Pada hari Kamis (5/3) Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Kedutaan Kanada mengadakan konferensi yang bertema “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia”. Acara yang bertempat di Mezzanine Ballroom, Hotel Aryaduta, Jakarta ini mengundang pembicara dari McGill Institute of Islamic Studies, Montreal, Profesor Ahmed Fekry Ibrahim. Profesor Ibrahim memberikan penjelasan mengenai hukum Islam dan diskursus Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkaitan dengan isu gender dan anak. Diskursus HAM menjadi basis kajian Prof. Ibrahim terhadap hukum Islam. Di dalam Islam dikenal konsep Taqlid, yaitu legal conformism atau kompromi hukum-hukum Islam. Taqlid sangat jarang terjadi dan ditemukan lebih mudah pada abad ke-13. Ibrahim menjelaskan perubahan tafsir hukum Islam yang pro-Islam ditemukan lebih kaya saat sebelum abad ke-13 atau disebut sebagai masa Islam pra-modern. Saat itu wajah hukum Islam lebih mengenal kesetaraan dibandingkan Eropa. Setelah abad ke-13 ortodoksi berkembang. Dinasti saat itu mempersulit jalan untuk menghasilkan tafsir hukum Islam yang ramah gender. Selanjutnya pada abad ke-19 pembaharuan terjadi dengan munculnya tafsir-tafsir yang ramah pada kesetaraan. Berdasarkan penelitian Prof. Ibrahim, Islam sebelum abad ke-13 bahkan lebih setara dibanding Eropa. Pada abad ke-16 s.d. abad ke-18, penjajahan Eropa ke Timur Tengah mempertemukan modernitas Eropa dengan tradisi Timur Tengah. Masyarakat Timur Tengah (terutama Mesir) mengadopsi sekaligus membenci modernitas Eropa. Hal itu dimaknai sebagai destabilisasi Timur Tengah yang menimbulkan ketakutan-ketakutan tertentu di dalam masyarakat. Meski begitu banyak pemikir Mesir yang mengenyam pendidikan di Eropa. Dari situ muncul pertanyaan-pertanyaan apakah hukum Islam dapat mengakomodasi modernisme hukum Eropa dan kenyataan hukum-hukum baru dalam masyarakat global. Pada abad ke-19 pertanyaan itu masih berbentuk, “is it possible or Islamic for Moslem to wear European hat? Or eat the meat killed by Christian or Jewish person?”. Pada abad selanjutnya sampai sekarang pertanyaan bergeser dan mengerucut berkenaan dengan feminisme dan hak-hak anak. Ketika para pemikir tersebut kemudian kembali ke Mesir, mereka menjadi reformis. Ibrahim mengatakan, “People would go back to the scripture and say, well this verse really means that”. Misalnya dalam hal poligami. Beberapa negara yang berpenduduk Muslim melarang poligami berdasarkan tafsir ayat tertentu dan tertuang di dalam hukum positif seperti Tunisia. Sebagai contoh ayat yang mengatakan, “you’re allowed to have two, three or four wives if you treat them justly. But you will not treat them justly”. Dari sana mereka menginterpretasi bahwa poligami sesungguhnya tidak diperbolehkan. Bergeser pada abad ke-21, Ibrahim memberikan contoh kasus mengenai hukum perwalian anak. Bagi Ibrahim, “it is important because it is overlaps with gender issues and minority rights”. Di samping itu isu itu juga terkait dengan ras, etnisitas serta afiliasi agama seseorang. Di dalam hukum-hukum tersebut Ibrahim mengatakan, “There are several rules of where the gender of the child determines how you gonna deal with the child.” Jenis kelamin anak sangat menentukan bagaimana masa depan mereka nantinya dalam perwalian. Hal itu akan menjadi isu karena mengakibatkan ketidakadilan gender. Ada banyak sekali posisi legal anak-anak dalam hukum perwalian dalam mazhab berbeda-beda. Reformasi hukum Islam terjadi dengan mengenali adanya pluralisme tafsir diantara mazhab-mazhab yang ada. Salah satu upaya progresivitas hukum adalah dengan melakukan seleksi mazhab di dalam Islam. Ibrahim meneliti teks-teks lama dan pada abad ke-15 saat Turki Usmani atau Ottoman berkuasa ditemukan kontrak-kontrak akan perwalian. Di saat yang bersamaan, di Eropa, perempuan tidak mendapatkan hak sebanyak itu. Di Inggris pada tahun 1839 baru dibicarakan mengenai hak perempuan di dalam perwalian. Padahal di dalam Islam hal tersebut sudah ada jauh sebelumnya. Bagi Ibrahim kita harus melihat praktik-praktik bagaimana masyarakat menegosiasikan hukum-hukum tersebut karena apa yang terjadi di dalam praktik berbeda dengan apa yang termaktub di dalam hukum. Sejauh ini menurut penelitian Prof. Ibrahim, di antara kekayaan pluralitas hukum Islam, yang paling progresif yaitu ketika kerajaan Ottoman berkuasa, karena pertimbangan hukum saat itu didasarkan rekomendasi akan kepentingan terbaik terutama pada anak-anak. Hal itu bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita atas praktik yang terjadi sekarang. Ibrahim menawarkan alternatif forum seleksi serta normativitas dari praktik, yaitu mempertimbangkan praktik yang ada di samping menghormati hukum-hukum Islam. Kita bisa mengupayakannya dengan ijtihad dan penelusuran praktik-praktik tersebut untuk membawa perubahan yang lebih adil pada hari ini. (Lola Loveita) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |