Senin (27/5), Biro Pemberdayaan Perempuan BEM Fakultas Hukum Universitas Trisakti menyelenggarakan Kelas Feminisme bertema “Darurat Pelecehan Seksual di Ruang Publik” dengan menghadirkan Dr. Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan sebagai pembicara. Kegiatan ini merupakan kelas perdana yang diharapkan akan diikuti dengan sesi kelas feminisme berikutnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Biro Pemberdayaan Perempuan BEM FH Trisakti, Fitria Anggi, “saya sadar tentang feminisme tidak cukup hanya dibahas dalam satu kali pertemuan karena tema yang harus dibahas sangat banyak dan terlalu luas”. Terkait pemilihan tema, Fitria menjelaskan bahwa isu kekerasan seksual menjadi keresahan rekan-rekan mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya topik seputar pelecehan seksual yang muncul dalam kotak aspirasi—sebuah ide awal mengumpulkan pemikiran, keresahan dan pergulatan mahasiswa Trisakti untuk dibawa di acara Women’s March 27 April lalu. Fitria melanjutkan bahwa isu kekerasan seksual dan feminisme juga penting untuk dibicarakan di dalam kampus agar para mahasiswa baik laki-laki dan perempuan tercerahkan. “Dari curhat yang masuk ke kotak memang banyak yang menyinggung soal pelecehan seksual dan di luar (kampus Trisakti) juga sedang marak kasus seperti itu,” ujar Fitria. Kegiatan Kelas Feminisme ini disambut baik oleh para mahasiswa, dihadiri oleh kurang lebih 40 peserta perempuan dan laki-laki. “Di luar dugaan, minat dan antusiasme mahasiswa ternyata cukup tinggi menurutnya karena dari yang semula ditargetkan hanya sekitar 15-20 orang namun menjelang pelaksanaan sudah hampir 50 orang yang mendaftar untuk menghadiri kelas feminisme ini,” jelas Fitria. Dr. Atnike Nova Sigiro sebagai narasumber mengawali paparannya dengan menggali pengetahuan serta pengalaman peserta terkait pelecehan seksual. Paparan dilanjutkan dengan menguraikan bahwa pelecehan seksual merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender dan mengapa pelecehan seksual tidak boleh didiamkan. “Pelecehan seksual tidak boleh diterima sebagai kebiasaan yang wajar di dalam masyarakat, pertama karena jika didiamkan dapat berlanjut eskalasinya kepada tindak kekerasan seksual seperti perkosaan, kedua, budaya pelecehan seksual melanggengkan dominasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas dan anak,” jelas Atnike. Lebih lanjut Atnike juga menjelaskan mitos-mitos seputar pelecehan seksual, salah satunya ialah mitos tentang pakaian perempuan yaitu perempuan berpakaian terbuka mengundang orang untuk melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Menurutnya, “pelecehan dan kekerasan seksual terjadi bukan karena pakaian yang dikenakan perempuan, tetapi karena objektifikasi terhadap perempuan". Kesimpulan yang dapat diambil dari Kelas Feminisme sesi ini adalah bahwa pelecehan seksual dapat terjadi kepada siapa saja kapan saja di mana saja. Untuk itu diperlukan peran serta semua pihak untuk mencegah dan aktif melindungi orang yang berpotensi menjadi korban. Di sisi lain, perguruan tinggi juga perlu melakukan upaya-upaya aktif untuk mendukung terbangunnya budaya anti kekerasan dan kesetaraan gender. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |