Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) dan Komnas Perempuan menggelar Konferensi Pers tentang komitmen Indonesia menghapus diskriminasi terhadap perempuan pada 24 Juli 2017, bertepatan dengan 33 tahun Indonesia meratifikasi CEDAW (The Convention on Elimination of all Forms of Discrimination Against Women). Dalam konferensi Pers ini Rita Kolibonso, koordinator GPPI menuturkan bahwa ratifikasi CEDAW adalah sebuah komitmen negara jangka panjang untuk melindungi hak-hak asasi perempuan dan mengupayakan pencegahan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Hingga saat ini sudah ada 7 laporan Indonesia kepada komite dan sejumlah rekomendasi telah diberikan, namun Rita mengungkapkan bahwa hingga tahun 2017 ini pemerintah Indonesia belum menyampaikan laporan kedelapannya pada batas waktu yang telah ditentukan yakni Juli 2016. Hal ini sangat disayangkan karena menurut Rita laporan pelaksanaan CEDAW dari negara Indonesia ke Komite CEDAW adalah penting guna melihat situasi dan mendapatkan evaluasi terkait pemenuhan hak-hak asasi perempuan. Lebih jauh Rita menyebutan kesimpulan dan rekomendasi penting dari Komite CEDAW dalam dialog konstruktif pada 11 Juli 2012, yaitu setelah pengumpulan laporan pelaksanaan CEDAW. Ada 3 hal penting yang disarankan untuk ditangani secara serius, 1) Peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan baik di level nasional maupun daerah, 2) Praktik sunat perempuan, 3) Perkawinan anak. Selain itu Komite CEDAW juga meminta agar pemerintah Indonesia dalam waktu dua tahun memberikan informasi tentang langkah-langkah yang akan diambil untuk pelaksanaan rekomendasi tersebut. Rita menyayangkan bahwa Indonesia belum mengirimkan laporannya kepada Komite CEDAW, dan mempertanyakan komitmen dan tanggung jawab negara untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Azriana Manalu, Ketua Komnas Perempuan turut menyampaikan pernyataan dan catatan Komnas Perempuan terkait pelaksanaan CEDAW di Indonesia. “Hingga saat ini belum ada satu pun perda diskriminatif yang dicabut oleh pemerintah, jadi memang belum ada langkah maju”, ungkap Azriana. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan disebutkan bahwa isu yang berkembang terkait diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan masif namun daya respons negara dalam menanganinya masih rendah. “Kekerasan semakin lintas batas namun konvensi ini saat dijadikan undang-undang malah terjadi penyempitan ruang perlindungan”, tutur Azriana. Lebih jauh ia menyebutkan bahwa kasus kekerasan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan mencapai angka 649 kasus untuk periode Januari hingga Juni 2017, dan 90% adalah kasus kekerasan berbasis gender. Ia mengungkapkan bahwa pelaporan pada umumnya dilakukan karena korban menemui kemadekan dalam upaya penanganan kasus dan korban tidak mendapatkan respons yang semestinya. “Komnas Perempuan mendesak negara untuk segera merevisi UU Perkawinan terkait batas usia minimun menikah dan tentang poligami, mencabut tanpa penundaan seluruh perda diskriminatif dan melakukan pemulihan korban HAM masa lalu”, ungkap Azriana. Pada konferensi pers ini G.K.R Hemas juga memberikan pernyataannya, menurutnya Indonesia belum mengadopsi secara penuh dan menganggap penting substansi CEDAW. Ia menyebutkan bahwa banyaknya perda diskriminatif di berbagai daerah, gagalnya Judicial Review UU Perkawinan dan lemahnya penanganan kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) membuat situasi pemenuhan hak-hak asasi perempuan di Indonesia belum melangkah maju. Ketua Kaukus Perempuan Parlemen ini juga mengakui bahwa minimnya anggaran yang sampai pada P2TP2A dan pemahaman untuk menangani kasus kekerasan menjadi faktor utama mengapa lembaga negara tersebut menjadi tidak efektif menangani kekerasan pada perempuan dan anak. Menurutnya masih banyak persoalan-persoalan lain seperti angka kematian ibu, HIV/Aids pada Ibu Rumah Tangga, pendidikan rendah bagi anak perempuan yang juga harus menjadi kepentingan semua pihak. “Kebijakan bukan hanya ditandatangani tapi diimplementasikan”, ungkap G.K.R Hemas. Setelah pernyataan dari G.K.R Hemas, selanjutnya ialah pernyataan dari Sylvana Apituley, Deputi 5 Kantor Staff Presiden yang fokus pada bidang politik, hukum, pertahanan, keamanan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sylvana mengungkapkan bahwa isu perlindungan anak dan perempuan berada di bawah kedeputian 5, yaitu di bawah isu HAM. Ia mengakui bahwa revisi atas UU Perkawinan No. 1 Tahun 1972 masih jauh dari harapan, meskipun demikian Sylvana mengungkapkan bahwa di tingkat daerah komitmen pemerintah sudah cukup tinggi, salah satunya adalah dengan terus melakukan penguatan infrastruktur dan kapasitas pada P2TP2A yang merupakan bentuk negara hadir di tingkat yang paling rendah. Perihal kekerasan terhadap perempuan, Sylvana juga mengungkapkan bahwa sudah ada perhatian yang serius dan khusus dari pemerintah terkait isu ini, pada beberapa rapat terbatas kabinet menurutnya isu kekerasan seksual kerap kali dibahas. Sylvana meminta seluruh masyarakat sipil bersama-sama dengan pemangku kebijakan mengupayakan terwujudnya kesetaran dan keadilan gender di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |