Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] Politik pada hakikatnya adalah upaya untuk merebut kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan di Indonesia masih didominasi laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga hingga tingkat politik formal. Berdasarkan sensus penduduk 2010, saat ini Indonesia memiliki237.641.326 penduduk, dengan jumlah perempuan sebanyak 118.010.413 jiwa dan laki-laki sebanyak 119.630.913 jiwa serta seks rasio 101, yang berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Dengan jumlah penduduk perempuan yang sangat besar, apakah kepentingan politik perempuan telah diakomodir oleh negara, dalam hal ini pemangku kebijakan? Apakah posisi pengambilan keputusan hari ini telah diwarnai oleh perempuan? Apakah kepentingan perempuan dalam ranah domestik dan publik telah diakomodir? Dan apakah keterwakilan perempuan di ranah publik adalah sebuah urgensi politik? Cendekiawan Sue Thomas melontarkan lima alasan mengapa perempuan perlu meningkatkan partisipasinya dalam politik atau meningkatkan proporsi keterwakilannya dalam jabatan politik (Thomas dan Wilcox 1998, dalam Bennion, 2001). Pertama, kesempatan yang sama bagi kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, untuk memangku jabatan politik bisa meningkatkan legitimasi pemerintahan demokratis yang mengklaim mewakili semua warga negaranya. Kedua, warga negara percaya bahwa semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka tingkat kepercayaan dan dukungan terhadap pemerintah akan meningkat dan hal ini bisa membantu menciptakan pemerintahan yang lebih stabil. Ketiga, perempuan merupakan kelompok talenta yang besar. Kemampuan, titik pandang dan ide-ide mereka dapat menguntungkan masyarakat dengan melibatkan pemegang jabatan laki-laki dan perempuan sekaligus. Keempat, pemerintahan yang merangkul pemimpin laki-laki dan perempuan menyampaikan pesan kepada kaum muda laki-laki dan perempuan juga warga negara dewasa dari semua kelompok umur, bahwa dunia politik terbuka bagi semua orang dan semua golongan, tidak hanya sebagai wilayah eksklusif laki-laki. Alasan ini didasarkan pada legitimasi, stabilitas, dan pemanfaatan sumberdaya. Kelima, alasan mengenai pentingnya memasukkan perempuan dalam jajaran pemimpin politik dilandasi oleh fakta bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai pengalaman hidup berbeda. Dengan adanya perbedaan ini, laki-laki dan perempuan bisa saling mengisi dan menyempurnakan peran masing-masing. Secara khusus, pembagian tugas berdasar gender yang berkelanjutan di tempat kerja maupun di rumah dapat berubah menjadi cara tersendiri untuk memandang usulan legislasi dan agenda politik berbeda, karena jiwa pengabdian, pemeliharaan, dan religiositas yang mereka punyai, diharapkan akan memberikan cara yang berbeda dalam kepemimpinan. UU Pilkada yang pada hari jumat 26 September disahkan dalam sidang paripurna DPR RI masih sarat akan perdebatan, tidak hanya pasca disahkannya UU ini, namun ketika UU ini masih menjadi rumusan pun sudah menuai kontraversi. UU Pilkada yang mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD ini sarat dengan kepentingan politik. Selain itu sejumlah faktor dijadikan alasan untuk kembali ke sistem pemilihan tidak langsung, diantaranya anggaran yang terlalu besar untuk pilkada langsung, politik dinasti dan integritas kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini bisa dilihat pada beberapa pasal, sebagaimana pada bagian keenam pasal 24 ayat (1) bahwa “pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil pemilihan dan pembahasan hasil uji publik dalam pemilihan gubernur dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi” dan sebagaimana pasal 26 ayat (1) dalam RUU Pilkada bahwa “setiap anggota DPRD memberikan suaranya hanya kepada 1 (satu) calon”. Meskipun menuai pro dan kontra, UU Pilkada tetap disahkan dan perjalanan demokrasi kita berjalan mundur kembali pada masa Orde Baru dimana pemilihan kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota diselenggarakan dan dipilih oleh DPRD. Pengesahan UU Pilkada ini mengandung makna bahwa keterwakilan perempuan akan kembali tak mendapat ruang dan kehilangan ruhnya. Pasca Orde Baru, partisipasi politik perempuan mengalami peningkatan dan tentunya berbanding lurus dengan kenaikan persentase perempuan sebagai pemegang keputusan. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan bulan Juni 2005. Sejak saat itu mulai bermunculan kepala daerah perempuan yang berintegritas dan berdedikasi tinggi untuk daerahnya. Mulai tahun 1945 hak perempuan untuk memilih telah diakui dan posisi perempuan dalam politik berlangsung secara fluktuatif. Berikut daftar kepala daerah yang dipilih langsung pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Berdasarkan data diatas terbukti bahwa Pilkada melalui mekanisme pemilihan langsung telah membuka kesempatan bagi perempuan yang mempunyai kemampuan untuk menduduki posisi pemegang keputusan, yaitu kepala daerah. Jika dibandingkan dengan pilkada tidak langsung tentunya sangat jauh berbeda, bahkan pada era pilkada tidak langsung perempuan belum mewarnai posisi kepala daerah. Tentunya UU pilkada dengan mekanisme langsung dipilih oleh rakyat adalah salah satu affirmative action bagi kaum perempuan selain UU pemilu tahun 2003 pasal 65 ayat 1 mengenai kuota 30 % keterwakilan perempuan di legislatif.
Peningkatan angka kepala daerah perempuan sejak pilkada langsung masih belum bisa mengakomodir dan mangadvokasi semua permasalahan-permasalahan perempuan di ranah domestik maupun publik. Dengan dipersempitnya kesempatan perempuan menjadi kepala daerah, siapakah yang akan mengadvokasi kepentingan-kepentingan politk perempuan? Kaum laki-laki? Seperti dijelaskan Mansour Fakih (2001:14)
Pada era kepemimpinan SBY juga UU Pilkada ini mengalami pembahasan ulang sampai akhirnya diputuskan untuk kembali menggunakan mekanisme tidak langsung yaitu pemilihan melalui DPRD. Dengan mekanisme seperti itu, timbul sebuah kekhawatiran atas menyempitnya ruang perempuan di ranah publik. Memang bukan sebuah jaminan bahwa pilkada dengan mekanisme tidak langsung secara otomatis akan menurunkan persentase perempuan sebagai kepala daerah, namun berdasarkan historical data yang ada kita bisa belajar untuk membuat future plan keterwakilan perempuan. Belum genap 10 tahun perempuan bisa bernafas lega karena terbukanya kesempatan-kesempatan berkarya di ranah publik, sekarang ruang itu sedikit demi sedikit ditutup kembali. Representasi perempuan di legislatif belum mencapai 30%, dengan mekanisme pilkada dipilih oleh DPRD, memunculkan pertanyaan apakah calon kepala daerah perempuan yang mempunyai kapasitas dan integritas akan dapat terpilih? Jawabannya tidaklah sederhana, mengingat ini bukan hanya persoalan persaingan gender namun persaingan koalisi partai pengusung dan money politics dikalangan anggota dewan, sehingga tidak menutup kemungkinan integritas dan kapabilitas calon dijadikan nomor kesekian, bahkan sistem demokrasi dari rakyat untuk rakyat ini bisa mengerucut menjadi sistem pemerintahan oligarki. Sekali lagi memang tidak ada jaminan apapun terhadap perempuan pada kedua mekanisme tersebut, namun yang perlu dipertimbangkan kembali adalah mekanisme pilkada mana yang lebih membuka ruang bagi perempuan untuk menjadi kepala daerah. Wajah politik Indonesia hari ini ternyata belum memberi ruang terhadap perempuan. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotip telah menciptakan ketidaksetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marginalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya guna memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya akan memberikan perubahan pandangan terhadap budaya patriarki dalam masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya pemimpin politik perempuan dalam hal ini kepala daerah akan sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpin politik laki-laki. Referensi: Jurnal Perempuan Vol. 17 No. 4, Desember 2012, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta Danu Ramdhana, Politik Gender dan Demokrasi, 2013 http://id.wikipedia.org/Pemimpin_wanita_di_indonesia
Reinita Riani Putri
30/9/2014 04:02:05 pm
UU Pilkada membuat Indonesia kembali dalam kemunduran demokrasi ,padahal telah di biasakan selama 10 tahun terakhir untuk semua kaum laki-laki dan perempuan untuk dapat memilih dan menjadi seorang pemimpin. dengan keputusan sidang paripurna beberapa hari lalu ini membuat ruang lingkup perempuan terbatasi untuk menjadi pemimpin karena pastinya yang menjadi pemimpin sudahlah menjadi pilihan DPRD dan belum tentu sesuai keinginan rakyat tetapi hanya mementingkan kekuasaan dan kepentingan politik semata. sangat memprihatinkan sekali UU Pilkada ini dijalankan pada zaman demokrasi saat ini. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |