Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta) [email protected] Menarik untuk mengulas berbagai respons terhadap susunan Kabinet Kerja Jokowi. Saya mencoba membatasi untuk membaca diskursus yang berkembang terutama pada menteri-menteri perempuan Jokowi. Ada delapan menteri perempuan dalam tubuh kabinet Jokowi. Ini berarti jumlah kursi menteri perempuan terbanyak yang pernah ada dalam sejarah pemerintahan Indonesia. Jika diukur dalam porsi kuantitas maka tentu dengan adanya pertambahan ini kita perlu mengapresiasinya. Catatan tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulas bagaimana figur keseluruhan dari delapan menteri perempuan tersebut. Saya lebih tertarik untuk membaca fenomena tanggapan dan diskursus publik terhadap salah satu menteri perempuan yakni Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Setidaknya respons publik yang cukup ramai terhadap Susi Pudjiastuti menyangkut kepercayaan atas kapasitas, integritas dan moralitas. Ketiga hal itu tentu saya akan dekati dengan berbagai persoalan politik wacana tubuh perempuan dan juga kuasa pengetahuan atas perempuan terutama pada korpus isu soal rokok, tato dan gelar pendidikan. Kalangan yang sinis terhadap figur perempuan pemilik Maskapai Susi Air ini lebih banyak mempersoalkan aspek kelayakan moral perempuan seperti penampilan yang non-mainstream, tidak punya gelar pendidikan tinggi, bertato dan punya kebiasaan merokok. Penampilan dan tubuh perempuan lebih banyak disorot dan sering dilekatkan dengan karakter “perempuan yang tidak baik” dan lebih jauh mungkin sebagai “perempuan tidak bermoral”. Mungkin ini juga bisa berlaku bagi tubuh laki-laki, tetapi catatan ini akan jauh berbeda jika diarahkan untuk tubuh perempuan. Barangkali problem ini tak semata hanya pada persoalan perbedaan atas tubuh laki-laki dan tubuh perempuan melainkan sudah menyangkut persoalan kuasa politik dan ideologi yang masih hidup hari ini. Dalam soal tato misalnya, hingga hari ini masih dianggap sebagai sebuah praktik budaya yang menyimpang dan bahkan diangap sebagai sebuah kultur yang bertentangan dengan moralitas mainstream. Tato selalu dikonstruksikan sebagai kriminal dan penjahat. Bahkan pada masa Orde Baru tato bisa dianggap sebagai musuh negara seperti halnya juga fenomena “rambut gondrong” yang juga pernah dilarang dan ditabukan pada masa-masa itu sebagai berandalan dan kaum kriminal. Tato bahkan hingga hari ini masih tidak dilihat secara kritis sebagai bagian kultural seperti yang diyakini suku-suku tertentu di Indonesia. Tato juga tidak dibaca sebagai bagian kultur seni modern yang hari-hari ini semakin digandrungi oleh masyarakat dan harus kita hargai sebagai bagian ekspresi kebudayaan. Tidak mengherankan ketika kemunculan fenomenal Susi Pudjiastuti kemudian diarahkan semata pada persoalan karena dia bertato. Jauh dari itu, sejarah politik Indonesia juga pernah memberikan contoh tragis bagaimana tato dan tubuh perempuan menjadi bagian praktik penegasan kuasa. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana ketika tragedi politik 1965, rezim Soeharto pada waktu itu menjalankan politik penangkapan dan pemenjaraan kaum perempuan yang diangap terlibat PKI menggunakan cara pendekatan politik atas tubuh perempuan bahkan sampai pada taraf yang paling harafiah. Banyak kesaksian yang pernah tercatat pada pengakuan perempuan-perempuan yang dituduh PKI dalam catatan sejarah tentang tragedi 1965 menunjukkan bahwa tato tubuh adalah sesuatu yang binal dan amoral. Pada berbagai operasi penangkapan, perempuan-perempuan diminta membuka penutup tubuhnya untuk melihat apakah dalam tubuh perempuan ada tato lambang Palu Arit atau tidak. Sebuah gambaran atas bentuk pelecehan tidak hanya pada tubuh perempuan tetapi juga pada bagaimana tato sejatinya dipahami dan dikonstruksi. Praktik serupa juga pernah diberlakukan pada peristiwa-peristiwa konflik seperti di Aceh terhadap perempuan-perempuan yang dianggap aktivis GAM. Kembali praktik kuasa politik bersentuhan dengan tubuh perempuan. Pada persoalan rokok sejatinya juga hampir memiliki nasib serupa. Oleh sebagian pandangan mainstream, perempuan perokok masih selalu dipahami sebagai sesuatu yang lekat dengan amoralitas. Kasusnya akan sedikit berbeda jika diberlakukan pada laki-laki. Merokok masih dianggap sebagai kosumsi laki-laki. Bukankah sejatinya ini juga sebagai persoalan politik diskriminasi tubuh perempuan? Tentu saja diakui bahwa perdebatan tentang budaya merokok yang kemudian dikaitkan dengan bagaimana sosok dan moralitas kepribadian dipahami, hingga hari ini juga masih berlangsung tak hanya menyangkut soal perempuan. Di luar isu kontroversi kesehatan tentang merokok yang kemudian menjadi pertimbangan berbagai kebijakan, merokok juga menyangkut isu-isu berkait dengan moralitas keagamaan dan bahkan politik. Saya ingat bagaimana Orde Baru mengonstruksikan moralitas dengan rokok. Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI karya sutradara Arifin C. Noer, digambarkan sosok pimpinan PKI, DN Aidit sebagai seorang perokok berat. Dalam sebagian adegan film tersebut, sosok Aidit yang sejatinya dalam realitas bukan perokok digambarkan sebagai perokok untuk menambahkan aspek keseraman dan kesadisan seperti halnya film-film mafia umumnya. Korpus pergunjingan tak hanya pada persoalan rokok dan tato, isu tidak adanya gelar pendidikan tinggi juga menjadi hal yang dipermasalahkan. Pertama, karena Susi adalah satu-satunya menteri yang menjabat di pemerintahan dengan berbekal ijazah SMP. Keberhasilan kerja yang dicapai sebelumnya oleh Susi kemudian tenggelam oleh ketidakyakinan apakah seorang yang bependidikan rendah akan mampu menjadi seorang pemimpin sebuah kementerian yang cukup besar cakupan tanggung jawab dan mandat kerjanya. Jika dibaca secara semiotik dalam kultur yang masih mengagungkan kuasa laki-laki dalam hal kerja dan kepemimpinan, seorang pemimpin harusnya mereka yang mempunyai kecerdasan dan kepintaran serta keahlian sebagaimana secara formal itu dibuktikan dalam pencapaian jenjang pendidikan. Hal ini mampu mengingatkan kita pada aspek historis bagaimana perempuan adalah subjek yang tidak terlalu penting untuk mengenyam pendidikan. Dan dalam arti itu juga, maka seyogyanya ia tidak layak memimpin dan hanya pantas bekerja pada wilayah domestik. Persis seperti cerita yang selalu diulang dalam buku pegangan wajib Bahasa Indonesia bagi anak-anak Sekolah Dasar pada era Orde Baru : “Bapak Budi kerja di kantor dan Ibu Budi memasak di dapur”. Mungkin lain soal jika Susi diganti oleh Eka Cipta Wijaya Pemilik Sinar Mas Grup atau Tirto Utomo pendiri Aqua atau Bill Gates atau sosok Mark Zuckerberg yang kesemua dari mereka adalah tidak menyelesaikan pendidikan tinggi tetapi menjadi sosok inspiratif yang banyak dikagumi orang. Mungkin persoalan Susi hanya satu, yakni karena dia “perempuan” dan bukan “laki-laki”. Maka label tidak berpendidikan, perokok dan bertato telah melengkapi bagaimana mata kuasa diskriminatif masih terus hidup dalam politik kita dan bahkan merambah pada aspek dimensi yang paling sublim. Dalam kultur pikir yang masih timpang dan bias ini pula, maka wajar jika sosok Susi Pudiastuti yang mampu menghadirkan figur fenomenal ini kemudian oleh sebagian publik yang sinis sepertinya belum bisa diterima dalam superego moralitas mainstream mereka. Bahkan banyak orang mengutuknya sebagai sebuah kesalahan. Wajah politik yang menghadirkan sosok baru sekaligus fenomenal seperti Susi Pudjiastuti sejatinya justru menjadi pemancaing dan pemantik bagaimana kesiapan mental kita sebagai bangsa yang ingin bergerak maju, bisa menerima dan menghargai hal tersebut. Revolusi mental sejatinya bukan perkara jauh di luar sana, melainkan adalah dekat dengan bagaimana nalar pikir dan kepekaan kita sendiri ditantang untuk bisa memilah secara kritis mana yang perlu digunakan untuk memajukan bangsa dan mana mentalitas pikir yang perlu kita tinggalkan. Saya pikir pemikiran yang hanya diletakkan pada kecenderungan diskriminatif dan bias kuasa gender seyogyanya harus sudah dibuang jauh.
6 Comments
2/11/2014 09:39:49 am
Saya hanya ingin menambah catatan pada tulisan di atas, soal penggambaran peran DN Aidit dalam film Pengkhianatan G30S/PKI disutradarai Arifin C.Noer. Pemeran DN Aidit dalam film tsb adalah alm Syu'bah Asa. Saya kenal baik dengan almarhum SA karena selain berasal dari satu kampung di Pekalongan juga pernah satu asrama dengan saya ketika menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Beliau adalah perokok berat. Ketika saya tanyakan kepada beliau adegan DN Aidit merokok dalam film itu, ia menjawab karena Arifin CN, sutradara yg juga sahabatnya, tahu kebiasaannya beratnya: merokok. Meski tahu DN Aidit bukan perokok. Jadi adegan merokok itu bukan dimaksud untuk menstigmatisasi negatif perokok.
Reply
thmarapul
3/11/2014 11:53:29 am
Tulisan yang memaparkan realiatas sosial kita, membawa kita keluar dari kotak pandora kemapanan "timur" tanpa harus meninggalkan culrute sejati kita, Indonesia.
Reply
3/11/2014 03:17:13 pm
Hei. Kamu. Wanita penuh seni, tulisan bagus dan lagu perjuangan bener2 hal yang ga disangka...
Reply
halimah
16/3/2015 06:17:18 am
stigma dalam pelajaran bahasa indonesia di sekolah dasar sebenarnya bisa saja melahirkan sebuah joke yang menarik jika digubah demikian "bapak budi kerja di kantor, ibu budi memasak di rumah karena ada pesanan catering." dalam hal demikian, bisa saja perempuan memiliki kuasa lebih dalam hal finansial rumah tangga.
Reply
Soja McDonell
8/8/2016 04:49:53 pm
I'm Sonja McDonell, 24, Swiss Airlines Stewardess. I'm interested to meet a lesbian muslim girl in my vacations or possibly in one of my actual 13 oversea towns. Please let me know when you're interested.
Reply
Leave a Reply. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |