Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama dengan Amnesty Internasional Indonesia (AII), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta komunitas Paguyuban Mei 1998 kembali memperingati 21 tahun Tragedi Mei 1998 di kompleks pemakaman massal korban Tragedi Mei 1998, TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, pada hari Senin (13/05). Dengan tajuk “Mei Sebagai Bulan Perjuangan”, peringatan tahunan Tragedi Mei 1998 ini merupakan upaya merawat ingatan dengan harapan agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) dalam sambutannya menceritakan peran Komnas Perempuan dalam tragedi Mei 1998. “Kami punya latar belakang yang lahir dari gerakan perempuan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Ada tiga hal yang perlu diingat oleh masyarakat maupun negara, yakni kerusuhan, penculikan atau penghilangan paksa, dan perkosaan. Komnas Perempuan lahir dari tangis dan jerit perempuan dan keluarga yang menjadi korban perkosaan tersebut. Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pun dilakukan untuk mencari keadilan, namun sampai sekarang masih mengalami penyangkalan karena dianggap tidak ada bukti-bukti,” tuturnya. Lebih jauh, Mariana juga menceritakan peringatan ini sempat pula menjadi perhatian pemerintah. Selain memorial yang dibangun dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2015, Basuki Tjahaja Purnama, peringatan ini pun pernah dihadiri oleh presiden RI ke-3, B.J. Habibie di tahun 2017. Beliau juga pernah berjanji untuk membawa suara-suara pencari keadilan ini kepada Presiden Joko Widodo. Namun, dua tahun terakhir tidak ada lagi lembaga negara selain Komnas Perempuan dan Komnas Hak Asasi Manusia yang terlibat, akan tetapi Mariana berjanji untuk terus berjuang dalam mencari keadilan Tragedi Mei 98. “Komnas Perempuan harus terus berjalan sebaga lembaga negara hak asasi manusia yang memiliki tugas, amanat, dan kewajiban untuk terus membantu, mendampingi, dan memberi semangat kepada masyarakat sipil dan korban. Apabila ini adalah sebuah kebenaran, mari sama-sama kita perjuangkan,” ujarnya. Sementara, Darwin selaku perwakilan Paguyuban Mei 1998 menyampaikan rasa syukur sekaligus optimismenya, “saya sangat bersyukur masih ada perhatian yang diberikan kepada kasus ini. Saya berterima kasih kepada lembaga-lembaga yang terus mendukung, juga atas kehadiran anak-anak muda hari ini. Saya melihat banyak rekan-rekan baru yang memiliki rasa inisiatif yang tinggi, mudah-mudahan di kemudian hari akan semakin banyak yang hadir dan semoga tidak pernah lelah untuk mendampingi kami, korban dan keluarga korban. Teruslah kita berjuang bersama-sama, jangan sampai terulang lagi tragedi Mei 1998”. Perwakilan IKOHI, Sri Hidayah, turut mengajak untuk terus memperjuangkan keadilan. Menurutnya, perjuangan selama 21 tahun ini mengisyaratkan perjalanan yang panjang. Oleh karena itu, semangat dan harapan perlu terus dikobarkan untuk mencapai keadilan yang dicita-citakan. “Tuntutan selalu kita kumandangkan, teman-teman media turut membantu menyuarakan, semoga generasi-generasi muda akan lebih bersemengat dan giat untuk mencari kebenaran,” tuturnya. Kemudian, Manajer Kampanye AII, Puri Kencana Putri menyampaikan harapan untuk pemerintahan baru agar dapat memberikan penyelesaian terhadap tragedi Mei 1998, “AII ingin terus meneguhkan kekuatan para keluarga korban dan korban untuk tetap semangat dan untuk tetap menagih janji pemerintah dan negara Indonesia. Kelak, nama yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden memiliki agenda untuk mengungkap dan memberikan penyelesaian terhadap kasus-kasus di masa lampau, salah satunya adalah peristiwa Mei 1998. Sudah menjadi kewajiban bagi negara Indonesia untuk memberikan jaminan negara hukum, termasuk memulihkan kembali hak-hak keluarga korban dan korban. Peristiwa ini penting diingat sebagai memori yang kelam, agar jangan sampai terjadi lagi pada generasi-generasi berikutnya” tuturnya. Refleksi terakhir disampaikan oleh Feri Kusuma, Wakil Koordinator KontraS. Menurutnya, proses pencarian keadilan untuk mengungkap peristiwa ini terus terhambat karena adanya kekuasaan. Pihak yang diduga terlibat atau bertanggung jawab menduduki posis-posisi strategis di pemerintahan. “Seharusnya tidak boleh ada ruang bagi mereka di dalam pemerintahan maupun ruang publik lain sebagai sanksi sosial. Tapi, yang terjadi pada hari ini adalah orang-orang ini semakin berkuasa yang pada akhirnya menekan dan menghambat proses penanganan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu. Tidak ada masa depan yang lebih cerah kalau kita meninggalkan masa lalu dalam kegelapan,” tegasnya. Pernyataan bersama kemudian dibacakan oleh masing-masing perwakilan koalisi lembaga dan komunitas korban Tragedi Mei 1998 melalui beberapa tuntutan, yakni: 1) Memutus belenggu impunitas dalam upaya penuntasan kasus tragedi Mei 1998. Hal ini bisa dilakukan oleh Presiden terpilih nantinya dengan tidak menempatkan terduga pelaku pelanggaran HAM dalam kekuasaan pemerintahan guna mempermudah penegakan hukum dan juga menjamin good governance yang harusnya bersih dari individu-individu yang mempunyai rekam jejak negatif dalam isu HAM; 2) Menjadikan tragedi Mei 1998 sebagai sebuah penanda dan titik tolak demokratisasi di Indonesia. Perjuangan menggerus otoritarianisme yang mengorbankan ribuan nyawa ini harus menjadi upaya reflektif bersama bagi para elite politik dan juga masyarakat Indonesia untuk menyudahi budaya kekerasan di Indonesia. Untuk melenyapkan budaya kekerasan, pemerintah harus menghindari laku diskriminatif maupun menjamin hak warga negara seperti berorganisasi, berekspresi, dan jaminan perlindungan hukum, serta kepastian hukum yang setara bagi semua lapisan masyarakat; dan; 3) Menjadikan memorialisasi seperti yang telah dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam mengenang peristiwa kekerasan Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, agar dilakukan juga terhadap situs atau tempat-tempat pelanggaran HAM di seluruh Indonesia. Hal ini bisa menjadi sebuah rambu-rambu di masa depan agar tidak pernah terjadi lagi peristiwa keji yang mengorbankan nyawa manusia Indonesia. Langkah ini adalah juga langkah minimalis yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia seluruh warga negara. Doa bersama dan penaburan bunga di atas makam korban menjadi agenda terakhir dalam peringatan Tragedi Mei 1998 ini. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |