Atem Kornadi (Departemen Sosiologi Pascasarjana FISIP, Universitas Padjajaran Bandung) [email protected] Abstrak Dramatisasi perjuangan perempuan dan anak guna memperoleh keadilan dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung sangat alot dan berliku. Isu Kekerasan seksual yang sedang marak diperbincangkan di Indonesia saat ini telah menempatkan perempuan dan anak sebagai korban dalam rentang masa yang sangat lama dan cenderung menjadikan mereka sebagai pihak yang selalu disalahkan. Negara masih tampak merangkak dalam menyelenggarakan upaya perlindungan dan belum mampu menjamin seutuhnya keamanan perempuan dan anak, begitu juga produk hukum yang ada saat ini belum bisa menjawab kegelisahan mereka. Terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam menyikapi permasalahan kekerasan seksual, hal itu tidak terlepas dari nilai budaya patriarki yang membentuk hierarki kekuasaan laki-laki dengan memosisikan perempuan dalam relasi yang berhak dikuasai termasuk dalam hal seksualitasnya dan akan menyebar ke dalam relasi kekuasaan yang lebih luas seperti dalam lingkup keluarga hingga negara. Tulisan ini mencoba menganalisis kompleksitas permasalahan dalam menyikapi kekerasan seksual yang menjerat perempuan dan anak-anak melalui gagasan secara deskriptif dengan berbagai tinjauan. Kata Kunci: Kekerasan seksual, Perempuan dan anak, Perlindungan, Hukum Pendahuluan Negara merupakan sebuah asosiasi yang direfleksikan melalui otoritas kekuasan suatu kepemimpinan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan badan-badan kelengkapan negara lainnya yang secara hukum maupun moral berkewajiban melakukan tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan negara. Berkenaan dengan itu negara harus mampu menciptakan Kehidupan rakyat yang damai, sejahtera dan memberikan perlindungan dari tindakan ataupun upaya-upaya yang dapat mengancam keselamatan bagi setiap warganya, tanpa terkecuali juga berlaku bagi anak-anak. Negara yang diwakili oleh pemerintah sebagai perangkat primer dalam penyelenggaraannya harus mampu mencegah, menekan bahkan menghapuskan setiap tindakan-tindakan yang dapat mengancam keselamatan anak baik secara fisik maupun psikis. Sebagai negara yang telah berkomitmen dalam deklarasi A world fit for Children (WFC) pada 27th United Nation General Assembly Special Session on Children pada tahun 2001, berarti pemerintah Indonesia telah menyatakan diri bahwa negara siap mengupayakan dan melaksanakan program-program yang memiliki tujuan utama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan yang dapat menghancurkan kehidupan anak. Seperti yang terkandung dalam bidang-bidang yang menjadi perhatian khusus dalam deklarasi tersebut yang meliputi 4 pokok seperti, promosi hidup sehat, (promoting healthy lives), penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap pelecehan, eksploitasi dan kekerasan (protecting against abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/AIDS (combating HIV/AIDS).[1] Bentuk-Bentuk kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia sangat beragam, mulai dari penyiksaan, eksploitasi hingga kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual terhadap anak memang tengah menjadi sorotan di Indonesia, meski kasusnya bukanlah yang tertinggi dibanding beberapa negara-negara lain. Akan tetapi bentuk kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia merupakan fenomena gunung es, banyak kasus-kasus yang tidak muncul ke permukaan, ini bisa saja dikarenakan ada kaitannya dengan kondisi sosial budaya masyarakat, yang menganggap kejahatan seksual sebagai aib keluarga dan tidak perlu diungkapkan kepada siapapun termasuk melaporkannya kepada yang berwenang. Pandangan dari perspektif lainnya belum ada kejelasan hukum yang secara tegas mendeklarasikan perlindungan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Selama ini kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anak masih ditangani di bawah dasar hukum perlindungan perempuan dan anak dan tidak spesifik pada kasus kekerasan seksual. Hal ini memperlihatkan bahwa negara masih mengesampingkan perhatiannya dalam menanggulangi anak-anak korban kekerasan seksual. Payung hukum yang selama ini digunakan untuk mengatasi masalah kejahatan anak masih sangat minim, misalnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, muncul sebagai buah hasil dari reaksi masyarakat yang menyoroti maraknya tindakan kejahatan anak yang terjadi pada tahun 2000-an. Akan tetapi setelah terbitnya undang-undang tersebut kejahatan terhadap anak tidak berhenti begitu saja bahkan cenderung meningkat dan lebih mengarah pada tindakan-tindakan kejahatan seksual, dan belum ada aturan yang spesifik menangani hal tersebut. Tindakan-tindakan kejahatan seksual pada anak seiring waktu seolah tiada berhenti, misalnya kasus yang terjadi pada tahun 2014 yang membuat gempar masyarakat Indonesia yakni adanya tindak kejahatan seksual pada murid yang terjadi di Jakarta International School (JIS) yang dilakukan oleh beberapa petugas kebersihan bahkan menyeret guru berkebangsaan Kanada yang diduga juga turut terlibat.[2] Kemudian yang tidak kalah menghebohkan ialah kasus pembunuhan yang disertai pelecehan seksual yang menimpa bocah perempuan bernama Angeline di Denpasar Bali pada tahun 2015 yang diduga dilakukan oleh seorang pembantu,[3] namun pada akhirnya turut menyeret ibu angkat korban sebagai tersangka. Kejadian ini ikut mengguncang keselamatan anak di Indonesia. Badan hukum maupun perlindungan anak seakan mendapat tamparan besar bahwa kenyataan yang menimpa anak-anak di Indonesia masih belum sepenuhnya bisa diatasi dan ini menjadi alarm yang akan selalu mengingatkan bahwa perlindungan terhadap anak belum terselenggara dengan baik dan menjamin sepenuhnya keamanan anak. Perlindungan hukum ataupun upaya-upaya penanganan terhadap kasus kejahatan dan juga korban kekerasan seksual yang dinilai masih kurang optimal ini dapat menjadi alasan banyak keluarga yang enggan melaporkan kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak mereka. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada jumlah data yang kurang akurat terkait kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak sehingga semakin sulit untuk ditindaklanjuti. Menyadari masih kurangnya payung hukum yang mengatur secara spesifik mengenai kekerasan seksual inilah maka keberadaan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual membawa sedikit angin segar bagi perempuan dan anak-anak di Indonesia. Akan tetapi RUU ini masih menjadi diskursus yang cukup panjang di parlemen dan hingga saat ini belum menemukan titik terang untuk mencapai kesepakatan pengesahan. Beranjak dari kondisi inilah tulisan ini ingin mencoba mendiskusikan terkait bagaimana upaya negara dalam merefleksikan perlindungan terhadap kasus kekerasan seksual yang difokuskan pada kejahatan-kejahatan seksual yang menimpa anak-anak selama ini di Indonesia melalui pendekatan deskriptif yang lebih menjelaskan melalui tinjauan-tinjauan teoritis dan berdasarkan fenomena-fenomena yang ada. Kekerasan Seksual: Kejahatan yang Berkepanjangan Mengekang Perempuan dan Anak Sejak Berabad-abad yang lalu setiap manusia yang terlahir secara biologis dengan organ reproduksi yang berjenis kelamin perempuan sudah rentan mendapatkan pelecehan, bahkan pada peradabannya perempuan sering diperlakukan sebagai pelampiasan nafsu laki-laki. Tindakan pelecehan seksual ini sudah berlangsung sejak lama, misalnya adanya budak perempuan yang dianggap seperti barang yang harus tunduk dan siap melakukan apa saja yang diperintah oleh tuan atau pemiliknya. Di zaman Romawi kuno, banyak budak-budak perempuan yang harus merelakan tubuhnya hanya untuk memenuhi keinginan berahi tuannya. Para pria pemilik budak wanita dapat secara bebas melakukan hubungan seksual dengan budaknya, sehingga kadang-kadang pria kaya membeli budak wanita yang cantik dengan tujuan menikmati tubuhnya. Banyak budak yang dibebaskan jika sudah tua, itu pun jika mereka dapat hidup sampai usia tua.[4] Fenomena-fenomena seperti itu di zaman modern ini hanya mengalami pergeseran makna mengingat perempuan hingga saat ini masih merupakan objek yang selalu diposisikan sebagai subordinat laki-laki. Bentuk-bentuk kekerasan atau kejahatan seksual mudah terjadi begitu saja, terlebih lagi cenderung terjadi di lingkungan terdekatnya. Kejahatan-kejahatan seksual tidak hanya terjadi dalam bentuk-bentuk prostitusi ataupun perdagangan perempuan dan anak (human trafficking) akan tetapi kejahatan seksual semakin masif terjadi di lingkungan kesehariannya. Guna memahami tindakan kekerasan atau pelecehan seksual lebih jauh, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual? Atau definisi dari kekerasan seksual itu sendiri melalui pandangan-pandangan konseptual. Kekerasan seksual adalah semua bentuk ancaman dan pemaksaan seksual (M. Irsyad Thamrin dan M. Farid 2010, Yuwono 2015). Dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual apabila terdapat ancaman (verbal) dan atau pemaksaan (tindakan). Jadi kekerasan seksual tidak hanya berupa tindakan-tindakan kejahatan yang dialami secara fisik namun dapat berupa ucapan yang termasuk mengancam yang menimbulkan ketakutan dan memberikan dampak secara psikologi. Begitu juga yang dimaksud kekerasan seksual terhadap anak ialah pemaksaan, ancaman, atau keteperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual tersebut meliputi melihat, meraba, penetrasi (tekanan) pencabulan, dan pemerkosaan (Paramastri et al. 2010). Dampak yang kemudian ditimbulkan dari tindakan kekerasan seksual tersebut dapat berupa dampak fisik, psikologi dan sosial. Dampak fisik seperti luka-luka atau robeknya selaput dara bagi perempuan dan di bagian-bagian lainnya, sedangkan dampak psikologi meliputi trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri serta dampak sosial seperti perlakuan sinis masyarakat di sekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan dan sebagainya (Orange dan Brodwin 2005, Paramastri et al. 2010). Setiap daerah di Indonesia tanpa terkecuali rawan terjadi tindak kekerasan seksual terkhusus pada perempuan dan anak. Kompleksitas isu yang terkait dengan permasalahan perempuan memang masih terdapat kenyataan adanya nilai budaya yang tidak mendukung tercapainya kesetaraan gender, meski diakui saat ini di Indonesia pergerakan-pergerakan pengarusutamaan gender sedang berkembang, akan tetapi tetap saja masih berlangsung ketimpangan gender dalam kehidupan bersama yang membuat perempuan mengalami bentuk-bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi secara seksual. Permasalahan ini dapat dikatakan karena terdapat hierarki berdasarkan jenis kelamin yang mempolitisasi seksualitas berupa dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan sebagai subordinat di lingkungan manapun mereka sehingga dalam kategori sosial menguntungkan laki-laki. Latar belakang budaya patriarki yang cukup mendasar turut mengambil andil dalam permasalahan ini yang turut memengaruhi produk perundang-undangan. Misalnya pasal 31 ayat (3) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa, “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Hal ini akan menimbulkan pemahaman bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas keluarga. Bahkan dalam melakukan tindakan-tindakan kekerasan, dominasi kekuasaan tersebut masuk dalam relasi gender dan seksualitas. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Zgouride dan Zgouride (2000) ‘…the work place, and politics is sexism, or prejudice and discrimination of gender. Fundamental to sexism is the assumption that men are superior to women’. Topik ini sebenarnya sudah disoroti sejak dulu oleh kelompok-kelompok feminis, terutama feminis radikal yang menyoroti dua konsep utama, yaitu patriarki dan seksualitas. Istilah patriarki pada awalnya digunakan oleh Max Weber untuk mengacu pada suatu sistem sosial politik tertentu dimana seorang ayah, berkat posisinya dalam rumah tangganya bisa mendominasi anggota jaringan keluarga luasnya dan menguasai produksi ekonomi dari kesatuan kekerabatan tersebut. Kemudian istilah ini diambil alih oleh para feminis radikal pada tahun 70-an; feminis radikal yang mengacu ke aspek sistemik dari subordinasi perempuan sebagai akibat adanya patriarki; patriarki tidak hanya memaksa perempuan menjadi ibu, tetapi juga menentukan kondisi keibuan mereka. Ideologi patriarki yang mengobjekkan seksualitas perempuan bisa tampak dalam kekerasan seksual yang muncul sehari-hari dalam gejala pemerkosaan, pornografi, iklan dan media massa. Meskipun tidak ada kesepakatan terkait arena utama terjadinya dominasi laki-laki tersebut dalam ideologi (saptari dan Holzner, 1997). Sama halnya dengan perempuan yang rentan menjadi korban tindak kekerasan seksual, anak-anak menempati posisi yang hampir serupa dan lebih cenderung mengalami bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sangat kompleks. Kondisi lingkungan tidak lagi mampu menjamin terhindarnya anak-anak terhadap kekerasan seksual, seiring adanya interaksi langsung antara anak dengan orang-orang dewasa sehingga risiko-risiko terjadinya kekerasan seksual sulit terhindarkan. Lingkungan-lingkungan yang seharusnya melindungi anak-anak pun beralih menjadi tempat yang paling berisiko terjadinya praktik kriminal ini. Seperti di sekolah yang lumrahnya tempat penyelenggaraan pendidikan baik berupa moral maupun intelektual tidak lagi menjamin hal tersebut. Lingkungan sekolah kini justru menjadi sangat berpotensi bagi munculnya tindakan kekerasan seksual karena hubungan antara orang dewasa dan siswa akan lebih sering terjadi tanpa adanya pengawasan dari pihak keluarga. Selain itu bentuk relasi kekuasaan antara guru dan murid terkadang juga sangat menjerat. Cukup sulit menelusuri sumber yang memicu terjadinya kekerasan seksual, karena faktor-faktor yang menyebabkan praktik-praktik kriminal tersebut sangat beragam, namun untuk melacak sumbernya boleh meminjam gagasan Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud setiap manusia memiliki libido (nafsu berahi) yang selalu menuntut untuk dilampiaskan. Namun demikian tuntutan untuk melampiaskan libido yang bersarang pada tubuh manusia itu tidak selalu dapat direalisasikan oleh manusia, penyebabnya karena adanya norma-norma sosial, seperti norma agama, kesusilaan, dan hukum (Yuwono, 2015). Terhalangnya manusia untuk merealisasikan libido inilah yang membuatnya semakin terpenjara dalam diri manusia dan selalu memberontak untuk dilampiaskan hingga keinginan berahi tersebut sangat sulit dikendalikan. Banyak cara dilakukan oleh orang-orang untuk mengendalikan hasrat tersebut, seperti melakukan perjalanan, berolahraga, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini merupakan pengalihan yang bersifat positif. Namun yang kemudian menjadi masalah adalah ketika manusia tidak mampu menampung hasrat dari libido tersebut dan tidak mampu mengalihkannya dalam bentuk-bentuk aktivitas positif. Maka yang terjadi ialah pengalihan dalam tindakan-tindakan negatif baik dengan menyalurkannya pada bentuk-bentuk berbayar (prostitusi) atau yang lebih parah dalam tindakan-tindakan kriminal (pemaksaan). Pelampiasan dalam bentuk negatif inilah yang dijadikan jalan pintas oleh pelaku-pelaku kekerasan seksual dalam masyarakat yang seakan tak pernah henti mengintai dan siap menerkam perempuan dan anak-anak. Realitas Kekerasan Seksual pada Anak Anak merupakan generasi bangsa yang negara wajib melindungi, memberikan hak-haknya untuk tetap hidup damai, aman dan sejahtera. Di Indonesia peraturan yang mengatur perihal anak terdapat dalam beberapa cakupan, namun masih tampak tumpang tindih. Secara hukum ruang lingkup dari kekerasan seksual terhadap anak masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, maka dalam pandangan hukum pidana ini yang dimaksud dengan kekerasan seksual terhadap anak adalah kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada orang berusia di bawah 16 tahun. Pendefinisian tentang anak juga memiliki perbedaan terutama dalam penetapan usia, yang disesuaikan dengan konteksnya. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut definisi World Health Organization (WHO), batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2014). Perkembangan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di Indonesia semakin memprihatinkan. Akhir-akhir ini kejahatan yang menyangkut pelecehan seksual anak semakin mencuat sejak tahun 2000-an ditambah lagi media-media semakin mem-blow up tindakan-tindakan kekerasan seksual tersebut ke permukaan, sehingga tindakan kriminal jenis ini yang dulunya sangat jarang didengar dan bahkan tabu untuk dibicarakan bertransformasi menjadi konsumsi publik yang tak terhindarkan. Pusat data dan informasi nasional perlindungan anak Indonesia mencatat, selama periode 2010-2014 terjadi lebih dari 21 juta kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut sebanyak 42 hingga 58 persen merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak. Selebihnya kasus kekerasan fisik dan penelantaran anak. Data kejahatan seksual terhadap anak juga mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada 2010 tercatat 2.046 kasus diantaranya 42 persen merupakan kejahatan seksual, pada tahun 2011 terjadi 2.462 kasus, diantaranya 58 persen merupakan kejahatan seksual, 2012 meningkat lagi menjadi 2.637 kasus diantaranya 62 persen merupakan kejahatan seksual. Peningkatan cukup besar terjadi pada 2013 yaitu 3.339 kasus dengan jumlah kejahatan seksual sebesar 62 persen. Kemudian pada tahun 2014 (Januari-April) telah terjadi 600 kasus dengan jumlah korban 876 orang, diantaranya 137 kasus adalah pelaku anak (www.cnnindonesia.com). Sedangkan selama tahun 2015 kasus pelecehan seksual didominasi terjadi pada anak-anak. Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) seperti yang diungkapkan oleh Arist Merdeka Sirait selaku ketua Komnas PA bahwa terhitung sejak Januari hingga Agustus lalu, tercatat dari 1.726 kasus yang melibatkan anak-anak, terdapat sekira 58 persen perkara pelecehan seksual. Berarti ada sekira 1.000 kasus pelecehan seksual seperti sodomi, pemerkosaan, inses, dan lain-lain. Selebihnya kasus kekerasan fisik serta penelantaran (news.okezone.com). Bentuk-bentuk kekerasan seksual banyak terjadi namun pada kenyataannya masih banyak yang tidak mengenalinya bahkan termasuk penegak hukum itu sendiri. Sangat penting untuk diketahui bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang memiliki cakupan sangat luas diantaranya, pemerkosaan, sodomi, seks oral, sexual gesture (serangan seksual secara visual termasuk eksibisionisme), sexsual remark (serangan seksual secara verbal), pelecehan seksual, pelacuran anak dan sunat kelentit pada anak perempuan (M. Irsyad Thamrin dan M. Farid 2010, Yuwono, 2015). Sedangkan khusus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan sendiri hasil pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998-2013) mencatat terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang terjadi,[5] yakni:
Kekerasan seksual yang terjadi tidak lagi mengenal waktu dan tempat, tindakan-tindakan kejahatan tersebut bisa terjadi di mana dan kapan saja. Pelaku juga sulit dideteksi, kejahatan seksual justru tidak lagi mengenal istilah tetangga, keluarga dan orang asing, semuanya berpotensi melakukan tindakan kejahatan tersebut dan orang terdekat memiliki potensi yang lebih tinggi yang biasanya terjadi di lingkungan keluarga. Maria Advianti Wakil Ketua KPAI pernah mengungkapkan bahwa anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6 persen di lingkungan sekolah dan 17,9 persen di lingkungan masyarakat. Bahkan 78,3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya.[6]6 Sama halnya apabila kita melihat fakta di lapangan atau fakta yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan bahwa kasus kekerasan seksual justru banyak terjadi di kehidupan pribadi (personal), yakni kekerasan seksual yang terjadi sering dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti yang dijelaskan sebelumnya, baik itu tetangga, saudara, bahkan sekalipun keluarga kandung termasuk ayah, kakak dan adik dan orang-orang terdekat lainnya tanpa terkecuali. Fakta seperti ini tidak bisa menutupi lagi bahwa lingkungan keluarga yang dianggap sebagai tempat yang paling nyaman dan tempat berlindungnya semua anggota keluarga justru akan dengan sangat cepat berubah menjadi lingkungan yang justru menghancurkan anggota keluarga itu sendiri terutama perempuan dan anak. Sementara laki-laki dalam lingkungan keluarga lebih superior oleh karenanya menjadi subjek yang paling dominan dalam melakukan kekerasan tersebut. Jika dipandang dari aspek sosiologis, kekerasan seksual biasa terjadi di lingkungan domestik (rumah tangga) dan juga lingkungan publik atau tempat kerja. Anak-anak dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual tidak terlepas dari pola relasi antara laki-laki dan perempuan maupun orang dewasa dan anak-anak yang berlaku baik pada masyarakat sederhana (pedesaan) maupun masyarakat kompleks (masyarakat modern/perkotaan). Dari aspek sosiologis, kejahatan seksual yang menimpa perempuan dipandang tidak terlepas dari fakta sosial adanya nilai dan norma yang masih bias gender yang secara struktural menempatkan kekuasaan pada laki-laki. Hal ini membuat posisi tawar perempuan—yang terkadang menjadi orang yang “dirumahkan”—menjadi lemah karena semua berjalan atas kepentingan laki-laki. Begitu juga anak, yang di dalam lingkungannya baik lingkungan keluarga, pendidikan, maupun sosial tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang di sekitarnya dan juga dirinya sendiri. Sehingga pola kekerasan seksual yang menjerat anak-anak akan didominasi atas ketidakberdayaan anak-anak untuk menentang tindakan-tindakan kekerasan seksual tersebut yang cenderung dilakukan oleh orang-orang dewasa dan atau sesama anak-anak yang cenderung pernah menjadi korban atas tindakan yang sama sebelumnya, sehingga pola-pola tersebut kembali diterapkan kepada teman yang dianggap bisa dikendalikan. Hukum Versus Kejahatan Seksual Anak di Indonesia Di dalam aturan hukum Indonesia khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah kekerasan seksual dapat ditemui pada pasal 285 KUHP, dalam pasal ini ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun. Namun istilah kekerasan seksual lebih sering dijelaskan dengan istilah perbuatan cabul yang diatur dalam pasal 289 sampai dengan pasal 296 KUHP. Istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Dalam pengertian tersebut, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/ kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul, yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba buah dada dan sebagainya (R. Soesilo, 1995). Pendefinisian kekerasan seksual atau pelecehan seksual yang dimasukkan ke dalam permasalahan asusila ini sebenarnya menjadi permasalahan dasar yang akan menggiring pemahaman-pemahaman bahwa kejahatan-kejahatan seksual seperti pemerkosaan atau pencabulan akan lebih dipandang sebagai tindakan kejahatan terhadap moral yang seharusnya lebih tepat disebut sebagai kejahatan kriminal.[7] Kesalahan dalam penetapan istilah maupun makna tersebut tidak boleh dianggap sepele, karena perbedaan kata inilah yang kemudian akan membentuk pola pemikiran masyarakat dalam memahami istilah dan tertanam mendasar menjadi asumsi-asumsi masyarakat secara berkepanjangan yang akan sulit digeser. Tidak heran jika pandangan dengan istilah kejahatan kesusilaan yang bahkan didukung dalam KUHP ini menjadi bumerang sendiri untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual, karena dengan pendefinisian “kejahatan asusila” inilah yang membuat korban kekerasan seksual, dalam konteks ini perempuan dan anak, menjadi lebih memilih menutup mulut dan sulit melaporkan tindakan kejahatan yang telah mereka alami. Sehingga pencarian keadilan bagi korban kekerasan seksual akan sulit ditegakkan. Pengategorian ini tidak melihat secara mendalam permasalahan utamanya secara utuh mengenai apa sebab maupun bagaimana akibat terjadinya tindakan-tindakan kriminal tersebut yang merugikan korbannya baik secara fisik, psikologi dan sosial. Pandangan mengenai “asusila” pada masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang mengikat, karena masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai dan budaya ini, yang kemudian selalu dikaitkan dengan masalah moral. Dalam konteks pendefinisian kekerasan seksual sebagai kejahatan asusila, maka tidak hanya pelaku yang mendapatkan label “tidak bermoral” akan tetapi secara tidak langsung turut menggiring korban yang mendapatkan perlakuan tindakan kejahatan asusila tersebut mendapat label yang serupa. Sebagai contoh terjadi pemerkosaan yang dialami oleh remaja perempuan, jika digunakan istilah kejahatan kesusilaan yang dipandang sebagai tindakan tidak bermoral, maka kejahatan yang dialami korban akan menimbulkan kekhawatiran yang mendalam karena takut munculnya cap perempuan tidak bermoral dan bahkan menyeret keluarganya menjadi keluarga yang tidak bermoral. Dengan kata lain dalam hal ini seakan-akan korbanlah yang disalahkan. Kekhawatiran-kekhawatiran seperti inilah yang kemudian menyebabkan korban maupun keluarga menjadi bungkam karena dianggap bukan lagi sebagai permasalahan kejahatan tetapi permasalahan aib keluarga yang harus ditutupi. Alasan-alasan seperti ini jugalah yang dapat membebaskan pelaku dari jeratan hukum, karena korban lebih memilih menutupi kasus tersebut dibanding melaporkannya ke pihak berwenang, maka pelaku akan merasa bebas mengulangi tindakan kekerasan seksual tersebut. Sedang korban yang tidak hanya terluka secara fisik namun juga psikis akan mengalami tekanan yang berkepanjangan bahkan mengalami traumatik mental, kemungkinan yang lebih parah apabila korban memilih bunuh diri karena tidak lagi mampu menampung kekhawatiran dan label yang akan diterimanya sebagai perempuan yang tidak bermoral. Oleh karenanya untuk dapat melihat pemahaman kesusilaan ini tidak hanya dari sudut pandang pemahaman individu saja namun akan lebih baik didasarkan atas pemahaman umum secara mendalam dan utuh. Sehingga pemaknaan istilah kekerasan seksual (tindakan kriminal) dan kejahatan kesusilaan dipahami masyarakat secara utuh yang kemudian kasus kejahatan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak tidak lagi tersandung dengan masalah nilai dan moral, melainkan kasus yang dianggap seutuhnya sebagai tindakan kriminal. Masalah Penanganan kasus kekerasan seksual pada anak tidak sebatas mengenai pengategorian kekerasan seksual tersebut termasuk kejahatan asusila atau krimanal saja, namun hukum Indonesia masih tampak setengah hati dalam menindak kasus-kasus kekerasan seksual yang menyangkut anak. Adanya diskriminasi tersebut tampak dalam menyikapi laporan atau pengaduan, yakni di dalam KUHP dikenal adanya istilah delik aduan dan delik murni (biasa).[8] Delik aduan yakni kasus kejahatan yang terjadi akan diproses apabila adanya pengaduan dari pelapor. Untuk konteks pelapor ini sendiri belum jelas aturannya lalu siapa yang berkewajiban menjadi pelapor, apakah anak selaku korban itu sendiri, orang terdekat dan siapa? hal ini turut mengundang permasalahan. Dengan begitu dalam kasus kekerasan seksual yang dialami anak akan sangat sulit terselesaikan, mengingat penanganan kasus mensyaratkan adanya laporan. Jadi apabila tidak ada laporan, maka kasus tersebut tidak ditangani atau ditutup. Nah, yang jadi permasalahan siapa yang akan melaporkan kasus tersebut? Haruskah korban yang melaporkannya, yang secara mental pasti sudah tertekan dan status anak-anak yang disandangnya belum cukup mampu memahami kekerasan yang dialaminya, belum lagi apabila korban mendapatkan ancaman-ancaman dari pelaku. Kemudian haruskah saksi yang melapor, lalu bagaimana jika tidak ada saksi atau saksi enggan melapor, lalu haruskah orang tua atau keluarga, bagaimana jika yang melakukan kekerasan seksual justru orang tua atau keluarga mereka sendiri maka sangat kecil kemungkinan tindakan tersebut akan dilaporkan. Walaupun kasus-kasus tersebut cenderung dilaporkan namun persoalan-persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan kemungkinan yang akan dialami dalam kasus kekerasan seksual anak. Maka delik aduan yang diberlakukan untuk kasus kekerasan seksual anak harus ditinjau kembali karena memperlihatkan bahwa hukum yang ada masih setengah hati dan tampak belum menanggapi dengan serius permasalahan anak. Berbeda dengan kasus kekerasan yang dialami oleh orang dewasa yang langsung dianggap delik murni, yakni akan diproses meskipun tidak adanya aduan atau laporan. Guna menemukan titik terang dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual yang telah mengalami fase cukup panjang ini, maka tindakan-tindakan preventif, advokatif dan penghapusan kekerasan seksual harus gencar disuarakan dan dilakukan. Adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan tawaran hukum yang harus dengan sigap dirumuskan, RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual ini merupakan salah satu langkah yang paling solutif untuk menyikapi permasalahan kekerasan seksual di Indonesia. Mendukung hal itu Komnas Perempuan sedang berjuang untuk mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan masuk dalam prolegnas tahun 2016, hal ini guna mewujudkan masa depan bangsa Indonesia yang bebas dari bentuk-bentuk kekerasan terkhusus kekerasan seksual. Dalam upaya mendorong RUU ini agar masuk dalam prolegnas jangka menengah dan prioritas prolegnas 2016,[9] maka Komnas Perempuan merekomendasikan kepada:
Adapun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi: pelecehan seksual, kontrol seksual, pemerkosaan, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, dan perlakuan dan penghukuman lain yang tidak manusiawi yang menjadikan seksualitas sebagai sasaran dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan (www.cnnindonesia.com). RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini nantinya harus disinkronkan dengan produk hukum lain yang terkait misalnya KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Penghapusn Kekerasan dalam Rumah Tangga dan lainnya, serta materi-materi lainnya yang tidak hanya menyangkut masalah penanganan pelaku namun juga materi yang terkait dengan penanganan korban, sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini memiliki aturan yang jelas dan rinci serta nantinya tidak terjadi tumpang tindih seperti banyak permasalahan rumusan undang-undang yang terjadi selama ini. Penutup Tindakan kejahatan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak maupun perempuan jangan pernah diperlakukan sebagai tindakan yang berbeda, cukup dipahami bahwa kekerasan dalam bentuk apapun yang merugikan anak-anak maupun perempuan merupakan tindakan kriminal yang semua orang berkewajiban memutus rantai tindakan tersebut. Jangan sampai ada sikap diskriminatif dalam menyikapi permasalahan ini, baik kekerasan seksual pada anak maupun perempuan, bukan lagi suatu fenomena yang baru, bentuk kekerasan atau pelecehan seksual ini sudah mengalami fase yang sangat lama dan tercatat dalam gulungan sejarah yang cukup panjang yang hingga saat ini selalu mendampingi kehidupan anak-anak dan perempuan dan selalu siap menggiring mereka kedalam lembah pelampiasan nafsu. Permasalahan kekerasan seksual ini sudah sangat kompleks oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini seharusnya tidak lagi terkendala hal-hal substantif yang tidak perlu diperdebatkan, namun aktualisasi dan penetapan kebijakan yang lebih terfokus. Apapun bentuk kekerasan seksual atau persetubuhan dengan anak di bawah usia 16 tahun menurut hukum sudah masuk ranah tindak pidana namun juga tidak semestinya dibatasi atau diukur dengan ketentauan KUHP saja tetap juga perlu diukur secara biologis dan psikologis. Dengan menggunakan kedua ukuran ini dan dikombinasikan dengan ketentuan KUHP diharapkan anak mendapatkan perlindungan dari bentuk-bentuk kekerasan seksual (Yuwono, 2015), dan diharapkan dapat diterapkan pada kasus kekerasan yang dialami perempuan yang memiliki permasalahan serupa. Dengan demikian berpijak dari pemikiran Yuwono (2015) satu hal yang dapat mengendalikan tindakan-tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh anak, yakni apabila ada kesadaran dan kontrol kolektif, seperti yang tersirat dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002 pasal 20 yang berbunyi: negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan terhadap anak. Bunyi dalam pasal tersebut telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara termasuk pemerintah hendaknya saling melindungi dengan cara mengontrol satu sama lain, tanpa adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang menyangkut kepentingan individu semata. Kontrol kolektif yang merupakan perangkat normatif dari KUHP ini harus dijadikan pijakan guna memerangi tindakan-tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak dan perempuan. Hanya saja fakta masih maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia saat ini memperlihatkan bahwa perangkat kontrol kolektif yang diamanatkan ini berhenti hanya sekadar rumusan saja dan belum menunjukkan adanya kontrol kolektif secara nyata. Ini menjadi pertanyaan yang harus kita jawab masing-masing, apakah diri kita sendiri sudah memiliki kesadaran akan kontrol kolektif? Jadi kesadaran akan kontrol kolektif dijadikan sebagai senjata yang amunisinya ialah produk-produk hukum seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang disinkronkan dengan undang-undang lain yang terkait yang diharapkan secara bertahap dapat menghentikan bahkan menghapus tindakan kekerasan seksual yang merenggut perempuan dan anak-anak. Daftar Pustaka Paramastri, Ira et al. 2010, “Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children” dalam Jurnal Psikologi Vol.37 No. Juni 2010 (pp: 1-12). R. Soesilo 1995, KUHP Serta Komentar-Komentarnya, Politeia, Bogor. Saptari, Ratna dan Holzner, Brigtte 1997, Perempuan Kerja dan Perubahan sebuah Pengantar Studi Perubahan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Yuwono, Ismantoro Dwi 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Zgourides, George D And Zgourides, Christie S. 2000, Cliffs Quick Review Sociology, IDG Books Worldwide, United States Of America. Cnn Indonesia. “Komnas Perempuan Dorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. 20 Februari 2015: 13:02 WIB.http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151108105400-12-90170/komnas-perempuan-dorong-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual/ Okezone.com. “Selama 2015, 1.000 Kasus Pelecehan Seksual terhadap Anak” 22 Februari 2015: 12:39 WIB. http://news.okezone.com/read/2015/10/06/337/1226763/selama-2015-1-000-kasus-pelecehan-seksual-terhadap-anakPusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Catatan Belakang: [1] Paramastri, et al,. 2010. Jurnal Psikologi Volume 37, No.1, Juni 2010:1-12 Early Prevention Toward Sexual Abuse On Children. [2] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/04/150402_vonis_jis_bantleman [3]http://regional.kompas.com/read/2015/06/10/21470601/Polisi.Sebut.Angeline.Alami.Kekerasan.Seksual.Sebelum.Dibunuh [4]https://id.wikibooks.org/wiki/Romawi_Kuno/Sosial/Perbudakan ,Banyak dari para budak, terutama di Spanyol dan Prancis selatan, bekerja di ladang dan menggarap lahan pertanian miliki orang kaya. Ada pula budak yang bekerja di rumah orang kaya. Mereka biasanya bertugas sebagai pengasuh anak, juru masak, pelayan, pembersih, pengurus kuda, pencuci, pengajar, dan akuntan. Para budak jenis ini ada yang memiliki keluarga, Anak-anak yang terlahir dari budak seringkali dijual dan dijauhkan dari orang tua mereka. Para budak ini juga sering dipukuli dan jarang memperoleh makanan yang layak. [5] Dokumen Komnas Perempuan:http://www.komnasperempuan.go.id/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan/#more-14183 [6] KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/ [7] Lihat,Kekerasan Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan Tulisan yang diolah dari dokumen Komnas Perempuan berjudul “Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani” dan Jurnal Perempuan edisi 71 tentang “Perkosaan dan Kekuasaan. [8] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4edef75d5869e/adakah-delik-aduan-yang-tetap-diproses-meski-pengaduannya-sudah-dicabut [9] Komnas Perempuan mendesak DPR segera memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas 2016: http://www.suara.com/news/2015/11/24/090655/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-didesak-masuk-prolegnas Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |