Jumat (13/7) berlokasi di lantai tiga Gedung Institute for Advancement of Science Technology and Humanity (IASTH) Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, Program Studi Kajian Gender bekerja sama dengan Pusat Studi Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, menggelar peluncuran dan diskusi buku berjudul “Seksualitas di Indonesia: Politik Seksual, Kesehatan, Keberagaman dan Representasi”. Peluncuran dan Diskusi buku tersebut menghadirkan Saras Dewi (Dosen Departemen Ilmu Filsafat, FIB UI) dan Syafiq Hasyim (International Center for Islam & Pluralism) sebagai pembahas dan Nur Iman Subono (Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI) sebagai moderator.Acara ini dibuka oleh Mia Siscawati selaku perwakilan dari tuan rumah Program Studi Kajian Gender, lalu dilanjutkan dengan sambutan oleh Linda Banett (Melbourne University) dan Irwan M. Hidayana (Pusat Studi Kajian Gender dan Seksualitas UI) selaku editor buku. Nina Nurmila (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan), salah satu kontributor buku melanjutkan acara dengan menyampaikan ikhtisar buku dan membagikan pengalamannya selama terlibat dalam proses pembuatan buku tersebut. Usai seremonial pembukaan, acara dilanjutkan dengan diskusi oleh pembahas pertama, yaitu Saras Dewi atau yang akrab disapa Yayas, dosen dari Departemen Filsafat FIB UI, yang membuka iklim diskusi dengan menyampaikan pemikirannya tentang ketubuhan. Ia menyatakan “Betapa tubuh di Indonesia terkepung, tersandera, tubuh yang hidup diatur, dan terkungkung dalam mengartikulasikan tentang seksualitas”. Pandangan tersebut tidak terlepas dari konservatisme yang semakin mendominasi baik dalam pengetahuan masyarakat atau aturan masyarakat, memengaruhi keputusan politis. Lebih lanjut Yayas menyampaikan pandangannya mengenai buku yang ditulis oleh 20 kontributor (dari berbagai dunia, termasuk Indonesia) yang terdiri dari empat topik pembahasan utama. Bagian pertama yaitu politik seksual yang berisi tentang kompleksitas pengawasan dan pengaturan tentang tubuh, bagian kedua membahas kesehatan seksual reproduksi, ketiga membahas keragaman seksualitas di Indonesia seperti realitas sosial tentang interseksual dan LGBT, serta pembahasan yang terakhir mengenai representasi seksual. Selain menjelaskan tentang topik-topik utama, Yayas juga memberikan pandangannya tentang pendekatan yang digunakan oleh para penulis yaitu Antropologi Feminis. "Tulisan ini sangat jernih dalam memperlihatkan situasi sosial terkait seksualitas, dengan kata lain para penulis engagingdengan para subjek penelitian", tutur Yayas. Di sela pembahasannya, Yayas juga menunjukkan bahwa ruang kebebasan saat ini cukup terbuka, salah satu indikatornya yaitu fenomena sosial seperti Women March Indonesia dan Me Too Movementyang dipelopori bukan hanya oleh generasi Millenial melainkan oleh Generasi Z. Buku ini hadir di tengah kegelapan seperti mercusuar untuk terus melakukan advokasi dan penelitian. Selain mengkritisi tentang isu tubuh, ia juga menjelaskan adanya agen-agen baru yang bergerak dalam mendisiplinkan tubuh di masa sekarang. Ia membandingkan apabila dulu agen yang bekerja seperti FPI, sekarang preferensi masyarakat perkotaan seperti RT justru yang melakukan penggerebekan. Ironisnya, dalam pendisiplinan tubuh terdapat strategi kuasa yang diambil dan bersumber dari agama dengan cara mempermalukan. Pada akhir pembahasannya, Yayas menutup dengan menggambarkan secara jelas dan berani bahwa masyarakat kita masih bersikap munafik, karena seringkali menggunakan kekerasan namun menutupi diri dengan kesalehan. Pembahas kedua, Syafiq Hasyim dari International Center for Islam & Pluralism, melihat konteks seksualitas dengan menggunakan perspektif agama. Pada pembukaannya, Syafiq menyatakan bahwa terkadang agama menjadi sesuatu yang membingungkan dan menjengkelkan. Syafiq juga mengajukan berbagai pertanyaan kritis seperti adanya fenomena baru seperti masyarakat yang berasal dari kelompok yang berpendidikan tinggidan memiliki tingkat ekonomi yang baik, namun memilih untuk membuat kelompok-kelompok baru. Kelompok demikian terlihat dengan munculnya pengajian yang diasuh oleh Khalid Basalamah di kawasan Blok M. Ada sosok yang telah menjadi influencerkepada generasi millennial, maupun masyarakat dengan kategori dari kalangan kelas menengah. Uniknya, Syafiq menambahkan tentang pembahasan yang irasional dalam setiap kajian tersebut, misalnya saja hukum Islam tentang perempuan yang menutup mata saat melakukan hubungan intim. Pertanyan kritis lain yang diajukan oleh Syafiq berkaitan dengan what’s the next after? Ia mengingatkan bahwa masing-masing peserta acara ini memiliki tanggung jawab di luar sana. Tanggung jawab semakin terasa berat karena masyarakat kita tidak terlalu senang menerima tafsiran akademik yang logis dan berbasis data. Masyarakat lebih senang menerima tafsiran dari kelompok “sumbu pendek” atau “bumi datar”. Fakta sosial lainnya juga terlihat dari masyarakat yang tidak mau membaca buku, mereka lebih memilih untuk mendengarkan satu menit vlog dari Hanan Attaki atau Felix Siauw. Ironisnya, vlog berdurasi singkat tersebut dianggap sebagai referensi yang cukup mumpuni bagi generasi masa kini. Berdasarkan kondisi tersebut, Syafiq menyimpulkan bahwa kondisi masyarakat yang mengalami dekadensi. Hal yang patut menjadi perhatian adalah dampaknya yang tidak hanya ke masyarakat muslim, tapi juga memberikan dampak ke kelompok minoritas. Selain mendengarkan pemikiran para pembahas, acara tersebut juga memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk turut memberikan perspektif dan pendapat terkait perkembangan isu seksualitas di Indonesia. Salah satunya yaitu pandangan dari Julia Suryakusuma yang memberikan sorotan tentang isu seksualitas seperti kebijakan keluarga berencana (family planning). Ia berusa mengkritisi kebijakan tersebut dengan kondisi di zaman orde baru, yang menurutnya tubuh perempuan menjadi media yang dipaksa untuk mengikuti aturan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa para perempuan dimobilisasi oleh para pemimpin lokal, dipasangi alat kontrasepsi seperti IUD. "Berdarah darah tidak apa-apa, semua itu kembali pada konstruksi sosial dan konstruksi agama", tutur Julia. Acara bedah buku ini ditutup dengan memberikan pekerjaan rumah bagi seluruh peserta, untuk membuat wacana tandingan dalam menyebarluaskan kebenaran terkait isu seksualitas, serta mengisi kekosongan-kekosongan media sosial yang telah dikuasai oleh kelompok konservatif. (Fitria Sari & Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |