Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UI) [email protected] “Ibu Kita Kartini, Pendekar Bangsa Pembela Kaumnya Untuk Merdeka” (Ibu Kita Kartini – W.R. Soepratman) Tanggal 21 April, setiap tahunnya, kita peringati sebagai hari Kartini. Lagu-lagu dikumandangkan, salon-salon penuh untuk menyewa baju kebaya dan berbagai baju daerah lainnya, sale besar-besaran khusus perempuan di minggu Kartini. Kartini.. Kartini… mungkin banyak yang mengenalmu, tau perjuanganmu, tapi belum tentu tau berarti memahami. Saya mencoba mengenal kamu dalam sebulan terakhir ini melalui beberapa literatur, browsing di internet, dan melihat papan sale pinggir jalan. Apakah ini yang kamu mau? Kisah Tragis Kartini Apa yang kita kenal dari wilayah Jepara selain Kartini dan ukirannya yang terkenal? Kartini lahir di Jepara dengan gelar Raden Ayu karena ayahnya, RM Adipati Sosroningrat adalah seorang Bupati Jepara yang naik pangkat gara-gara menikah lagi dengan seorang anak Raja Madura. Menurut Biografi “Panggil aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer, Kartini berasal dari rahim istri pertama Adipati Sosroningrat yang bernama Ngasirah, anak seorang mandor gula di Majong. Dua saudari yang dipingit bersama Kartini di usianya yang ke-12 tahun adalah saudari-saudari tiri dari ibu kedua Kartini. Menurut Pram juga, Kartini dibesarkan oleh kasih sayang sang ayah karena ibu kandungnya entah dicerai entah pergi meninggalkan rumah dan ia diasuh oleh “emban” atau bisa jadi oleh ibu keduanya. “yang mengasuh Kartini pada masa kecil adalah konflik rumah tangga dan konflik permaduan” demikian ditulis Pram. Kartini bisa dibilang beruntung, bisa dibilang dikutuk. Statusnya sebagai priyayi yang membuat dia bisa mengenyam bangku sekolah rendah Belanda. Tidak.. tidak…. seperti sekarang kita sekolah dididik agar menjadi pintar. Kartini pergi ke sekolah dengan harapan agar dia mempelajari etiket, tata krama, dan bahasa Belanda. Tidak tersedia cita-cita lain bagi seorang perempuan priyayi Jawa selain menjadi seorang Raden Ayu. Status Priyayi kemudian mengutuknya ketika berumur 12 tahun. Kartini, si calon Raden Ayu harus dipingit, melalui surat-suratnya kita bisa melihat kepedihan Kartini yang harus dipisahkan dari sekolah yang ia cintai. Tapi walaupun ayahnya sangat revolusioner dan salah satu dari empat Bupati Jawa yang mampu berbahasa Belanda, hal tersebut tidak cukup untuk membuat ayahnya melolosakan diri dari cengkram tradisi Feodalisme. Tapi tenang, tidak ada tembok yang mampu mengekang ide yang tumbuh berkembang. Kartini hidup dibalik tembok bersama dengan segala yang dia baca. Pemikiran Kartini bergerak seiring dengan kemajuan modernitas. Kita bisa melihat buah pikirannya yang jauh melampaui jaman ketika ia tinggal melalui surat-suratnya kepada Estella H. Z Heehandelar. Ia pula menulis surat pengumuman di sebuah majalah perempuan Belanda Holandsce Lelie untuk mencari teman pena, “Seorang gadis modern berani, dan independen yang berjuang demi masyarakat luas” menjadi syaratnya. Dan ditemuinya pula Nyonya Henri Hubertus van Kol serta Marie C.E.Ovink-Soer, semua melalui pucuk-pucuk surat. Sekarang kita kembali lagi ke kisah tragis Kartini. Goenawan Mohamad menyebut Kartini sebagai tokoh epik sekaligus tragis. Kartini menggugat ketidakadilan yang terjadi padanya. Dan ia sekaligus menjadi korban. Kartini mengeluhkan tentang Poligami, padahal ia adalah anak dengan dua ibu, sekaligus menjadi istri dari suami yang telah memiliki tiga istri sebelumnya, Kartini meninggal di usia yang amat muda 25 tahun tanpa pernah mengecap pengalaman sebagai Ibu, ia terlanjur meninggal ketika melahirkan. Polemik Kartini sebagai Pahlawan Nasional Pemilihan Kartini sebagai pahlawan ditetapkan oleh Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 108 tahun 1964. Pernah pula Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar Guru Besar UI mengkritik perihal pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia dalam “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979) yang dijadikan propaganda menentang Feminisme oleh peneliti INSIST Tiar Anwar Bachtiar[1]. Menurutnya, Kartini ada ketersinggungan dengan Snouck Hurgonje yang ingin memperkecil peran islam di Nusantara karena Kartini menyebut-nyebut nama Snouck dalam surat-suratnya kepada Ny. Abendanon. Selain dari Pram, saya menemukan Literatur yang cukup baik yang bercerita tentang Kartini dari Buku Angle of Vision karya Andi Achdian. Dalam bab berjudul ‘Kartini’, dibahas biografi Singkat Kartini dan gerak zaman yang melingkupinya. Tak luput pula bagaimana polemik pemilihan Kartini sebagai tokoh Sejarah. Jika Pram dalam bukunya menulis bahwa Kartini adalah contoh terbaik dalam didikannya (politik etis) yang bisa diberikan kepada Pribumi jajahannya[2] hal ini dituduhkan karena dekatnya Kartini dengan orang-orang Belanda, dan Kartini juga mencicipi pendidikan modern ala Eropa. Pada Desember 2010 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dipertanyakan ‘Kepahlawanan Kartini’ melalui seminar berjudul “Menakar Bobot Kepahlawanan” yang dilakukan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia. Kartini seringkali hanya merepresentasikan budaya Jawa, perjuangannya hanya sebatas Ide dan surat-surat, berbeda seperti yang dilakukan Dewi Sartika yang membentuk sekolah Keutaman Istri ataupun Rohana Kudus seorang jurnalis perempuan. Dengan cukup bijak, Sejarahwan UI ini mengungkapkan bahwa polemik Kartini sebagai pahlawan bukanlah dilihat dengan ‘menakar’. Pahlawan muncul dalam bentuk lain: Inspirasi bagi seorang individu dalam masyarakatnya dengan cara memahami persoalan bukan sekedar mengangkat citra dangkal konsepsi kita tentang Pahlawan.[3] Kartini dalam Feminisme Poskolonial Kartini sering diidentifikasi sebagai Wanita Jawa yang sebagaimanapun ia berontak, akhirnya tunduk juga menikah dan dimadu. Sesuai yang tertera dalam Serat Candrarini bahwa status perempuan Jawa yaitu, 1) Setia pada Lelaki, 2) Rela dimadu, 3) Mencintai Sesama, 4) Trampil pada pekerjaan, 5) Pandai berdandan dan merawat diri, 6) Sederhana, 7) Pandai memahami kehendak laki-laki, 8) Menaruh perhatian pada mertua, 9) Gemar membaca buku berisi nasihat[4]. Kemudian Kartini ditarik pula sebagai ikon Feminis, seperti yang diungkapkan W.R. Soepratman dalam lagunya, “Pendekar kaumnya, untuk merdeka”. Kartini dibelenggu budaya dan tradisi, ia ingin bebas, merdeka dan menginginkan penduduk pribumi merasakan hal yang sama. Gadis Arivia dalam “Poskolonialisme dan Feminisme, dimanakah Letak Kartini?” dalam buku Feminisme Sebuah Kata Hati memposisikan Kartini sebagai seorang Feminis Liberal yang memperjuangkan hak dan menitikberatkannya pada ide. Kedekatan dan kepeduliannya dalam surat-suratnya dianggap sebagai keributan terhadap ego rasional dirinya bukan pemecahan kesunyian kaumnya yang dianggap sebagai the other[5]. Kartini dalam pendekatan Feminis poskolonial menyuarakan subaltern-nya, sosok perempuan dunia ketiga yang terjerat antara tradisi dan modernitas. Statusnya sebagai perempuan priyayi jawa dan keinginananya menjadi perempuan Eropa yang tidak dipingit dan mampu bersekolah[6]. Ingat Kodrat, ya? Katakanlah bagaimana jika Kartini tidak dipilih oleh Belanda sebagai ikon propaganda keberhasilan politik etis. Bukan tidak mungkin Soekarno, bahkan kita tidak mengenal usaha dan ide-ide perempuan yang terlampau maju melebihi jamannya. Katakanlah jika kita memilih ikon lain untuk menggantikan Kartini merayakan harinya. Baik Belanda maupun Orde Baru yang memposisikan Kartini sebagai dua citra perayaan yang berbeda. Sebagai produk pendidikan sukses dan sebagai representasi budaya Jawa. Kartini tertinggal hanya sebagai ikon. Kartini sebagai ikon yang terus menerus dimaknai oleh zaman. Padahal yang ia inginkan adalah cita-cita perempuan yang tidak sebagai istri. Perempuan harus keluar dari pingitan yang membelenggunya melalui kaki-tangan budaya atau pemaksaan kewajiban kemampuan memasak, mengurus anak, dan mengurus rumah. Begitu saya browse di google “merayakan hari Kartini” hingga kini, kita masih menghabiskannya dengan pawai kebaya atau alternatifnya adalah lomba memasak. Semua yang menjadi domestifikasi perempuan. Beberapa tulisan yang memaknai hari Kartini meminta perempuan Indonesia sebagai Kartini, bekerja tapi, ingat kodrat ya, kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga. Sekali lagi, siapapun yang membaca ini dan masih berpikiran Kartini menginginkan itu, anda sungguh-sungguh ahistoris. Catatan Belakang: [1] Tiar Anwar Bachtiar menulis “Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah” sumber asli dari web insistnet.com sudah tidak bisa diakses lihat salinannya di Jurnal Islamia Republika-INSIST (April 2009) [2] Pramoedya Ananta Toer. 2012. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara hal 12 [3] Andi Achdian. 2012. “Kartini” dalam Angel of Vision. Jakarta: LOKA Publishing [4] Wasito Raharjo Jati “Wanita, Wani Ing Tata:Konstruksi Perempuan Jawa dalam Studi Poskolonialisme” dalam Jurnal Perempuan: Budaya, Tradisi, dan Adat” No 84 Vol. 20 No.1 Febuari 2015 hlm 92 [5] Gadis Arivia. 2006. “Poskolonialisme dan Feminisme, dimana Letak Kartini?” dalam Feminisme Sebuah Kata Hati. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan [6] Pramoedya Ananta Toer, Opcit, hal 63 Sumber Internet: http://kvltmagz.com/kartini-dan-korupsi/ diakses pada 14 April 2015 pukul 23.34 http://lakilakibaru.or.id/2011/05/feminisme-kartini-dan-maskulinitas-baru/ diakses pada 14 April pukul 12.05 http://www.eramuslim.com/berita/nasional/pakar-sejarah-kesan-kartini-seorang-feminis-adalah-taktik-belanda.htm diakses pada 14 April 2015 pukul 23.55 http://ciricara.com/2014/04/21/cara-unik-merayakan-hari-kartini/ diakses pada 15 April 11.48 Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |