat mengejutkan. Selain itu, proritas KPPPA yang terbatas pada 5 hal (UKM Perempuan, Perempuan sebagai pendidik, penghapusan KTPA, penghapusan perkawinan anak, dan juga penghapusan pekerja anak) sangat sempit menurut Dian. Dian menyatakan kekecewaannya karena isu-isu lain yang sempat disuarakan ketika kampanye pemilihan presiden dulu seperti pengarusutamaan gender di segala bidang, pemberdayaan politik perempuan tidak menjadi prioritas sama sekali. “Isu pengarusutamaan gender semakin redup dan perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah hampir tidak ada. Hal ini sangat mengkhawatirkan,” ujar Dian. Menurut Dian, isu-isu yang disebutkannya tidak berdiri sendiri dan saling terkait satu sama lain (intersectional). Dian menjelaskan bahwa pembelajaran yang bisa diambil dari pengalaman-pengalaman perempuan sepanjang tahun 2019 adalah dibutuhkan kecermatan dan kecakapan perempuan dalam mengintegrasikan isu-isu strategis. Dian mencontohkan bahwa isu politik identitas bersinggungan dengan isu kesejahteraan. Sementara itu Direktur CWI, Anna Margret, membenarkan pernyataan Dian yang menyebutkan bahwa perempuan diposisikan sebagai vote getter dalam pemilu. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya perolehan suara bagi kandidat perempuan dalam pemilu 2019 dimana rata-rata kontribusi suara caleg perempuan di setiap partai adalah di atas 20%. Di sisi lain, Anna juga memaparkan bahwa indeks prestasi keterwakilan perempuan dari masing-masing partai politik masih sangat rendah. Indeks keterwakilan perempuan di partai politik adalah perbandingan jumlah kursi perempuan yang diperoleh partai politik terhadap jumlah perolehan kursi partai politik di parlemen. Namun yang perlu dicatat dari data yang disingkap oleh CWI adalah terjadinya defisit suara perempuan dalam proses pemilu. Defisit ini nampak dari jukstaposisi yang menunjukkan semakin kecilnya angka persentase yang dialami perempuan dari mulai pencalonan, perolehan suara (keterpilihan) hingga perolehan kursi perempuan. Variable yang sama pada laki-laki justru menunjukkan angka yang semakin besar. Menyikapi anggota legislative (aleg) perempuan terpilih, Anna menjawab bahwa dibutuhkan diskusi yang lebih adil untuk menelusuri kualitas aleg terpilih. Berangkat dari data yang ada, Anna menyebutkan beratnya pekerjaan rumah dan tantangan yang dihadapi ke depan dalam mewujudkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan. “Apakah 120 orang perempuan yang terpilih dan masuk dapat menentukan atau mempengaruhi proses pembuatan kebijakan maupun pengambilan keputusan di parlemen, masih harus dinantikan bersama,” jelas Anna. Dalam merespons mengenai pilkada yang akan berlangsung tahun ini, Anna menjelaskan bahwa isu utama perempuan dalam pilkada 2020 adalah aturan yang ada bersifat netral gender. “Banyak perempuan yang terpilih dalam pilkada-pilkada yang lalu adalah istri dari pejabat yang terpilih sebelumnya yang kemudian sebelum masuk penjara atau anak dari pejabat yang kemudian masuk penjara,” ungkap Anna. Oleh karena itu menurut Anna, penting untuk memperhatikan sumber rekrutmen dalam pencalonan pilkada, termasuk basis dukungannya. Dominicus dari Ombudsman RI (ORI) menyampaikan dari laporan-laporan yang masuk sejak ORI berdiri (meski tidak ada data yang spesifik) bisa dipastikan sebagian besarnya sangat berkaitan dengan isu perempuan seperti layanan kesehatan, pendidikan sampai isu agraria. Selama ini laporan yang paling banyak diterima Ombudsman adalah pengaduan mengenai layanan publik oleh pemerintah daerah seperti layanan adminduk, perizinan, juga yang terkait dengan kesejahteraan. Terbanyak kedua adalah adalah terkait konflik pertanahan/agraria, diikuti oleh laporan mengenai layanan oleh kepolisian. Lalu yang berikutnya adalah laporan mengenai K/L di tingkat pusat, diikuti dengan laporan mengenai layanan penegakan hukum. Dominicus mengungkapkan bahwa maladministrasi mayoritas terjadi dalam bentuk penundaan atau lambatnya layanan. ORI juga menemukan masih adanya praktik permintaan biaya untuk layanan publik yang seharusnya disediakan secara gratis dan minimnya representasi penyandang disabilitas dalam lembaga publik. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa ada beberapa Pemerintah Daerah yang belum membuat Perda pelayanan publik—yang memuat standar pelayanan dan beberapa daerah yang sudah memiliki Perda tersebut pun mbelum mengimplementasi secara maksimal. Dominicus menyebutkan HAM generasi ke-4 adalah pelayanan publik, yaitu bahwa Negara memiliki kesempatan kedua untuk mengoreksi atau memperbaiki kualitas layanan namun ini juga belum terjadi. Terkait prospek ke depan, ORI menyebutkan 2 mekanisme yang ada untuk mendorong transformasi pelayanan publik. Pertama, menerima laporan aduan dari masyarakat. Kedua, proaktif memenuhi layanan atau meningkatkan kualitas layanaan, dengan memberi masukan terhadap rancangan regulasi termasuk isu-isu di daerah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |