Pemerintah Indonesia di tahun 2018 sedang mendorong adanya automasi dalam berbagai bidang mulai dari industri hingga administrasi. Hal ini mendorong pekerja, baik perempuan dan laki-laki untuk lebih akrab dengan teknologi. Kajian teknologi dan feminisme khususnya menyoal dunia siber di Indonesia masih cukup terbatas. Padahal, gerakan perempuan hari ini banyak memanfaatkan dunia siber yaitu media sosial, seperti Indonesia Feminis atau Jakarta Feminis Discussion Group. Dunia siber memberikan ruang untuk menyebarkan ideologi, tidak sekadar dari esai-esai panjang yang menjemukan tetapi juga melalui gambar meme dan insta-story. Jurnal Perempuan 73 yang diterbitkan tahun 2013 membahas tentang teknologi dan perempuan dengan permasalahan utama, mengapa perempuan terhambat dalam menguasai teknologi.[i] Isu perempuan dan teknologi dibahas kembali pada Jurnal Perempuan 91 Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering dan Matematika) di tahun 2016. Isu tentang perempuan dan teknologi berkutat pada dorongan perempuan untuk menguasai STEM melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan usaha feminisme mendorong perempuan tidak hanya menjadi pengguna tetapi pencipta teknologi. Perdebatan tentang feminisme dan teknologi dibahas oleh Judy Wajcman dalam bukunya Feminism Conforts Technology (1991). Wacjman membahas bagaimana teknologi menjadi tergenderkan. Pelacakan sejak kapan teknologi tergenderkan harus dilakukan supaya kita bisa memahami mengapa perempuan diasumsikan berjarak dengan teknologi. Selain itu sebagai bahasan teknologi, dunia siber membuka ruang dalam manusia-manusia memahamai posisi dan identitas dalam lautan informasi yang luas. Hal ini memunculkannya ramainya diskursus terkait identitas politik di dunia siber. Tulisan ini membahas bagaimana teknologi khususnya siber diperbincangkan dalam pusaran feminisme di Indonesia. Tulisan ini berusaha mengisi kekosongan antara kajian humaniora tentang teknologi dan isu-isu feminisme di dunia siber. Isu-isu seperti identitas politik dan kekerasan seksual masih menjadi bahasan yang tidak lekang dalam perdebatan feminisme di Indonesia. Namun, sebelum menuju permasalahan feminisme dalam dunia siber ada baiknya kita membongkar definisi teknologi melalui paradigma feminis dan di mana ada tempat bagi identitas non-biner dalam teknologi. Feminisme Membongkar Teknologi Sejak kapan teknologi bersifat maskulin dan mengapa perempuan berjarak dalam teknologi? Dalam Jurnal Perempuan 91 Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering dan Matematika) sebuah tulisan dari Perdana Putri Roswaldy berjudul “Pencarian Teknologi Feminis”[ii] memberikan perspektif lain untuk membongkar tentang bagaimana teknologi selama ini dipersepsikan. Dengan menggunakan pendekatan feminisme sosialis/Marxist dan epistemologi feminis, Perdana Putri menjelaskan bahwa sepanjang sejarah perempuan memang dipinggirkan dalam proses pembuatan teknologi dan pembagian kerja berdasarkan seks dan gender semakin memperlebar jurang akses perempuan terhadap teknologi. Dengan apik tulisan ini melacak sejak kapan dan mengapa teknologi tergenderkan, Perdana Putri menggunakan epistemologi feminis untuk mendekonstruksi teknologi dan mengkritik kajian-kajian teknologi dan feminisme yang mengesensialisasikan perempuan dan keperempuanan dengan tidak memberikan ruang bagi non-biner untuk dibahas. Epistemologi feminis juga digunakan untuk membongkar segregasi seksual/gender di dalam ilmu pengetahuan yang telah menyebabkan kekacauan serius dengan membuat hierarki teknologi rendah dan tinggi. Teknologi tinggi misalnya kapal terbang dan penemuan logam baru sedangkan aktivitas dengan teknologi seperti holtikultura dan menenun dianggap sebagai teknologi rendah atau tidak dianggap sebagai teknologi sama sekali.