“Buku ini prosesnya saya bikin selama tujuh tahun. Saya menyambi, dulu pernah bekerja kantoran jadi fotografer di Kompas-Gramedia. Jadi setelah saya resign, saya lanjutkan. Awalnya saya membaca buku Fransisca Ria Susanti yang berjudul Kembang-Kembang Genjer. Saya bertemu dengan penulisnya dan kemudian bertanya. Kebetulan saya punya kawan dari salah satu ibu yang ada di sini yakni Ibu Pudjiati, Dialah yang membawa saya ke panti.” Berangkat dari kegelisahan Adrian bahwa terkadang isu 65/66 hanya diketahui oleh orang-orang tertentu, maka ia dan beberapa kawan mencoba mencari cara menerbitkan sebuah buku yang dapat menarik perhatian generasi muda. Adrian Mulya telah membaca banyak buku, di antaranya novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Pulang karya Leila S. Chudori. “Setelah saya mengobrol dengan satu kelompok diskusi buku di salah satu fakultas di kampus UI, saya tanya kok dia punya satu kelompok diskusi yang khusus ngomongin isu 65/66, kamu awalnya tertariknya isu ini dari mana?“ terang Adrian Mulya dalam diskusi buku foto Pemenang Kehidupan karyanya sendiri pada Kamis (28/7) di Komunitas Sinemain, Badran Solo. Dari membaca novel tersebut membuatnya berpikir bagaimana mengemas isu yang berat seperti isu 65/66 agar lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh generasi yang tadinya awam. Sebagai seorang fotografer Adrian memiliki potret beberapa simbah penyintas. “Lalu saya membuat konsep, ini lho ada potret seperti ini, paling nggak mereka tahu dan mulai tertarik. Pancingannya sudah kita berikan,” Adrian mengemukakan beberapa alasan dan motivasinya. Acara diskusi yang berlangsung selama 2 jam ini dipandu oleh Isyfi Afiani sebagai moderator dan menghadirkan Elizabeth Yulianti Raharjo, aktivis perempuan dari Jejer Wadon sebagai pembicara. Dalam diskusi buku foto tersebut Elizabeth mengemukakan bahwa beberapa program gerwani di masa lalu adalah di bidang pendidikan dengan memberantas buta huruf, mendirikan taman kanak-kanak, advokasi undang-undang perkawinan (asas monogami). Program-program tersebut sangat menyentuh problem mendasar para perempuan. Mereka ketika dipenjara mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis serta seksual. Kekerasan seksual yang dialami oleh penyintas perempuan 65/66 adalah sesuatu yang khas dialami oleh penyintas laki-laki 65/66. “Dan sampai saat ini pun kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius dan negara tidak punya konsep yang jelas dalam hal pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi. Saat ini beberapa teman jaringan melakukan advokasi pengesahan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual,” tutur Elizabeth. Mbah Pono, penyintas 65/66 yang hadir dalam diskusi mengatakan bahwa penyelesaian secara politik sulit. Tetapi bukan berarti perjuangan sudah selesai. Ibarat berperang dan melawan musuh, kemampuan kita sejauh mana untuk membela kemanusiaan. “Untuk itu saya sebenarnya ingin bertanya kepada generasi muda tentang peristiwa 65, apa yang sebenarnya terjadi. Kita tahu kalau berbicara peristiwa 65 maka PKI, Gerwani, pokoknya yang jahat-jahat itu ditempelkan kepada kita semua,” ujar mbah Pono. Kepada JP, Adrian Mulya menyampaikan harapan buku foto Pemenang Kehidupan lebih dikenal masyarakat. Dia melihat ada kesenjangan di antara orang-orang yang paham isu 65/66 dan generasi yang lebih muda atau kini biasa disebut generasi milenia. “Makanya kenapa buku itu saya buat ringkas. Foto dan orangnya jelas, saya foto dengan baik, tulisannya juga pendek, nggak banyak bertele-tele dan nggak terlalu panjang, serta fokus kepada saat-saat terbaik para Mbah,” pungkas Adrian Mulya dalam diskusi yang dijaga ketat intel kepolisian Surakarta. (Astuti Parengkuh)
Icoz
9/8/2016 05:55:53 pm
Kapan nih terbit bukunya ? Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |