Berbicara tentang media massa hal pertama yang harus kita ingat adalah bahwa media massa sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga dalam konteks isu LGBT terutama terkait dengan advokasi dan kampanye media, kita tidak boleh hanya berhenti pada media cetak. Lebih jauh kita juga harus memahami bahwa soal media massa tidak hanya mencakup perihal peliputan tentang LGBT, tetapi juga menyangkut bagaimana LGBT tampil dalam konstruksi media. Dengan demikian kita tidak hanya bicara tentang berita, tetapi bagaimana LGBT ditampilkan dalam talkshow, film, lagu, sinetron, pertunjukkan musik, dst. Kita harus ingat bahwa media massa itu jauh lebih luas daripada sekadar jurnalistik. Hal ini memiliki implikasi bagi perjuangan LGBT. Pernyataan ini disampaikan Ade Armando, Dosen Komunikasi FISIP UI saat menjadi pembicara dalam acara diskusi yang mengiringi Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT yang diselenggarakan Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute dengan didukung Hivos-Rosea pada Sabtu (5/9) di Casakhasa, Jakarta. Hal kedua yang harus diingat menurut Ade adalah bahwa media massa mempunyai banyak komponen. Sehingga membayangkan bahwa para jurnalis atau para pembuat film atau penulis naskah atau perancang talkshow atau sinetron itu bekerja independen adalah sebuah mitos dan salah, karena mereka semua hidup dalam sebuah sistem. Walau demikian harus dibedakan antara media yang komersial dan yang non komersial. Pertama-tama yang harus diingat mereka berada dalam sebuah struktur dan di dalam struktur ini penulis atau wartawan mempunyai pemimpin redaksi atau atasan. Di luar kebijakan redaksional, ada faktor pemilik media yang bisa juga memiliki kepentingan. Karena itu media yang besar yang mempunyai khalayak yang juga besar, akan berbicara dengan pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih luas. Begitu juga dengan para pembuat film, pembuat sinetron, dsb. Faktor lain adalah soal pengiklan. Karena itu Ade sangat menyadari bahwa tidak mudah untuk menjangkau wartawan, penulis naskah, pembuat film, dsb agar mereka tergerak untuk bersimpati atau bahkan memperjuangkan isu LGBT dalam karya-karya yang mereka hasilkan. Karena itu Ade mengerti jika Jurnal Perempuan lebih berupaya untuk membangun sensitivitas.Agar ketika seorang wartawan menulis tentang persoalan LGBT, paling tidak dia menuliskannya dengan benar. Akan tetapi untuk masuk pada tahap membangun kesadaran, membuat orang menjadi lebih paham persoalan LGBT bukanlah persoalan mudah. Selain faktor media sebagai sebuah sistem, ketidakmudahan yang kedua terkait dengan fakta bahwa orang-orang yang menulis berita, membuat film, menulis karya, membuat talkshow dan program-program TV adalah seorang manusia dan sebagai manusia, seseorang mempunyai preferensi, mempunyai pikiran, memiliki initial attitude terkait dengan isu LGBT. Di luar aspek internal tersebut, terdapat juga pandangan masyarakat umum mengenai LGBT. Kombinasi kedua aspek inilah yang menghasilkan pandangan yang dimiliki seseorang terkait isu LGBT. Dalam hal ini Ade berpandangan bahwa barangkali upaya yang penting adalah mengajar mereka yang bergerak dalam bidang media karena ia sangat percaya media massa merupakan pembentuk konstruksi masyarakat atas dunia. Orang-orang yang bekerja di media perlu diberi pengetahuan yang cukup mengenai isu yang sesungguhnya. Namun kita juga harus menyadari bahwa mereka memiliki initial attitude mengenai LGBT. Ade menduga pada umumnya orang-orang yang bergerak dalam media massa pun mempunyai prasangka, stereotip tentang LGBT. Karenanya dibutuhkan proses yang panjang agar seseorang bergerak dari prasangka menjadi bersimpati lalu berempati dan kemudian menganggap kita semua sama. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |