Siapa yang tak ingat dengan momen tanggal 22 Desember, momen yang bisa saja bersejarah untuk para anak agar tidak dicap sebagai “anak durhaka” jika tak mengingatnya. Ya, serentak kita akan mengatakan itu adalah hari ibu, ibu kita, ibu anda, ibu kita semua. Tak perlu khawatir melupakan momen ini, karena jika anda membuka timeline social media seperti facebook, path, instagram, twitter, dan lain lain, maka hampir bisa dipastikan akan banjir postingan baik berupa foto maupun kata-kata puitis mengenai ibu. Terlepas apakah mereka benar-benar mengatakannya kepada ibu, atau hanya “nampang” di social media tanpa tersampaikan langsung. Jika ditanya tentang makna ibu, sudah bisa dipastikan semua akan memberikan kata-kata terbaiknya demi menggambarkan seorang ibu. Misalnya “she is my everything”, “i love you to the moon and back”, “ibu adalah malaikat di dunia”, dan banyak lagi ungkapan yang mencerminkan makna ibu bagi kehidupan seseorang. Tapi pernahkah kita berpikir tentang siapakah yang disebut ibu? Apakah dia yang melahirkan? Ataukah dia yang merawat? Atau dia yang memberi ASI eksklusif selama 6 bulan? Ataukah semua perempuan bisa disebut sebagai ibu? Dalam pemahaman umum, seseorang disebut sebagai ibu adalah wanita yang melahirkan seseorang (KBBI). Dalam perkembangannya, kata “ibu” juga mengalami perluasan makna. Ibu tidak hanya digunakan untuk sapaan orang yang melahirkan kita, tetapi juga menjadi sapaan umum kepada perempuan yang usianya lebih tua dan telah memiliki suami. Status ibu menjadi paradoks dalam perkembangannya, terlebih dalam budaya patriarkal yang masih melekat kuat. Di satu sisi ibu menjadi status yang begitu mulia, karena ia adalah yang merawat, menyusui dan mengajarkan banyak hal. Terlebih lagi ibu menjadi “significant other” bagi anak-anak, dimana warna-warna dalam kepribadian anak di usia-usia 0-5 tahun dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, terutama ibu. Saking sakralnya, tidak banyak kata yang bisa diungkapkan mengenai makna seorang “ibu”, no words needed. Kemuliaan seorang ibu juga diafirmasi oleh lembaga agama, bahwa orang yang harus dihormati adalah ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu. Tiga posisi yang diduduki ibu sebagai orang yang harus dihormati menegaskan kemuliaan seorang ibu, tidak hanya secara sosio-kultural, tetapi juga secara agama. Di sisi lain, status ibu justru menjadi ajang penaklukan bagi perempuan dengan cara yang lebih subtil dan terkesan “alamiah” dengan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi agar seorang perempuan bisa disebut sebagai “ibu” seutuhnya. Media sosial kini memang menjadi lahan ampuh untuk mereproduksi fenomena secara masif dan efektif. Konsep tentang ibu juga terus direproduksi melalui media dengan berbagai justifikasi secara sosial, agama dan kesehatan. Tidak jarang, masing-masing mendaku diri sebagai ibu yang “seutuhnya” karena telah menjalankan peran perawatan dan rumah tangga dengan baik. Banyak muncul status war dalam media sosial seperti ASI eksklusif versus susu formula, melahirkan secara normal versus cesar, ibu rumah tangga versus wanita karier dan lain-lain. Keduanya tidak lagi seimbang ketika yang satu dianggap lebih baik dari yang lain. Yang satu dianggap menjadi “ibu yang baik” dibanding yang lain. Perdebatan tersebut memiliki justifikasi masing-masing sehingga serasa semua ingin menjadi yang terbaik. Akhir-akhir ini sangat masif terdengar kampanye pemberian ASI Eksklusif bagi bayi berusia 0-6 bulan dengan justifikasi kesempurnaan perkembangan bayi secara fisik dan mental. Di sisi lain, ada juga ibu yang memilih tidak memberikan ASI eksklusif, namun dibantu ataupun sepenuhnya memberi susu formula bagi bayi mereka. Pada akhirnya muncul judgement sebagai ibu yang egois, tanpa memerhatikan alasan lain kenapa dia tidak memberikan ASI untuk anaknya. Perkembangan fisik dan mental anak pun sepenuhnya dibebankan kepada perempuan melalui wacana “ASI eksklusif”, dimana perempuan akan menjadi ibu yang baik ketika mau memberikan ASI eksklusif. Sejalan dengan hal tersebut, perdebatan mengenai status ibu juga terjadi dalam ranah pekerjaan, ibu yang bekerja di luar rumah (wanita karier) dan ibu yang tinggal di rumah (secara umum disebut ibu rumah tangga). Perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga mendapat banyak “dukungan” kaum agamis dan motivator parenting, dengan alasan perempuan adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak, sehingga harus menyediakan seluruh waktunya untuk keluarga (full time mommy). Sedangkan ibu yang memilih bekerja di luar rumah mendapat “dukungan” dari para feminis, dimana bekerja menjadi salah satu tempat pengungkapan eksistensi perempuan, tempat mengembangkan bakat, serta tempat bersosialisasi. Keduanya memiliki justifikasi masing-masing, lebih sering justifikasi tersebut menjadi alasan untuk mendefinisikan diri sebagai “ibu yang seutuhnya” dan mendefinisikan pihak lain sebagai “ibu durhaka” karena memilih bekerja daripada merawat dan mendidik anak di rumah. Apabila perdebatan seperti ini terus berlangsung, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya menjadi ibu yang baik dalam kacamata sosial dan agama. Pada akhirnya status ibu yang mulia dan diidam-idamkan banyak perempuan menjadi ajang penaklukan terhadap perempuan secara lebih subtil dan alamiah. Ketika semua perempuan berlomba-lomba menjadi ibu yang baik, dan mendurhakakan ibu yang lain, maka saat itu pula penaklukan itu sedang bekerja. Seperti yang diungkapkan oleh Foucault tentang kekuasaan yang menyebar dimana-mana, termasuk dalam wacana kemuliaan seorang ibu. Wacana menjadi alat ampuh untuk mereproduksi dan menyebarkan metode baru penaklukan terhadap perempuan melalui status sebagai ibu. Siapa yang tidak ingin menjadi ibu dengan “bayang-bayang” surga di telapak kaki, dengan “status” perempuan seutuhnya ketika sudah menjadi ibu, dan dengan segala preferensi yang diperoleh dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Penaklukan perempuan melalui status “ibu yang baik” berkaitan dengan posisi perempuan yang lebih sering muncul bukan sebagai subjek melainkan dilekatkan dengan peran yang diberikan oleh orang-orang sekitarnya. Perempuan adalah ibu bila menjalankan perannya dalam melahirkan, menyusui, mengasuh, serta mendidik (Jurnal Perempuan edisi 76 hal 47). Pendefinisian dan dikte terhadap perempuan pun kini dilakukan melalui image ibu, mengingat status ibu adalah kemuliaan bagi perempuan sehingga penaklukan terkesan alamiah dan tidak disadari. Melalui image ibu yang baik, perempuan harus memberikan ASI eksklusif bahkan telah diatur dalam PP No 33 tahun 2012. Demi mengikuti wacana yang dibangun, perempuan seperti tidak memiliki pilihan bagaimana ia bisa menjadi ibu yang baik bagi anaknya. Karena satu-satunya jalan menjadi ibu yang baik adalah melalui pemberian ASI eksklusif, terlepas dari faktor lain seperti kondisi fisik, minimnya fasilitas pendukung terutama bagi ibu yang bekerja dan kelas menengah ke bawah. Penaklukan yang terkesan alamiah juga terjadi pada status ibu yang memilih bekerja di luar. Pada awalnya, kesempatan perempuan untuk berkarya di ranah publik memang sudah terbuka dan menjadi kewajaran. Tetapi kesempatan ini seperti menemui jalan buntu ketika perempuan telah menikah dan memiliki anak. Perempuan tidak lagi bebas berkarya di luar rumah, karena mendapat tanggung jawab merawat dan mendidik anak. Perempuan seakan-akan telah dibebaskan memilih untuk berkarya di ruang publik, namun di saat yang sama juga dituntut untuk tidak melupakan “kodratnya” sebagai istri dan ibu. Kondisi dominasi dan penaklukan terhadap perempuan, terutama ibu tidak akan terlepas dari “langgengnya” budaya patriarkal yang hingga saat ini masih tumbuh subur. Pada masa sekarang ini, peng-liyan-an perempuan (ibu) tidak lagi terjebak pada konteks domestik publik, justru kini status menjadi ibu seakan-akan sudah “dibebaskan” untuk berkecimpung di dunia publik untuk memilih bekerja di luar rumah. Tetapi celakanya, justru pada masa inilah perempuan didominasi melalui cara-cara yang lebih halus dan tidak disadari. Dalam konteks Indonesia, penaklukan terhadap perempuan melalui status ibu (dan istri) mencapai puncaknya pada masa Orde Baru, dengan legitimasi kuat dari negara. Melalui ideologi ibuisme negara (state ibuism), perempuan tidak diakui karena diri mereka sendiri, tetapi selalu berkaitan dengan seseorang atau sesuatu. Perempuan juga diasingkan dari proses pembangunan baik dalam kebijakan maupun praktik yang tercermin dalam program khusus perempuan. Ideologi ibuisme negara ini merupakan proses penjinakan yang seluruhnya sejalan dengan tujuan “ketertiban”, “pembinaan”, dan “stabilitas” negara (Julia Suryakusuma, 2012: 181). Program yang menjadi alat legitimasi penaklukan status perempuan sebagai ibu dan istri adalah PKK dan Dharma Wanita, dimana organisasi tersebut seakan-akan dibuat untuk ajang pengembangan eksistensi ibu, namun program yang dilaksanakan tetap berkaitan dengan domestifikasi seperti menyulam, demo masak, menjahit, program imunisasi dan KMS dan lain-lain. Di samping itu, program PKK dan Dharma Wanita ini juga mendefinisikan kemampuan perempuan bukan berdasarkan dirinya sebagai perempuan (subjek), namun perempuan didefinisikan berdasarkan tugasnya sebagai istri dan ibu, meskipun berada dalam ranah publik. Rezim Orde Baru sudah runtuh 17 tahun silam, namun ideologi ibuisme negara masih lestari hingga sekarang, bahkan dikuatkan dengan wacana-wacana baru yang terkesan lebih alamiah. Seperti yang telah disebutkan di awal pembahasan, mengenai wacana tuntutan ASI eksklusif bagi bayi berusia 0-6 bulan yang juga diatur oleh PP No 33 Tahun 2012, tanpa didukung adanya perbaikan fasilitas dan kemudahan akses bagi ibu yang bekerja di luar rumah untuk tetap menyediakan ASI bagi anak-anak mereka, terutama dirasakan oleh pekerja perempuan kelas bawah. Penaklukan perempuan melalui status kemuliaan seorang “ibu yang baik” muncul dalam rangka pembentukan dominasi yang melampaui apa yang perempuan, bahkan masyarakat secara umum bayangkan. Ketika kesetaraan gender sudah dianggap bisa dicapai pada abad ke-21 ini, penaklukan baru dilakukan melalui justifikasi bidang sosial, budaya, agama, bahkan kesehatan yang lebih subtil. Dengan segala apa-apa yang ada dalam tubuh perempuan, maka perempuan dituntut untuk merawat dan mendidik anak dan keluarga mereka, menyusui hingga usia bayi 6 bulan, terlepas dari kondisi kemampuan ibu (fisik, mental dan ekonomi) dan fasilitas pendukung seperti ruang laktasi di berbagai tempat kerja. Penaklukan perempuan tersebut diwujudkan dalam “beban” yang akan ditanggung perempuan sebagai ibu, jika mereka tidak mampu memberikan ASI Eksklusif kepada anak dan akan bertanggungjawab penuh terhadap kemungkinan keterlambatan perkembangan anak baik secara fisik maupun kognitif karena tidak bisa memberikan ASI. “Beban” tersebut juga dilimpahkan pada status ibu yang bekerja di luar rumah, karena tidak bisa menyediakan waktu sepenuhnya untuk perkembangan anak, terutama untuk merawat dan mendidik, serta memilih mencari baby sitter atau menitipkan pada daycare. Perempuan sebagai ibu tetap diberi kebebasan untuk bisa bekerja di luar rumah, tapi di saat yang sama mereka juga tetap bertanggung jawab sepenuhnya terhadap peran mendidik dan merawat anak. Sehingga ketika terjadi “kesalahan” pada anak, maka orang pertama yang akan disalahkan adalah ibu karena dianggap tidak mampu merawat anak, bahkan secara sosial akan mendapat sebutan “ibu yang tidak baik”. Kemuliaan menjadi seorang “ibu” seharusnya tidak direduksi hanya dalam istilah “ibu yang baik” dan “ibu yang tidak baik” melalui berbagai tuntutan-tuntutan yang semakin me-liyan-kan kaum perempuan. Reduksi terhadap identitas perempuan juga semakin marak, dimana perempuan dikatakakan sempurna jika telah memiliki suami dan anak. Perempuan, baik ia berdiri sebagai perempuan atau sebagai seorang ibu belum menjadi subjek yang utuh. Identitas dan keberadaan keduanya hanya akan dianggap ada ketika telah dilekatkan dengan subjek atau peran terhadap subjek lain (terutama laki-laki). Hari ini dan entah sampai kapan, kemuliaan menjadi seorang ibu, bukan diidentifikasikan karena perempuan tersebut memang memiliki sifat feminin yang mengasihi, melayani, dan merawat, tentunya dengan cara dan kemampuan individu. Sebaliknya, perempuan akan bisa mendaku diri dalam kelompok “status ibu yang mulia”, ketika dia sudah menjalankan peran yang diwajibkan kepada mereka sebagai istri dan ibu dengan standar yang dibangun dalam logika patriarkal dan menggunakan standar kebahagiaan laki-laki. Maka dari itu, pendefinisian “ibu yang baik” kiranya perlu ditinjau kembali. Menjadi seorang ibu, bukan didasarkan pada tuntutan apakah dia harus memberikan ASI Eksklusif, harus tinggal di rumah untuk merawat anak-anak seharian penuh, harus merasakan melahirkan secara normal, ataukah harus mengandung dan melahirkan sendiri anak-anak yang mereka cintai. Menjadi seorang ibu, lambat laun terus menjadi peran yang mungkin dihindari banyak perempuan, mengingat “syarat” menjadi ibu sungguh kompleks dengan berbagai perkembangan wacana tersebut. Ketika wacana “ibu yang baik” terus berkembang, maka perempuan telah menjadi objek yang dengan senang hati bersedia didominasi, dengan justifikasi alamiah berupa pemberian pelayanan terbaik bagi anak-anak mereka. Sebutan ibu juga milik mereka yang memilih menitipkan anak di daycare, yang memilih memberikan susu formula untuk bayi mereka, ataupun yang memilih tidak melahirkan sendiri anak-anak mereka. Makna ibu jauh lebih mulia daripada sekadar perdebatan tentang full time mommy maupun yang memilih bekerja di luar rumah, jauh dari sekadar memilih memberikan ASI atau susu formula. Karena ialah ibu yang selalu mengasihi, melayani, dan merawat. Karena ialah ibu, bahkan ketika tidak mengandung, melahirkan, dan menyusui bayi-bayi mereka. Cinta kasih dan keikhlasannya terlalu kuat menjadikan perempuan sebagai ibu, tanpa harus terkungkung dalam wacana “tuntutan sebagai ibu yang baik”. Setiap ibu adalah baik bagi bayi-bayi kecil mereka, karena ia seperti bumi yang terus mengalirkan kehidupan dan menjamah melalui sentuhan kasihnya. Setiap mata yang memancar keteduhan adalah ibu, setiap bibir yang melayangkan senyum adalah ibu, setiap tangan yang menebarkan kasih sayang adalah ibu, setiap hati yang penuh cinta adalah ibu. Selamat Hari Ibu!
Soja McDonell
25/7/2016 03:10:19 pm
I'm Sonja McDonell, 24, Stewardess Swiss Airlines. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |