Bedah Buku "Transformasi Feminisme Indonesia": Kolaborasi Keragaman Pengalaman dan Perspektif1/7/2024
Pada Rabu (26/6/2024) telah diselenggarakan diskusi buku “Transformasi Feminisme Indonesia: Pluralitas, Inklusivitas, dan Interseksionalitas” dalam rangka perayaan Annual Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF) yang kedua. Acara ini bertemakan “Menguatkan Sinergi Kajian dan Aktivisme Indonesia di Tengah Politik Oligarki Nasional dan Fasisme Global” dan dimoderatori oleh Valentina Utari. Mengundang enam narasumber, yakni Dr. Lestari Nurhajati (Ketua Pusat Kajian Literasi Kesehatan dan Gender London School of Public Relation — LSPR), Dra. Agustina P. Murniati, M.A. (Padepokan Perempuan GAIA), Wahyu Susilo (Direktur Migrant CARE), Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan), dan Dewi Candraningrum (Editor Buku Ekofeminisme). Buku tersebut mencakup berbagai macam persoalan, mulai dari praktik sunat perempuan hingga upaya penyelamatan lingkungan. Tulisan dalam buku “Transformasi Feminisme Indonesia” disusun tidak hanya oleh para akademisi, tapi juga para praktisi dan pejuang advokasi komunitas. Diskusi dibuka oleh Lestari Nurhajati yang menyebutkan bahwa buku-buku feminisme berfungsi untuk memperkenalkan perspektif berbeda yang tidak ditawarkan oleh buku-buku arus utama. Buku feminisme dapat memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan atau kurang terwakili dalam masyarakat. Dengan cara ini, buku feminisme dapat membantu melawan stereotip dan diskriminasi serta mendorong inklusi sosial dan kemanusiaan yang lebih luas. Hal ini mengispirasi pembaca untuk terlibat aktif dalam membentuk perubahan yang positif dan inklusif.
Buku ini diharapkan dapat menguatkan upaya pendokumentasian feminisme Indonesia sekaligus juga menjadi bagian dari kontribusi dan produksi pengetahuan feminis di Indonesia yang bisa mendorong kajian dan teorisasi lebih intensif, yang kemudian berdampak bukan hanya pada produksi tapi pembaharuan pengetahuan feminisme Indonesia. “Kolaborasi seperti ini penting menjadi salah satu model atau tawaran kerja-kerja feminisme di Indonesia, atau yang saya sebut sebagai theorizing practices, dan practicing theories. Jadi kita bisa menteorikan praktik-praktik di lapangan, namun kita juga bisa mempraktikkan teori-teori, mensintesiskan atau mengantitesiskan teori-teori yang ada sesuai dengan konteks lokal, sejarah, budaya, dan politik yang selalu berkembang dan dinamis,” ucap Diah Irawaty selaku pembicara kedua. Dalam Transformasi Feminisme, terkandung tiga elemen: pluralitas, inklusivitas, dan interseksionalitas. Pluralitas, artinya feminisme itu bukan sekadar soal perempuan. Dalam sejarahnya, feminisme berkembang melalui gerakan hak asasi manusia yang kemudian menentang opresi, penindasan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Artinya feminisme bukan hanya isu perempuan, tetapi juga isu minoritas dan kelompok marginal. Agustina mengemukakan gagasan bahwa transformasi feminisme bisa tercapai dengan memproses kesadaran personal menjadi kesadaran kolektif. ‘The personal is political,’ kesadaran personal berproses menjadi kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif kemudian menjadi motor gerakan perubahan sosial, politik, dan budaya. Pengalaman personal merupakan hal yang konkrit, asali, jujur, serta merupakan perpaduan dari pengetahuan teoritis dan aktivitas gerakan perubahan. Paradigma feminisme dibahas secara akademis dari aspek interdisipliner ilmu, menelusuri sejarah, mengulik budaya lokal nusantara serta mengungkap pengalaman perempuan mendapatkan realitas kehidupan yang berbeda dengan kehidupan normatif. Feminisme adalah hutan belantara yang akar dan cabangnya berbeda-beda yang tidak mungkin diseragamkan. Perbedaan ini kemudian menjadi kekayaan. Dalam menentukan strategi dalam perjuangan feminisme, harus menggunakan strategi yang mengakar. Strategi yang mengakar itu memudian membangun kekuatan sosial, politik, budaya, dan komunitas untuk mencapai kemenangan komunitas. Kemenangan komunitas akibat kemenangan kolektif juga merupakan akibat dari kemenangan personal. Salah satu sarana transformasi feminisme yaitu seperti melakukan aktivitas sehari-hari, membaca, menulis, bekerja, dan aktif berorganisasi. Pada gilirannya, Wahyu Susilo memberikan apresiasi yang besar pada buku ini. Terbitnya buku ini merupakan sebuah milestone dari gerakan pemikiran feminisme di Indonesia, karena salah satu upaya untuk melawan patriarki dan memperjuangkan feminisme adalah dengan memproduksi gagasan-gagasan, pengetahuan-pengetahuan perempuan yang sering kali dianggap tidak ilmiah. Karya ini tentu menjadi penting dan signifikan sebagai suatu karya kolektif. Membongkar arogansi yang selama ini ada di kalangan akademisi dengan menciptakan kolaborasi membersamai para praktisi dan pejuang advokasi. Abby Gina menambahkan bahwa pengetahuan feminis selalu berkomitmen pada transformasi sosial. Belasan dan puluhan tulisan yang ada dalam naskah buku yang sedang dibahas ini seluruhnya memiliki semangat yang sama, yaitu sebuah tulisan dengan lensa interseksionalitas yang dipakai untuk mengadvokasi dan mendorong keadilan kelompok yg rentan. Diskusi kemudian ditutup oleh Dewi Candraningrum. “Transformasi gerakan feminisme itu mengajari kita tentang kerendahan hati, berbagi ruang, bergaul dan bertumbuh, juga bertengkar. Menjadi luwes, saling tidak setuju atau saling berkompromi dan bersolidaritas,” tukas feminis Indonesia itu. Dewi lalu melanjutkan, “Itu adalah bagian dari transformasi gerakan feminisme di Indonesia.” (Dwi Rizky A. N.) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |