Selasa (30/10) bertempat di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Aliansi Bersama Mengakhiri Diskriminasi, Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang terdiri dari 49 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pegiat isu perempuan dan buruh mengadakan acara diskusi bersama untuk meyikapi diskriminasi, kekerasan dan pelecehan yang terjadi di dunia kerja, khususnya kekerasan berbasis gender. Hal tersebut juga sejalan dengan perjuangan International Labour Organization (ILO) terkait konvensi perlindungan dari diskriminasi, kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Acara diskusi tersebut menghadirkan oleh Ema Liliefna (Ketua K2N-KSBSI), Lita Anggraini (Jala PRT), Sumiyati (Serikat Pekerja Nasional), Fitri (Migrant Care), Lilis Mahmudah (Konfederasi Serikat Pekerja Nasional) dan Mutiara Ika Pertiwi (Perempuan Mahardika) sebagai pembicara. Pada acara tersebut, Ema Liliefna menyampaikan bahwa konvensi ini akan memasuki pembahasan final dalam tiga sidang perburuhan internasional dari tahun 2018 sampai dengan 2020. Ema menyatakan bahwa pengusaha dan pemerintah memiliki keberatan dalam menyikapi isu Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). “Jarang Perusahaan mau mengakui bahwa ruang kerja berkaitan dengan ruang privat atau rumah tangga. Padahal penelitian yang dilakukan oleh ILO menunjukkan tidak jarang istri masih diancam sampai ke kantor apabila terjadi KDRT di rumahnya”, tutur Ema. Bagi Ema perlu ada pendekatan serius kepada perusahaan agar dapat menyuarakan hal yang sama yakni melindungi perempuan di lingkungan kerja. Sementara itu, Lita Anggraini menyampaikan konvensi ini lahir karena desakan dan penelitian dari berbagai negara anggota ILO untuk memberikan mandat pada negara dalam membuat kebijakan yang memperhatikan hak pekerja. “Syarat tinggi badan, jenis kelamin, dan ras masih menjadi ukuran yang diwajarkan dalam dunia profesionalitas, hal ini tentunya menjadi batasan bagi seseorang untuk bekerja, padahal seharusnya bekerja membutuhkan kualitas skill” tutur Lita. Kemudian, Fitri mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki arus migrasi buruh yang tinggi, namun belum memiliki kebijakan yang memadai dalam menangani persoalan yang dialami para pekerja migran. Fitri mengakui bahwa Indonesia masih kental dengan budaya patriarki dan diskriminasi pada pekerja apalagi pekerja perempuan. Selain itu Fitri juga mengungkapkan bahwa Migrant care menemukan ketertindasan buruh migran memiliki tiga fase. Pertama, fase sebelum bekerja. Pada fase ini buruh migran tidak diberikan pendidikan yang memadai oleh biro Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Kemudian, pada fase saat bekerja, sering ditemukan buruh migran mengalami pelecehan baik verbal maupun non-verbal dari majikan. Yang terakhir adalah fase setelah bekerja. Pada fase ini buruh migran sering mendapat bayaran yang tidak sesuai, tidak jarang pula nasib buruh migran berakhir pada eksekusi mati. “Pejuangan buruh migran perlu didukung, pagi tadi Migrant Care mendapat kabar bahwa Tuti Tursilawati dieksekusi mati di Arab Saudi tanpa ada notifikasi” tutur Fitri. Selanjutnya, Lilis Mahmudah menyatakan dukungannya atas konvensi ILO tersebut, karena menurutnya konvensi tersebut dapat mengatur persoalan dari hulur ke hilir. Menurut Lilis, selama ini terdapat banyak kasus kekerasan di ruang kerja. Akan tetapi, kasus ini tidak pernah diusut karena keterbatasan perlindungan bagi kaum buruh. Kemudian Mutiara Ika juga menyatakan dukungannya atas konvensi ILO guna mengakhiri diskriminasi di dunia kerja. Ika menekankan bahwa masyarakat perlu mengingat adanya beban ganda yang dilimpahkan kepada perempuan baik secara sosial maupun budaya. “Tidak jarang kita temukan perempuan bekerja di pabrik lalu sampai di rumah harus bekerja mengurus rumah”, tutur Ika. Ia juga menyatakan bahwa yang harus diperhatikan juga adalah cara untuk membongkar beban ganda, bukan sekadar mengatur cara bertahan pada beban ganda. (Iqraa Runi) Aliansi Bersama Mengakhiri Diskriminasi, Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja: 1. KSBSI 2. KSPI 3. KSPSI-CAITU 4. SPN 5. KSPN 6. KPBI 7. Perempuan Mahardhika 8. JALA PRT 9. SINDIKASI 10. YayasanPerlindungan Insani 11. Kalyanamitra 12. SP TSK-SPSI 13. GERKATIN (Tuli) 14. Institut KAPAL Perempuan 15. JOUDI 16. Rumpun Gema Perempuan 17. YAPESDI 18. SPRT Sapulidi DKI Jakarta 19. SPRT Tangerang Selatan 20. SPRT Tunas Mulia 21. SPRT Merdeka 22. RUMPUN Tjoet Njak Dien 23. RUMPUN 24. TURC 25. Koko.Dirgantoro Opal Communication 27. Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR 28. SPRT Bandar Lampung 29. KIDUNG 30. Migrant Care 31. Institut Perempuan 32. KSARBUMUSI 33. Mitra ImaDEI 34. PPDI Kota Padang 35. www.konde.co 36. LARD Mataram 37. Dewi Keadilan 38. SPRT Paraikatte 39. Asosiasi LBH APIK Indonesia 40. Labor Institute Indonesia. 41. FSPM 42. KOY 43. LBH Jakarta 44. Garteks 45. KOWANI 46. LBH Apik Jakarta 47. SBMI 48. Jurnal Perempuan 49. LIPS Refleksi 20 Tahun Komnas Perempuan: Kontribusi dan Strategi Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan1/11/2018
Pada 31 Oktober 2018, Komnas Perempuan merayakan hari jadi yang ke-20. Reformasi adalah penanda kelahiran lembaga negara yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia tersebut. Bertempat di halaman kantor Komnas Perempuan, acara ulang tahun tersebut dirayakan dengan rangkaian acara dari pukul 7 hingga 9 malam. Salah satu kegiatannya adalah melakukan refleksi 20 tahun Komnas Perempuan melalui pemikiran para kolega, mitra dan aktivis seperjuangan Komnas Perempuan. Kristi Poerwandari dan Usman Hamid adalah dua diantaranya. Kristi Poerwandari yang merupakan pendiri Yayasan pulih menyampaikan bahwa Komnas Perempuan adalah suatu komisi nasional yang penting dan unik. Menurutnya keunikan Komnas Perempuan terletak pada cara menghapus kekerasan pada perempuan yaitu melalui advokasi dan pemulihan. Bagi sosok yang telah lama berkecimpung di dunia pemulihan dan psikologi tersebut, aktivitas advokasi dan pemulihan adalah pekerjaan yang sama pentingnya dan kerap kali sulit dilakukan bersamaan, namun Komnas Perempuan gigih mengupayakan keduanya berjalan selaras. Pemulihan sendiri menurut Kristi perlu dimaknai secara luas agar dapat berjalan seiringan dengan advokasi. Ia memberikan contoh dalam kasus perkosaan yang pelakunya adalah keluarga inti kerap kali korban enggan melaporkan kasus tersebut. Pada kasus tersebut menurut Kristi, advokasi dan pemulihan perlu bersinergi agar korban tidak menjadi korban kembali. "Pemulihan dalam makna luas bisa digunakan karena korban bisa dilihat sebagai sosok utama yang kepentingannya perlu didahulukan, baik dalam proses hukum maupun perihal traumanya", jelas Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tersebut. Kristi menjelaskan bahwa pemulihan itu dilakukan pada individu atau kelompok untuk dapat berdaya, bahagia, mandiri, dan menghilangkan kekacauan batinnya. Ia juga menjelaskan bahwa Komnas Perempuan memiliki 5 prinsip dalam pemulihan yaitu, berbasis hak, perspektif perempuan korban, multidimensi, berbasis masyarakat, dan berkesinambungan. Kelima prinsip tersebut menurut Kristi adalah upaya Komnas Perempuan untuk mendukung korban agar tidak memunculkan persoalan baru. Lebih jauh, Kristi menjelaskan bahwa Komnas Perempuan juga memiliki mekanisme advokasi yang dalam prosesnya tidak boleh menyebabkan korban menjadi korban lagi. "Komnas Perempuan memiliki prosedur advokasi yaitu setiap strategi advokasi harus didiskusikan dengan korban dan dilaksanakan dengan persetujuan korban, terutama dengan memberikan dan menjelaskan opsi dan risiko atas strategi yang diambil", jelas Kristi. Dengan demikian menurut Kristi, proses advokasi dan pemulihan tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Usman Hamid, Direktur Amensty Internasional Indonesia juga diundang untuk memberikan refleksi. Dalam refleksinya Usman mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan adalah kristalisasi gerakan perempuan yang setelah begitu lama direndahkan oleh sistem otoritarianisme orde baru atau militerisme Orba. Usman menjelaskan gerakan Suara Ibu Peduli yang telah mendahului gerakan mahasiswa 1998 merupakan bukti bahwa gerakan perempuan adalah gerakan masyarakat sipil yang tidak bisa dianggap remeh. Usman juga menjelaskan bahwa protes kenaikan harga susu yang dilakukan Suara Ibu Peduli adalah suatu abstraksi dari krisis moneter yang terjadi saat itu. "Kemudian ada gerakan masyarakat anti kekerasan yang melawan kekerasan orde baru, kekerasan yang menyasar tubuh perempuan. Komnas perempuan lahir dari rahim reformasi", jelas Usman. Lebih jauh, Usman Hamid mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan pada masa awal berdiri kesulitan mencari role model--karena tidak ada negara yang memiliki lembaga negara seperti itu. Kemudian, Komnas Perempuan merujuk ke belakang, mengadopsi CEDAW sebagai basis perjuangannya. Menurut Usman, Komnas Perempuan juga telah mengambil sebagian pekerjaan Komnas HAM yaitu penyelidikan berbagasi kasus HAM seperti kasus Timor hingga tragedi 1965. Tak hanya itu, bahkan Komnas Perempuan, gerakan perempuan dan gerakan sosial bersama-sama berhasil melahirkan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). "UU PKDRT memulai suatu babak baru untuk keberanian dalam kehidupan dan untuk keberanian bersuara melawan kekerasan", jelas Usman. Bagi Usman, Komnas Perempuan berbeda dengan gerakan hak asasi manusia lainnya di dunia yang mayoritas meninggalkan "agama". Usman menjelaskan bahwa Komnas Perempuan melibatkan banyak tokoh agama dalam kerja-kerjanya kemajuan perempuan, sehingga berbeda dari kebanyakan gerakan HAM di dunia yang meninggalkan agama atau melepaskan diri dari belenggu agama yang kerap kali dianggap melegitimasi kekerasan. Sebaliknya Komnas Perempuan merebut agama untuk bersama-sama memberikan kesetaraan dan keadilan. "Dua puluh tahun Komnas Perempuan, kita menemukan bahwa ada bukti gerakan sosial atau dalam konteks ini gerakan perempuan bisa bertahan lama", jelas Usman. Menurut Usman, keberadaan Komnas Perempuan yang mulanya adalah gerakan sosial dan kemudian bertransformasi menjadi lembaga negara juga harus diperkuat peran-perannya oleh negara. Ia berharap Komnas Perempuan dapat menjadi lembaga negara yang memiliki kekuatan seperti KPK atau LPSK sehingga angka kekerasan terhadap perempuan dapat diturunkan. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2024
Categories |