Andi Misbahul Pratiwi: Pengakuan terhadap Perempuan Nelayan Merupakan Kebutuhan Strategis Gender5/2/2018
Rabu, 31 Januari 2018, Jurnal Perempuan menyelenggarakan acara Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan dan Pemutaran Film Dokumenter Perempuan Nelayan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Acara dibuka dengan sambutan dari Dr. Ir. Rina, M.Si sebagai perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kemudian dilanjutkan dengan pidato kunci dari Atnike Nova Sigiro, M.Sc, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan. Kegiatan selanjutnya ialah pemutaran film dokumenter Perempuan Nelayan yang menggambarkan kehidupan perempuan nelayan di Desa Morodemak dan Desa Purworejo, Jawa Tengah serta perempuan petambak udang di Dipasena, Lampung. Pada Pendidikan Publik JP 95 kali ini, Jurnal Perempuan menghadirkan Dedi Supriadi Adhuri (Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Andi Misbahul Pratiwi (Redaksi Jurnal Perempuan), dan Susan Herawati Romica (Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) sebagai pembicara, dan Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Dalam sesi diskusi, Andi Misbahul Pratiwi memaparkan hasil riset yang ia tulis bersama Abby Gina, dengan judul “Eksistensi dan Kekuatan Perempuan Nelayan di Desa Morodemak dan Purworejo: Melawan Kekerasan, Birokrasi, dan Tafsir Agama yang Bias”. Dalam pemaparannya, Andi menyampaikan bahwa masyarakat masih melihat pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Banyak ujaran seperti, “Wong Wedok kok Miyang” yang artinya “Perempuan kok melaut”. Anggapan tersebut merupakan bukti bahwa stigma masih dilekatkan pada perempuan yang bekerja sebagai nelayan dalam masyarakat kita. Persoalan yang diangkat oleh Andi mengenai perempuan nelayan ialah soal sempitnya definisi nelayan serta keterlibatan dan peran perempuan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam sehingga perempuan nelayan sulit mendapat pengakuan sebagai nelayan dan akses terhadap Kartu Nelayan. Andi menyatakan bahwa sempitnya definisi nelayan dan lingkup peranan perempuan nelayan dalam UU No.7/2016 menurut alat analisis gender Kabeer merupakan model pembangunan yang buta gender (blind gender) yang hanya menyasar kepada masyarakat laki-laki sebagai kepala keluarga dan agen produktif. “Pengakuan terhadap perempuan nelayan dianggap perlu dan penting karena menurut Mooser, pengakuan terhadap perempuan memiliki keterkaitan pada akses dan kontrol terhadap program pembangunan sehingga pengakuan terhadap perempuan nelayan merupakan kebutuhan strategis gender, bukan hanya praktis gender”, tutur Andi. Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan Andi, perempuan yang melaut memiliki porsi kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan suami mereka. Selain melaut, pekerjaan menjual ikan di pasar dan melakukan tawar-menawar juga dibebankan kepada para perempuan nelayan karena ada anggapan bahwa urusan pasar adalah urusan perempuan. Mereka juga masih dibebani dengan pekerjaan domestik yang harus mereka jalankan terkait peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa beban ganda merupakan salah satu persoalan yang dialami oleh para perempuan nelayan. Meski para perempuan nelayan bekerja di ranah publik untuk membantu ekonomi keluarga namun hingga kini mereka sulit mendapatkan pengakuan sebagai nelayan serta tidak memiliki akses kartu nelayan. “Pengakuan terhadap identitas perempuan nelayan hanya langkah awal untuk memperbaiki kondisi perempuan nelayan di seluruh Indonesia. Langkah ini harus dilanjutkan dengan pendidikan dan pengadopsian perspektif adil gender dalam kebijakan. Kemudian definisi nelayan juga harus diperluas sehingga dapat mengakomodasi kerja perempuan di sektor perikanan mulai dari menangkap ikan, menjual, mengolah, hingga memasarkan hasil tangkapan.” tutur Andi di akhir pemaparannya. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |