Selasa, 26 Juni 2018 bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus FISIP Universitas Indonesia Depok, Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan) telah dikukuhkan menjadi Doktor dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial. Ketua sidang promosi doktoral, Prof. Dr. Isbandi Rukminto Adi, M.Kes. menyatakan bahwa Atnike lulus dengan yudisium sangat memuaskan. Yudisium tersebut disematkan bukan tanpa alasan, karena dalam promosi doktoral tersebut Atnike telah berhasil memaparkan dan mempertahankan Disertasinya yang berjudul “Pendekatan Advokasi dalam Mendorong Agenda Keadilan Transisi melalui Kebijakan Bantuan Medis dan Psikososial bagi Korban Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Masa Lalu di Indonesia” secara kritis dan radikal. Pada kesempatan itu Atnike membuka pidato promosi doktoral dengan menyatakan keprihatinannya akan situasi Indonesia saat ini. Usia reformasi telah mencapai 20 tahun, namun sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi pada rezim orde baru belum tereselesaikan. Secara singkat Atnike memaparkan sejumlah kegagalan mekanisme keadilan dalam merespons kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Indonesia menghadapi situasi impunitas. Kegagalan demi kegagalan dalam mekanisme keadilan transisi telah menjauhkan akses korban terhadap keadilan, kebenaran dan juga pemulihan”, ungkap Atnike. Lebih jauh, Atnike menuturkan bahwa di tengah situasi yang serba pesimistis, sejak tahun 2010, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) menyelenggarakan kebijakan BMP (Bantuan Medis dan Psikososial) yaitu sebuah kebijakan pemulihan berupa bantuan pelayanan medis dan psikososial bagi korban pelanggaran HAM berat – termasuk korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban ternyata memberikan ruang pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Pasal tersebut menegaskan bahwa korban pelanggaran HAM berat, juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Menurut Atnike keberadaan pasal tersebut dan program BMP menjadi penting karena keduanya telah memberikan legitimasi kepada korban bahwa “benar mereka adalah korban”. Atnike dalam pidatonya menggarisbawahi bahwa upaya reparasi bagi korban harus beriringan dengan pemulihan simbolik berupa pengakuan negara dan masyarakat terhadap keberadaan korban. Disertasi Atnike menemukan sejumlah kelemahan pada model BMP, salah satunya ialah ketidakmampuan program ini untuk memahami dan mengenali korban sebagai entitas dengan posisi sosial beragam. Menurut Atnike, aspek gender, usia, kondisi medis-psikis yang dihadapi, dan kekhasan individual harus dikenali karena hal tersebut berimplikasi pada kebutuhan layanan yang berbeda dari setiap korban. Meskipun BMP masih memiliki sejumlah kekurangan, Atnike tetap mengapresiasi capaian program ini. Bedasarkan proses dokumentasi yang ia lakukan, Atnike menyatakan bahwa korban sempat merasa telah memperoleh layanan yang baik dari BMP melalui layanan yang telah mereka terima, khususnya ketika layanan BMP masih berupa layanan medis langsung yang dibiayai oleh LPSK, namun sayangnya setelah itu kualitas layanannya menurun karena ada perubahan bentuk menjadi layanan BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) dan berkurangnya prioritas bagi keluarga korban. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari program BMP yang ada saat ini, Atnike melihat keberadaan BMP telah melanjutkan agenda keadilan transisi. Dalam upaya memberi keadilan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu, Atnike memberi apresiasi pada Komnas HAM dan LSM yang telah mendorong perbaikan dari layanan BMP sebagaimana konsep pendekatan advokasi (advocacy approach) dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial. Dalam konteks ini, LSM dan Komnas HAM telah bertindak merepresentasikan kepentingan korban pelanggaran berat HAM masa lalu. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh individu maupun institusi seperti organisasi korban, LSM, Komnas HAM, dan juga LPSK dan pelaksanaan kebijakan BMP adalah bukti bahwa sejumlah pendekatan advokasi terhadap kebijakan sosial yang terkait dengan hak-hak korban secara konsisten terus berjalan. Berdasarkan hasil kajian Atnike, para aktor di atas menyadari bahwa kebijakan BMP bukanlah sebuah model kebijakan reparasi maupun model keadilan transisi yang memadai bagi korban pelanggaran berat HAM masa lalu. Melalui Disertasi tersebut, Atnike hendak mengajak bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial dan studi keadilan transisi, untuk menyumbangkan pengalaman keadilan transisi di Indonesia dalam menghadapi tertundanya keadilan dan upaya-upaya mengatasinya. “Karena keadilan tak bisa ditunda, justice delayed is justice denied”, tegas Atnike. Dalam pidato pengukuhan Dr. Atnike Nove Sigiro, M.Sc, Prof. Dr. Sulistiyowati Irianto selaku promotor memberikan apresiasi pada Atnike. Prof. Sulis menyadari bahwa ada dilema dalam diri Atnike saat proses penulisan Disertasi. Penulisan Disertasi ini menjadi tidak mudah mengingat posisi penulis sebagai seorang peneliti haruslah objektif dan bebas nilai, padahal di sisi lain Atnike sendiri adalah seorang aktivis HAM yang terlibat langsung dengan para korban HAM masa lalu. Prof. Sulis memberikan apresiasi setinggi-tingginya, karena dalam sidang promosi tersebut Atnike telah berhasil memposisikan diri sebagai peneliti dan juga sebagai pejuang HAM secara proporsional. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |