(Asisten Redaksi Jurnal Perempuan)
pratiwiandi@jurnalperempuan.com

Penulis : Musdah Mulia
Penerbit : Opus Press
Tahun terbit : 2015
Tempat terbit : Jakarta
Tebal buku : Xix + 235 hlm.
Hak-Hak seksual
Seksualitas merupakan suatu ekspresi hasrat erotik atau berahi manusia yang dikonstruksikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan melibatkan faktor politk, ekonomi, nilai budaya dan ajaran agama. Sebab, seksualitas merupakan esensi kemanusiaan paling nyata karena menunjukkan jati diri manusia yang paling dalam. Seksualitas tidak bekerja secara alami dalam diri manusia, melainkan harus dipelajari dengan seksama karena terdapat pengetahuan tentang unsur-unsur anatomi tubuh, nilai-nilai etika, hak-hak manusia, kesehatan reproduksi, dan nilai-nilai spiritual yang dalam. Masyarakat umumnya masih melihat seksualitas sebagai hal negatif, bahkan tabu dibicarakan. Akibatnya banyak hal positif dari seksualitas yang disembunyikan dan diingkari. Hal itu membuat manusia tidak mengerti tentang pentingnya pemenuhan hak-hak seksual.
Perempuan dan laki-laki memiliki hak atas tubuhnya. Mereka berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, melainkan hal yang positif. Perempuan mempunyai hak untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri. Fakta bahwa perempuan secara alamiah memiliki kemampuan fungsi reproduksi berupa berupa menstruasi, kehamilan, melahirkan dan menyusui telah diartikan bahwa tubuh perempuan dianggap berbahaya dan tidak dapat dikontrol, bahkan sama sekali tidak dapat dipahami secara rasional.
Konstruksi sosial mengenai relasi seksual juga masing sangat didominasi paradigma heteronomativitas dan ideologi patriarki yang sarat dengan ketidakadilan gender. Akibatnya, berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, anak-anak dan kelompok difabel tetap terjadi di masyarakat. Stigma dan prejudice terhadap kelompok orientasi seksual minoritas pun masih menguat. Semua itu membuat kasus-kasus perkawinan anak-anak, perkosaan, trafficking (perdagangan perempuan), prostitusi, poligami, perceraian, penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya semakin merebak dalam masyarakat.
Hak seksual adalah bagian integral dan merupakan unsur terpenting dari Hak Asasi Manusia (HAM). setiap orang memiliki hak atas seksualnya yang tidak dapat diabaikan sedikit pun tanpa mengenal pembedaan dalam identitas kelamin, identitas gender, dan orientasi seksualnya. Karena itu, negara dan masyarakat berkewajiban membantu terpenuhinya hak seksual tersebut serta mempromosikan prinsip nondiskriminasi, prinsip nonkekerasan, dan prinsip kesetaraan bagi semua orang termasuk kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Berbagai instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasioanl menyatakan bahwa pemenuhan hak seksual manusia didasarkan pada tujuh prinsip utama. Prinsip hak seksual sebagai hak asasi manusia yaitu, (1) Prinsip perlindungan demi tumbuh kembang anak-anak, (2) Prinsip nondiskriminasi, (3) Prinsip kenikmatan dan kenyamanan, (4) Prinsip kebebasan yang bertanggungjawab, (5) Prinsip penghargaan, (6) Prinsip Kbebasan manusia, (7) Prinsip pemenuhan hak.
Dalam mempromosikan hak-hak seksual dalam kehidupan bermasyarakat ada 3 hal yang menjadi hambatan. Pertama, hambatan kultural atau budaya. Budaya patriarki di masyarakat masih memandang perempuan sebagai objek seksual. Kedua, hambatan struktural berupa kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, khususnya terhadap perempuan dan kelompok transgender serta mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Ketiga, hambatan interpretasi ajaran agama. Umumnya, interpretasi agama yang tersosialisasi luas di masyarakat masih belum ramah terhadap perempuan dan kelompok transgender.
Kekerasan seksual terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan mencakup semua tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di arena publik maupun didalam rumah tangga. Konsideran deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan menyebutkan secara tegas bahwa akar masalah kekerasan terhadap perempuan adalah ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal tersebut menjadi hambatan yang serius bagi kesejahteraan dan kemajuan perempuan. Bentuk kekerasan terhadap perempuan secara umum dapat dikelompokkan kedalam dua kategori: kekerasan di ranah domestik dan di ranah publik.
Akar penyebab kekerasan terhadap perempuan didorong oleh beberapa faktor. Pertama, ketimpangan gender. Sejumlah studi menunjukkan bahwa KDRT berkaitan erat dengan posisi subordinasi perempuan dalam kehidupan keluarga. Dalam masyarakat masih kuat anggapan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri hanyalah ibu rumah tangga. Posisi tidak setara ini dibakukan dalam undang-undang perkawinan 1974. Kedua, perlidungan hukum yang belum memadai. sejumlah kebijakan dan perundang-undangan juga menguatkan subordinasi perempuan. Misalnya, UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 membedakan dengan tegas peran dan kedudukan antara suami dan istri. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Pasal 34 ayat (1) dan (2): “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya”. Aturan seperti ini jelas menempatkan istri sangat tergantung secara ekonomis kepada suami, dan sebagai konsekuensinya, berada dibawah kekuasaan suami.
Ketiga, dominasi nilai-nilai patriarki. Budaya patriarki memberikan stigma terhadap perempuan sehingga posisi perempuan menjadi lemah. Tubuh seksual perempuan dianggap ancaman berbahaya bagi kemurnian laki-laki dan menjadi alasan untuk membenarkan aniaya verbal dan fisik terhadap perempuan. Tubuh perempuan sebagai sasaran objek yang mudah dieksploitasi. Keempat, pemahaman agama yang bias mengenai status perempuan dalam keluarga. interpretasi dan tafsir agama misoginis seperti inilah yang justru banyak disosialisasikan. Konsekuansinya, tafsir agama yang lebih ramah terhadap perempuan dituduh menentang pendapat arus utama yang sudah mapan di masyarakat.
Islam dan perilaku seksual
Dalam sumber klasik Islam, para ulama membagi keberadaan al-mukhannats (perilaku menyerupai perempuan) kedalam dua kategori. Pertama mukhannats khalqi atau yang kodrati dan yang kedua adalah mukhannats bi al-qashdi atau yang disengaja. Para ulama zaman klasik menyatakan bahwa terhadap al-mukhannats tidak boleh direndahkan atau dihukum. Celaan dan hukuman hanya boleh dikenakan terhadap mukhannats bi al-qashdi. Penting dikemukakan bahwa para ulama mengidentifikasi mukhannats bi al-qashdi sebagai kecenderungan seks yang dibuat-buat, bukan hasil konstruksi sosial. Pemahaman para ulama tersebut mungkin dianggap terlalu sederhana. Homo seksual, dalam pemahaman sekarang sesungguhnya memiliki kompleksitas persoalannya sendiri. Ia tidak sekedar menyangkut persoalan perilaku fisik dan seksual, melainkan juga soal medis, psikologis, dan kultural.
Hukum islam selalu tertuju kepada perbuatan yang dikerjakan manusia dengan pilihan bebas, bukan sesuatu yang kodrati dimana manusia tidak dapat memilih. Orientasi seksual adalah kodrat, sementara perilaku seksual adalah hasil konstruksi sosial. Karena itu, hukum Islam lebih berbicara tentang perilaku seksual buakan orientasi seksual. Berkaitan dengan perilaku seksual, Islam menegaskan pentingnya hubungan seks yang aman, nyaman dan bertanggung jawab serta penuh rasa kasih sayang. Islam mengecam semua perilaku seksual yang mengandung unsur pemaksaan, kekerasan, kekejian, ketidaknyamanan, tidak sehat dan tidak manusiawi. Seperti berzina, melacur, incest (hubungan seksual orang tua dan anak), fedofili, seks dengan hewan dan semua bentuk perilaku seks yang berpotensi menularkan penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya. Meskipun seseorang memiliki orientasi heteroseksual, namun ketika perilaku seksualnya penuh kekerasan dan berpeluang menularkan penyakit berbahaya maka yang bersangkutan dipandang menyalahi hukum Islam. Keyakinan bahwa Tuhan mahakuasa dan maha pencipta seharusnya membuat umat beragama menjadi lebih hormat dan lebih empati kepada sesama manusia, apa pun jenis kelamin biologisnya, jenis kelamin sosialnya (gender) dan orientasi seksualnya. Kebhinekaan adalah bukti kebesaran Tuhan.
Berbagai kajian terhadap isi Al-Quran menyimpulkan bahwa Al-Quran hanya menyebut dua jenis identitas gender, yaitu laki-laki dan perempuan. Sementara literatur fikih menyebut ada empat varian, yaitu perempuan, laki-laki, khunsa (orang yang memiliki alat kelamin ganda, umumnya mereka senang berpenampilan sebagai perempuan) dan mukhannits (laki-laki secara biologis, namun mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan menginginkan pergantian kelamin). Dalam bahasa Arab tidak dikenal kosa kata untuk orientasi seksual homo. Homoseksual berkaitan dengan orientasi seksual, sedangkan khunsa berhubungan dengan identitas gender. Dalam kitab-kitab fikih istilah homoseksual sering diartikan sama dengan sodomi. Jika yang dikutuk dalam fikih adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi, maka itu tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual seseorang. Sebab, sodomi bukan hanya dilakukan oleh kelompok homoseksual melainkan dilakukan juga oleh kelompok heteroseksual.
Islam sangat vokal menyuarakan ancaman bagi semua manusia, apapun orientasi seksualnya (homo, hetero, biseksual, aseksual) jika mereka mempraktikan perilaku seksual yang tidak manusiawi. Kesadaran untuk tidak melakukan stigma, diskriminasi, dan kekerasan terhadap sesama manusia dengan alasan apapun adalah pesan utama kenabian dan menjadi esensi ajaran semua agama. Kesadaran itu tidak muncul begitu saja, melainkan harus ditumbuhkan dan dibangun melalui pendidikan formal di sekolah, pendidikan nonformal di masyarakat dan pendidikan dalam keluarga.