
Alissa menambahkan, mengacu pada gagasan Seth Godin, fenomena ini merupakan dampak dari globalisasi dimana suku tidak lagi dibentuk berdasarkan kedekatan geografis dan etnisitas, tetapi oleh kesamaan ideologi dan minat. Ini yang membuat ideologi berkembang ke segala arah dan semua orang bisa menjadi sumber penyebaran ideologi. Pada satu sisi kita melihat global village tetapi pada saat yang sama kita melihat pengelompokan berdasarkan ideologi. Kondisi ini menciptakan pertentangan, ketegangan dan kemudian kontestasi ideologi yang terjadi tidak hanya di level agama, tetapi juga pada level negara. Dalam praktik keseharian Alissa mencontohkan kampanye “nikah aja yuk” atau “udah putusin aja” lewat media sosial, yang pada kenyataannya sudah mampu mengubah tradisi. Contoh lain soal poligami, dimana praktik poligami justru semakin terbuka dibandingkan dulu bahkan kini juga dipromosikan selain dilakukan. Lebih jauh Alissa menjelaskan ketika arus besar publik sudah menjadi lebih abu-abu dan justru mengikuti arus yang menentang keadilan gender dengan berbasis teologis, maka kita mempunyai persoalan besar. Sementara sebagian besar dari kita cenderung memperkuat keyakinan (faith based) tetapi kurang dalam hal penguatan kultur (respect axis). Jadi kita tidak secara sistematis menginfiltrasi tradisi yang ada atau mengkapitalisasi tradisi yang ada untuk penguatan keadilan gender. Kondisi inilah yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Sebelum itu Indonesia justru dikenal sebagai negara yang menjadi salah satu model untuk keberhasilan melakukan mainstreaming gender. Alissa mengingatkan jika kita tidak mengambil respons yang cukup layak, maka kondisinya akan semakin memburuk. Jadi trennya justru semakin memburam kalau kita bicara agama dan tradisi dalam konteks perempuan.
Lebih lanjut Alissa membagi pengalamannya dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Ia menuturkan kita harus mengakui bahwa masih banyak praktik-praktik yang tidak adil gender dan tidak berpihak pada perempuan terutama dikluster-kluster yang lebih konservatif seperti Madura. Tetapi jika kita melihat lebih panjang ke belakang, banyak juga praktik-praktik yang sebetulnya menunjukkan bahwa di kalangan Nahdliyin ada kesetaraan. Misalnya di musala-musala atau masjid-masjid NU, perempuan tidak ditempatkan di luar atau di belakang, tetapi setara, berada di samping dengan hijab ditengahnya. Selain itu dalam pertemuan-pertemuan formal di pesantren, laki-laki dan perempuan berada di dua lajur saling berhadapan. Bahkan di kalangan yang lebih modern sudah tidak ada lagi pemisahan semacam itu, tetapi sudah berbaur, seperti dalam forum pertemuan alim ulama misalnya. Jadi ada tradisi-tradisi semacam ini tetapi tidak kita kapitalisasi. Hal lain, lembaga-lembaga pelayanan masyarakat, rata-rata dikelola oleh Muslimat dan Fatayat dan pengakuan yang diberikan pada lembaga-lembaga ini sangat tinggi. Sehingga pengakuan atas perempuan di ruang publik sudah ada. Kita mempunyai tradisi ini, tetapi tidak kita kapitalisasi dan kalah kontestasi di ranah publik. Karena itu menurut Alissa tantangan yang kita hadapi saat ini adalah memperkuat basis teologis untuk keadilan gender, menggali tradisi aktual yang mendukung penguatan perempuan dan membangun gerakan yang lebih strategis dan komprehensif untuk memenangi kontestasi. (Anita Dhewy)