[iii] Karakter feminin dan maskulin dikonkretkan dengan ketubuhan sehingga tercipta stereotipe laki-laki sebagai pembuat teknologi disandingkan perempuan sebagai pengguna. Diskursus ini muncul terus-menerus dalam pembahasan soal teknologi dan feminisme dan menyesakinya. Alih-alih mendekonstruksi perempuan dan keperempuanan, stereotipe ini menjebak diskursus feminisme dan teknologi kembali pada esensialisme perempuan dan tidak memberikan ruang bagi gender lainnya berada dalam diskursus ini. Tulisan Perdana Putri juga menantang cara pandang kita terhadap relasi feminin dan maskulin dalam teknologi dan keseluruhan peran gender. Karena ternyata feminisme telah membuka jalan untuk kita meredefinisikan teknologi dan membahas bagaimana kita mau menyuarakan gender lain yang juga menjadi korban dari patriarki. Donna Haraway dalam esainya “Cyborg Manifesto” telah membuka jalan untuk meninggalkan esensialisme dan binaritas gender melalui metafora Cyborg. Cyborg adalah alat untuk mendekonstruksi hierarki dan dominasi dalam dunia yang bias. Haraway membawa jauh perdebatan feminisme ke dalam kajian poshumanis dimana batasan-batasan antara manusia-binatang-teknologi sudah tidak ada lagi, termasuk seks dan gender di dalamnya. Hari ini sudah banyak gerakan sosial untuk melindungi hewan dan bagaimana setiap manusia adalah cyborg dengan pengunaan teknologi seperti kacamata membaca hingga gawai dengan GPS telah melampaui tubuh material. Pandangan poshumanis tidak lepas dari kritik, cyborg yang telah melampaui batasan-batasan seks, gender dan bahkan ras dan geografis dianggap utopis namun diskursus ini memberikan cara baru untuk memandang dan memahami teknologi. Sebab Feminisme harus mencurigai secara dalam awal mula munculnya teknologi, dan menyusunnya kembali supaya membawa perubahan yang berarti dan itu berarti tidak sekadar mendorong perempuan secara kuantitatif untuk masuk ke dalam bahasan teknologi tetapi melakukan revolusi menyeluruh mulai dari mendekonstruksi pemahaman soal teknologi, merebut dominasi dan menggunakan teknologi secara tepat, etis dan inklusif. alam bahasan feminisme hari ini kita menyadari bahwa ternyata gender nonmaskulin yang juga menjadi korban patriarki masih belum diangkat dalam pembahasan teknologi yang tergenderkan. Penguasaan Teknologi dan Revolusi Industri Kita sudah memulai diskusi soal cyborg bahwa dalam sebuah ruang imaterial cyborg adalah mahluk yang tidak memiliki asal dan juga akhir. "in the utopian tradition of imagining a world without gender, which is perhaps a world without genesis, but maybe also a world without end"[iv]. Esai Donna Haraway ini menolak pandangan esensialis terhadap perempuan dan laki-laki. Haraway menolak dianggap sebagai dewi dan mengidentifikasi dirinya sebagai cyborg yang lebih egaliter karena evolusi telah mengaburkan batas-batas antara binatang, manusia dan teknologi begitu juga dengan seks dan gender. Kajian sejarah total (total history) mengamini pendapat ini, dalam seri buku Sapiens dan Homo Deus karya Yuval Noah Harari memperlihatkan jalan sejarah manusia, homo sapiens yang semakin kabur dan ada potensi untuk menjadi kode-kode yang bisa jadi hidup abadi atau mati digantikan oleh spesies lain.[v] Kembali pada hari ini, teknologi begitu luas dan kita perlu mempersempit ruang untuk melacak muasal dan ke arah mana teknologi dikembangkan. Supaya kita bisa melihat posisi dari masalah teknologi dan gender lebih kontekstual. Sebuah esai dari Hizkia Yosie Polimpung berjudul “Teknopolitika dan Kemudahan Hidup” yang diterbitkan Indoprogress.com melacak melalui posisi pekerja sebagai pengguna teknologi dan bagaimana teknologi dikembangkan khususnya di Indonesia. Yosie membagi tiga sektor perkembangan teknologi yang terjadi berdasarkan motivasinya. Pertama adalah perkembangan teknologi militer yang bertujuan untuk menghancurkan musuh dan menyakiti tubuh manusia. Kedua adalah industri yang mengekstraksi kerja manusia dengan motivasi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan yang ketiga adalah sektor domestik yang bertujuan untuk melindungi tubuh dan membebaskan tubuh dari kerja. Yosie tidak berusaha membuat teknologi bergender karena memang tidak perlu. Namun yang harus ditekankan adalah pada sektor mana teknologi dikembangkan di Indonesia dan Yosie menyimpulkan pada sektor militer dan industri. Indonesia dengan populasi penduduk keempat terbanyak di dunia merasa terancam dengan kehadiran mesin-mesin yang menggantikan manusia sebagai tenaga kerja. Untuk itu, banyak pekerja didorong untuk menguasai “teknologi” supaya tidak tertinggal zaman melalui serangkaian pelatihan yang justru tidak mempermudah hidup. Revolusi Industri 4.0 yang digadang oleh pemerintah[vi] menurut Yoshie adalah bagian dari revolusi industriyang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Revolusi industri pertama ditandai oleh teknologi mesin uap, kedua dengan elektrifikasi, ketiga dengan komputerisasi dan informasionalisasi proses-proses produksi, bisnis dan manajerial dan revolusi keempat adalah internetisasi dan otomasi dengan AI (artificial intelegence). Dari sini kita mulai bisa melihat benang merah mengapa perempuan di Indonesia dianggap tertinggal dalam penguasaan teknologi? Karena teknologi yang berkembang terbatas dalam sektor industri dan perjumpaan kita pada teknologi automasi dan informasi berbatas pada dunia kerja. Pekerjaan khususnya dunia industri didominasi oleh laki-laki sehingga permasalahan penguasaan teknologi bukan disebabkan oleh identitas gender tertentu melainkan pada akses kerja. Sehingga yang memiliki penguasaan teknologi terbatas tidak hanya perempuan tetapi juga waria, kelompok disabilitas, penduduk desa yang jauh dari kota yang sulit mendapatkan pekerjaan formal dan tidak berkenalan dengan mesin-mesin produksi. Dunia Siber dan Permasalahan Tubuh Material Selain berkembang secara terbatas di sektor industri, ada pula dunia imaterial yang jarang dibahas dalam interaksi manusia-manusia cyborg. Dunia siber tidak lagi menjadi asing bagi kehidupan kita sebagai cyborg. Media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram adalah perpanjangan ruang interaksi material dengan teman-teman di dunia material dan sarana pertemuan dengan cyborg-cyborg lain yang memiliki kesukaan yang sama. Sebagai cyborg kita juga hidup dalam dunia material dengan berbagai batas identitas, geografis, hukum, genital dan peran gender yang diatur oleh administrasi negara. Sedangkan di dunia imaterial kita punya pilihan untuk membawa serta identitas yang lama atau muncul dengan identitas yang sama sekali baru. Dunia siber yang imaterial menyediakan anonimitas dan memungkinkan kita untuk memilih identitas, preferensi dan lokasi geografis yang bisa sama sekali berbeda dengan dunia material yang tidak bisa dipilih. Namun sayangnya pilihan tersebut semu dan utopis karena banyak permasalahan-permasalahan dunia material belum selesai yang justru memanjang ke dunia maya. Tidak semua dari kita menyadari bahwa cyborg mampu memainkan identitas yang tanpa awal dan akhir di dunia imaterial. Kemewahan anonimitas dan kesetaraan menjadi semu ketika kita menarik relasi antara dunia siber dengan dunia material. Dalam penggunaannya teknologi dan dunia siber sebagai perpanjangan dari dunia material ternyata membawa serta masalah-masalah yang tidak selesai, salah satunya adalah politik identitas. Di sini kita kembali mundur untuk melihat perempuan sebagai identitas gender dan peran keperempuanan disegel melalui vagina dan ditempatkan dalam hierarki yang rendah. Patriarki hadir sebagai sebuah sistem yang menggurita dan membelit banyak sektor: ekonomi, politik, sosial dan lainnya. Keperempuan dan tubuh perempuan belum beranjak dari posisi sekunder dan kerentanannya memanjang ke dunia imaterial. Politik identitas yang masih menjadi masalah dalam dunia siber juga bisa dilihat dari bagaimana politikus hari ini menggoreng isu-isu yang juga masih sekitar politik identitas sebagai senjata untuk berkuasa di dunia material. Masing-masing kandidat calon presiden 2019 memiliki pasukan siber untuk membombandir wacana dan lini masa sosial media. Bebagai acara televisi didasari oleh isu-isu atau konten yang viral di sosial media. Jembatan antara dunia material dan imaterial adalah memang masalah politik identitas dan kekuasaan di dunia material yang belum selesai. Permasalahan Siber dan Identitas Perkembangan teknologi digital 4.0 yang hanya sebatas keperluan industri, menyebabkan undang-undang yang mengatur interaksi kita terbatas pada pengaturan hukum-rugi transaksi elektronik. Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE banyak membahas tentang interaksi yang terbatas pada transaksi elektornik atau pencegahan pornografi dalam ketentuan pidananya. UU ITE tidak melindungi individu-individu. UU ITE dibuat untuk melindungi bisnis dan transaksi elektronik yang menekankan perlindungan kepada pelaku industri. Oleh sebab itu UU ITE dibuat untuk mengakomodasi bisnis e-commerce di Indonesia karena sekali lagi, teknologi yang dikembangkan di Indonesia adalah sektor Industri sehingga Undang-undang yang mengatur teknologi dan informasi sebatas kepentingan industri. Kita bisa melihat dengan sengaja permasalahan seperti perlindungan identitas atau data pribadi pengguna bukan menjadi bahasan. Dunia siber tidak mengenal ruang privat dan publik. Penyedia jasa media sosial mengumpulkan sebanyak-banyaknya data pribadi para pengguna supaya bisa dijadikan informasi yang dapat dijual kembali kepada pengiklan. Facebook tidak meminta uang dari kita tetapi meminta waktu kita dihabiskan sebanyak mungkin di dalamnya, kita adalah pekerja imaterial yang memberikan waktu kita secara cuma-cuma untuk kemudian diolah dan dijual kembali sebagai keuntungan bagi Facebook. Permasalahan antar individu juga muncul dalam interaksi digital dan biasanya menyasar pada identitas rentan yang tidak selesai dalam dunia material. Misalnya bagaimana tubuh perempuan dimutilasi dan menjadi objek seks sudah terjadi pada dunia material dan ini belum selesai. Permasalahan seksualisasi tubuh perempuan sebagai objek seks memanjang ke dunia siber sebagai pornografi. Riska Carolina peneliti dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) merangkum berbagai permasalahan dunia siber yang menyangkut identitas seks dan gender di dunia nyata. Setidaknya ada 11 jenis kekerasan siber yang menyerang seksualitas yang saling memengaruhi, baik di dunia material dan siber, dan sulit untuk mendapatkan perlindungan dari masyarakat maupun negara yakni:
Sebagaimana diungkapkan Perdana Putri dalam artikelnya, feminisme punya modal besar untuk merebut dominasi patriarki atas teknologi melalui dekonstruksi dan penggunaan teknologi untuk tujuan yang baik, menguntungkan dan bertujuan untuk kesetaraan perempuan dan gender lain yang terdampak oleh patriarki termasuk LGBTIQ.Perkembangan teknologi digital di Indonesia sangat industri sentris dan perlindungan negara terkait interaksi di dunia siber juga berbatas pada kebutuhan industri.Permasalahan-permasalahan seperti politik identitas yang belum selesai di dunia material meluas ke dunia siber dan saling mempengaruhi. Dengan membaca dan melacak kehadiran teknologi kita bisa melihat ke mana arah pengembangan teknologi, melakukan koreksi dan perebutan kembali. Hingga saat ini baik di dunia material dan siber tidak ada perlindungan bagi perempuan dan gender non-maskulin lainnya supaya identitasnya tidak dipolitisasi. Permasalahan siber dan dunia material bertalian karena masalah-masalah yang belum selesai menyangkut seks dan gender memanjang ke dunia siber dan saling memengaruhi baik secara individu maupun kelompok. Masalah-masalah seperti ujaran kebencian, pornografi tanpa konsensus atau pemalsuan identitas belum diatur dalam regulasi secara tepat dan hal ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua. Daftar Pustaka: Harari, Yuval Noah. (2014). Sapiens: A Brief History of Humankind. Amazon e-book Kindle Edition. Harari, Yuval Noah. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Amazon e-book Kindle Edition. Wajcman, Judy. (1991). Feminism Confrots Technology. Pensylvania State University Press, United States of America. Haraway, Donna Jeanne. (1985). A Cyborg Manifesto: Science Technology and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century. Socialist Review, Routledge, Newyork, 159 – 181. Roswaldy, Perdana Putri. (2016). Pencarian Teknologi Feminis: Tantangan Feminisme Abad XXI. Jurnal Perempuan 91, 59 – 75. RG. (2013). Catatan Jurnal Perempuan: Transvaluasi. Jurnal Perempuan 78, 4 – 5. Polimpung, Hizkia Yosie. (2018). Teknopolitika Kemudahan Hidup dari https://indoprogress.com/2018/06/teknopolitika-kemudahan-hidup/. Polimpung, Hizkia Yosie. (2018). Agenda Otomasi dari https://indoprogress.com/2018/03/agenda-otomasi/ SGRC. (2018). Jenis-jenis Kekerasan Seksual Siber oleh SGRC dari https://sgrcui.wordpress.com/2018/06/11/jenis-jenis-kekerasan-seksual-siber-oleh-sgrc/. Bappenas. (n.d). Kebijakan Pembangunan iptek untuk Kemajuan Bangsa Pentingnya iptek dan inovasi dari https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/kebijakan-pembangunan-iptek-untuk-kemajuan-bangsa-pentingnya-sistem-nasional-iptek-dan-inovasi/. Catatan Akhir: [i] Catatan Jurnal Perempuan ditulis oleh RG berjudul “Transvaluasi” dalam Jurnal Perempuan no 73: Gender dan Teknologi Vol 18 No.3 tahun 2013. [ii] Roswaldy, Perdana Putri. Hal 59 - 75. “Pencarian Teknologi Feminis: Tantangan Feminisme abad XXI” dalam Jurnal Perempuan 91, Vol 21 No 4, tahun 2016. [iii] Opcit hal 63. [iv] Haraway, Donna Jeanne, “A Cyborg Manifesto: Science Technology and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century”. Socialist Review, Routledge: Newyork, Pdf hal 7. [v] Pembacaan penulis terhadap dua buku Yuval Noah Harari berjudul Sapiens: The Brief Human History (2014) dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015), Amazon e-book. [vi]https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/kebijakan-pembangunan-iptek-untuk-kemajuan-bangsa-pentingnya-sistem-nasional-iptek-dan-inovasi/. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |