ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Mengkritik Wacana Feminisme Pascakolonial di Indonesia

16/7/2019

 
Nadya Karima 
(Support Group and Resource Center on Sexuality Studies) 
nadyazurakarima@gmail.com
PictureDok. Pribadi
"What is bigger picture, the bigger picture of the white man! Can you see that we are not all alike except to white eyes?" -  Chimamanda Ngozi Adichie dalam Half of The Yellow Sun.
 
Saya senang dengan perkembangan feminisme yang semakin subur di Indonesia. Beberapa media daring pop mulai banyak memproduksi tulisan untuk membongkar tentang konstruksi gender yang muncul di sekeliling kita dan saya sangat menyukai atmosfer semakin banyak penulis tentang gender dan feminisme. Namun di satu sisi, feminisme harus selalu dikritisi karena selayaknya ilmu pengetahuan, feminisme butuh kritik untuk terus berkembang. Saya sangat terganggu dengan wacana terkini terkait feminis pascakolonial yang mengerdilkan wacana feminisme sebatas rasisme dan tuduhan anti kulit putih. Benar adanya bahwa feminis kulit hitam telah mengkritik dengan keras dan menghancurkan bangunan feminisme gelombang pertama dan kedua yang cenderung white-middleclass-centric. Tapi, ada banyak hal yang harus menjadi catatan. Saya dikejutkan dengan topik bahasan anti-kulit putih, teriak bule rasis tapi di satu sisi selalu mencari pasangan kulit putih. Setiap kali saya mau mengkritik hal ini, dialog ditutup dengan block (percakapan di media sosial). Buat saya, wacana feminisme pascakolonial di internet hari ini tidak membahas apalagi menyelesaikan masalah pascakolonialisme yang benar-benar terjadi. Menurut saya, analisis feminisme pascakolonial yang muncul cenderung berkembang dari para feminis yang egois dan diskursusnya terbatas pada apa yang merugikan dirinya secara personal saja. Padahal, analisis pascakolonial menuntut untuk terlibatnya variabel ekonomi, sosial dan politik internasional yang menyebabkan ketimpangan sosial yang hari ini terjadi. Esai ini ditulis untuk mengkritik dikursus pascakolonial dalam bahasan feminisme di Indonesia hari ini.
 
Kebangkitan Feminisme yang "Egois"?
Hari ini, pengarusutamaan gender menjadi salah satu agenda penting dalam pembangunan Indonesia. Walau kebijakan tersebut sudah muncul sejak pemerintahan presiden Abdurahman Wahid, penerapannya dalam pemerintahan masih pasang surut. Namun yang jelas, agenda tersebut terus diwacanakan. Selain itu, bahasan tentang feminisme juga sudah mulai menjadi dikursus yang ramai diperbincangkan baik pro maupun kontra. Kehadiran muslimat anti-feminis yang sudah didengungkan oleh kelompok HTI sejak 2015 dan kini gerakan konservatif dan reaksioner berkonsolidasi untuk menentang feminisme melalui gerakan seperti menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) melalui organisasi AILA. Gerakan menolak feminisme mendapat panggung seiring dengan arus feminisme yang menguat kembali di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Dalam sebuah analisis yang diterbitkan The Conversation oleh Dyah Ayu Kartika misalnya, menjelaskan bahwa kelompok anti-feminisme bisa melenggang masuk parlemen akibat dari upaya para feminis yang memperjuangkan kenaikan komposisi perempuan dalam parlemen. Uniknya, perempuan-perempuan anti-feminisme yang masuk parlemen akibat feminisme menyuarakan tentang hak perempuan namun menolak total ide tentang feminisme dan kesetaraan gender yang dibawa oleh feminis.
 
Baik dikursus feminisme dan anti-feminisme keduanya bicara soal perempuan namun punya dasar definisi yang berbeda tentang perempuan. Jika kelompok feminis dalam RUU PKS mengajukan definisi perempuan sebagai individu dan warga negara, kelompok anti-feminis menggunakan definisi perempuan dengan asosiasi keluarga dan "mandat" biologis. Sebab itu pertentangan antara kelompok feminis dan anti-feminis adalah pada dasar definisi perempuan yang dimaksud menjadi individu vs bagian dari keluarga konservatif.
 
Konsep perempuan sebagai individu juga digunakan dalam dikursus di dalam komunitas-komunitas feminis sendiri. Ada berbagai kelompok-kelompok feminis yang rutin berdiskusi tentang feminisme baik daring maupun luring. Namun, sependek pengamatan saya dalam beberapa kelompok tersebut, analisis perempuan sebagai individu meleset menjadi perempuan sebagai individu egois karena tidak bisa berpikir masalah lain selain masalah dirinya sendiri.
 
Sebagian kelompok feminis pada hari ini sibuk bicara tentang identitas perempuan yang dibandingkan dengan lelaki semata. Kampanyenya sekedar merayakan perbedaan perempuan dan lelaki dengan argumen yang terbatas pada "saya" tapi tidak menganalisis masalah sosial ekonomi yang lebih luas. Dengan masuknya wacana pascakolonialisme, perilaku sebagian feminis—yang saya sebut egois—ini mengerdilkan wacana pascakolonialisme menjadi sekadar ekspresi budaya. Kemarahan akan ketimpangan personal sebagai perempuan heteroseksual yang mendamba kehidupan yang global. Contohnya adalah pertanyaan yang dimunculkan oleh sahabat saya dalam sebuah diskusi feminisme pascakolonialisme yang kami lakukan dalam komunitas.
 
"Gw gak suka deh sama wajah gw, masa gw dibilang mirip Bule terus,” ujarnya.
"mengapa kamu enggak suka dibilang mirip bule?" tanya saya.
 
Saya mengharapkan jawaban darinya “bahwa kecantikan di Indonesia dikonstruksi oleh kapitalisme yang berkiblat pada negara-negara pemilik modal, sehingga menjadi cantik adalah berkulit putih dan hidung mancung membuat perempuan Indonesia terus menerus melakukan konsumsi untuk mencapai standar cantik tersebut”
 
Tapi ternyata dia menjawab, "orang-orang memuji gw mirip bule karena bule cantik, gw capek dengan pikiran mengagung-agungkan kulit putih terus"
 
Dia melihat permasalahan ketimpangan pada dirinya dan penampilannya, feminisme pascakolonial baginya bukan tentang ketimpangan ekonomi mengapa dirinya sebagai perempuan Indonesia tidak bisa jadi direktur di NGO internasional tempat dia bekerja. Dia bicara tentang penampilannya dan itu dia masukan dalam kritik pascakolonialisme. Selama feminisme bekerja dalam kerangka sempit dan memikirkan masalah personal tanpa menyertakan analisa yang lebih luas seperti kapitalisme, dikursus feminisme menjadi tumpul, dangkal dan reaksioner. Feminisme Indonesia menjadi sekadar merespons dikursus global dan menerapkannya mentah-mentah tanpa menelaah ke dalam dan ke belakang. Feminisme akan terus marah pada patriarki tapi tidak bisa menjelaskan tentang dari mana patriarki tersebut berasal. Lantas bagaimana cara menyelesaikan sesuatu yang kita tidak tahu mulai dari mana?
 
Kolonialisme dan Pascakolonialisme
Hal yang utama dalam membicarakan feminisme dan wacana pascakolonialisme adalah mengetahui letaknya dalam pohon pengetahuan. Dalam teori feminisme, feminis pascakolonial masuk dalam gelombang ketiga yang merupakan cabang dalam bidang wacana dan identitas budaya. Feminisme pascakolonial bergerak dalam ranah identitas sebagai alat perjuangan, tetapi (harusnya) tidak buta dalam penguasaan sejarah. Mengapa bahasannya disebut pascakolonialisme? karena wacana ini hendak memeriksa penindasan dan ketimpangan yang masih terjadi pasca gelombang kemerdekaan negara-bangsa pasca Perang Dunia ke-II.
 
Dalam wacana pascakolonialisme sebelumnya kita melacak tentang kolonialisme. Kolonialisme adalah sebuah sistem. Sebuah sistem yang di dalamnya terdapat feodalisme, rasisme dan imperialisme yang membuat sebuah negara-bangsa menderita secara terstruktur. Saya akan menggunakan analisa sejarawan untuk menganalisis tentang kolonialisme di Indonesia. Kami sejarawan historiografi telah bersepakat bahwa kolonialisme dimulai dengan imperialisme dan awet berkat feodalisme. Feodalisme adalah struktur pembagian kekuasaan terpusat antara kelompok bangsawan (awalnya berbentuk monarki).
 
Bentuk kerajaan-kerajaan dan pembedaan hierarki antar manusia berdasarkan darah keturunan menjadi penyokong munculnya Feodalisme. Feodalisme juga bisa berbentuk hubungan patron-client, seorang hamba dan majikan yang membuat majikan bisa terus mengeksploitasi si hamba dan hamba menganggap hal tersebut sebagai sebuah pengabdian. Kekuasaan kolonial di Nusantara awalnya berjalan direct-rule dan berubah pada akhir abad ke-18 menjadi indirect-rule dengan menggaji para bangsawan menjadi pegawai pemerintahan kolonial. Sebab, penduduk pada saat itu lebih menuruti pemimpin bangsanya yang berwarna kulit sama dan posisi jabatan lebih tinggi untuk diberikan hasil bumi (pajak) dan kerja paksa daripada kulit putih asing. Singkatnya, bangsawan menggunakan kekuasaannya untuk mengeksploitasi rakyat dan kolonial menggunakan posisi bangsawan untuk mengeruk keuntungan untuk negaranya. Novel karangan Mutatuli berjudul Max Havelaar yag dielu-elukan sebagai karya sastra menolak kolonialisme, mengkritik tentang praktek tanam paksa dan korupsi birokrat yang menyebabkan kelaparan dan kemiskinan di tanah jajahan.
 
Feodalisme seperti ini terus dipelihara dan tumbuh. Dan ketimpangan sosial akibat kolonialisme tidak saja dipelihara oleh kulit putih pemilik modal dari Eropa/Amerika, tapi terus berjaring dengan keluarga bangsawan dan para birokratnya di Indonesia. Dalam dikursus feminisme pascakolonialisme di Indonesia, kolonialisme diartikan sama dengan rasisme. Diskursus feminis pascakolonial menjadi sebatas kerugian hubungan romansa personal asimetris  karena masalah warna kulit. Binaritas antara lelaki penjajah (kulit putih) berbanding dengan yang perempuan dijajah (berkulit coklat). Pemikiran sempit ini menihilkan upaya sejarawan yang menerangkan bahwa kolonialisme dan rasisme adalah dua hal yang berbeda. Dan mengkerdilkan analisis pos-kolonialisme tentang  ketimpangan struktural sosial-ekonomi global
 
Isu pascakolonial berhubungan dengan sirkulasi ketimpangan ekonomi negara dijajah-terjajah. Seperti tambang semen di Kendeng, penderitaan kerusakan alam dialami oleh penduduk sekitar tetapi keuntungan dari eksploitasi alam dan penjualan semen masuk ke kantong pemilik saham PT HeidelbergCement, Jerman. Isu budaya yang harusnya jadi pascakolonialisme adalah menolak kebencian terhadap kelompok LGBT yang diwariskan oleh kolonial Belanda. Sebab, pascakolonialisme berarti mengecek sisa-sisa kolonialisme yang bercokol, penindasan yang masih berlangsung dan keuntungan ekonomi bagi suatu golongan. Tidak selalu berkulit putih karena pelaku kolonialisme bisa saja mereka para elite yang melanggengkan sistem.
 
Diskursus Feminisme Pascamodern dan Pascakolonialisme
Sayang seribu sayang, diskusi feminis pascakolonialisme di Indonesia sifatnya reaksioner akibat feminisme individual egois tersebut. Saya punya tiga catatan tentang dikursus feminisme di Indonesia. Pertama, sangat kerdil, dikursus pascakolonial menjadi terbatas pada masalah pribadi dan hubungan romansa yang heteronormatif. Kedua, kurangnya analisa mendalam seperti pendekatan ekonomi dan sirkulasi ketergantungan ekonomi negara bekas terjajah sebagai dampak dari kolonialisme dan terakhir. Ketiga, kurang menggali dari pengalaman gerakan feminisme terdahulu.
 
Pertama, kritik tentang anti-pemujaan terhadap kulit putih tidak salah. Namun dibutuhkan analisa mendalam mengapa kita menolak representasi kulit putih dalam segala hal. Dalam wacana pascakolonialisme, kulit putih memang menjadi entitas yang didambakan sekaligus dibenci. Beberapa komunitas feminisme yang menyatakan gerakannya bersumber dari semangat pascakolonialisme, isunya terbatas pada hubungan heteroseksual timpang antara lelaki kulit putih dan perempuan lokal. Jika memang bermain dalam kerangka identitas perempuan disandingkan dengan lelaki, dikursusnya sangat sempit karena identitasnya terbatas pada perempuan heteroseksual dan tidak melibatkan pengalaman yang lain seperti homoseksual yang juga sering mengalami scam/penipuan internasional yang tidak bisa melapor ke mana-mana karena identitas seksualnya.
 
Selain itu dikursus pascakolonialisme sebatas pertentangan Barat-Timur sudah lama usang dan tuduhan bahwa hanya kulit putih yang bisa menjajah dibantah habis oleh Frans Fanon, dalam White Skin in The Black Mask. Jika memang feminis pos kolonial mau bergerak dalam wacana pos-kolonial harusnya mulai bergerak dari akar (radikal) seperti epistemologi ilmu pengetahuan karena pembahasan tentang konstruksi pengetahuan dan terma-terma yang kita gunakan hari ini adalah warisan kolonial seperti yang diceritakan Ann Stoler dalam "Rethinking Colonial Categories: European Communities and the Boundaries of Rules". Dengan memahami bahwa kolonialisme adalah sistem dan berbeda dengan rasisme, harusnya para feminis ini memahami bahwa apa yang dilakukan orang Indonesia di tanah Papua juga bisa dikatakan kolonialisme. Berpikir dalam binaritas antara penjajah-terjajah sudah lama usang dalam Feminisme dan kita menggunakan tubuh perempuan sebagai alam/bangsa adalah sebuah analogi, sebuah siasat dalam gerakan feminisme yang bukan untuk ditelan mentah-mentah melainkan sebuah kait supaya kita tertarik untuk mempelajari dan menganalisa lebih banyak tentang lapisan-lapisan penindasan terhadap perempuan dan sejarahnya.
 
Kedua, analisa pascakolonial ala feminis “egois” ini dangkal sebab tidak menyertakan analisa ekonomi dan sejarah Indonesia. Wacana pos kolonialisme adalah penjelasan budaya tentang apa yang terjadi hari ini. Mengapa kulit putih superior dan kulit berwarna dipandang universal. Mengapa sirkulasi ekonomi mengalir dan terpusat pada negara-negara bekas penjajah dan negara terjajah terus berada dalam kategori under development dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi? Hal ini disangkutkan dengan melihat gambaran yang lebih besar: sirkulasi ekonomi kepada negara-negara bekas penjajah. Sehingga isu pascakolonialisme yang seharusnya muncul adalah tentang ketimpangan ekonomi, akses kerja dan lingkungan hidup. Bagaimana mungkin negara-negara di Eropa menikmati alamnya yang asri dan udara yang bersih sedangkan produksi bahan mentah dan ekstraksi yang menghasilkan banyak limbah, terus dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia.
 
Poin terakhir sangat penting, adalah penguasaan sejarah Indonesia dalam pergerakan feminisme Sebab kemunculan feminisme/emansipasi terjadi pada masa awal pergerakan perempuan bersamaan dengan semangat anti-kolonialisme. Sehingga hanya perempuan bumiputera yang dicatat dan boleh ikut dalam gerakan perempuan nasional sementara perempuan Tionghoa, perempuan Indo, transpuan dan perempuan lain tidak diikut sertakan. Jika kita mau mengacu pada gelombang Feminisme Interseksional, kita harus mengakui eksklusivitas gerakan perempuan di masa awal dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kita mulai menggandeng teman-teman kelompok perempuan Tionghoa, kelompok perempuan santri, kelompok perempuan Asia Barat, kelompok perempuan buruh pabrik, kelompok perempuan nelayan, perempuan lesbian dan Transpuan.  Penyertaan berbagai identitas kelompok perempuan memperkaya dikursus feminisme sehingga wacana Feminisme di Indonesia nantinya tidak terbatas pada dirinya sendiri sebagai perempuan kota kelas menengah terdidik saja.
 
Penutup
Saya harap dengan esai ini kita mulai membuka diskusi pascakolonialisme dalam feminisme Indonesia yang lebih luas, tidak selalu tentang hubungan romansa heteroseksual dengan lelaki kulit putih yang dibenci sekaligus didambakan. Tidak sekadar penampilan dan masalah personal. Diskursus feminis pascakolonialisme seharusnya tidak menjadi diskusi reaksioner untuk merespons lingkungan global. Seperti harapan saya terhadap feminisme di Indonesia yang bisa beranjak dari masalah personal menuju pembongkaran sistem bernama patriarki yang lebih luas. Saya menolak sempitnya pemahaman pascakolonialisme sebatas slogan "dominasi kulit putih terhadap kulit berwarna", karena bagaimanapun juga bukankah menggeneralisasi kulit berwarna sebagai sebuah entitas universal juga melanggengkan kolonialisme itu sendiri, bukan?
 
Daftar Pustaka:
  • Bandel, Katrin 2016, Kajian Gender dalam Konteks Pasca Kolonial, Sanatha Dharma University Press.
  • Fanon, Franz 2017, Black Skin, White Masks (trans. by Charles Lam Markmann), Pluto Press.
  • Fachriansyah, Rizki 2019, “My body is not mine’: Indonesia Without Feminists group starts online campaign“, <https://www.thejakartapost.com/news/2019/04/01/my-body-is-not-mine-indonesia without-feminists-group-starts-online-campaign.html  diakses 10 Juli 2019.
  • Indrawan, Angga 2015,“Muslimah HTI Tolak Kesetaraan Gender“ <https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/29/nlye0i-muslimah-hti-tolak-kesetaraan-gender> diakses 10 Juli 2019.
  • Kartika, Dyah Ayu 2019, “An Anti-Feminist Wave In Indonesia’s Election?” <https://www.newmandala.org/an-anti-feminist-wave-in-indonesias-election/>diakses 10 Juli 2019.
  • Lomba, Annie 2016, Kolonialisme dan Poskolonialisme, Pustaka Narasi.
  • Putri, Perdana 2015, “Feminisme Itu Bukan Sekadar Pilihan Personal!“, <https://indoprogress.com/2015/03/feminisme-itu-bukan-sekadar-pilihan-personal/> diakses 10 Juli 2019.
  • Said, Edward W 1979, Orientalism, Vintage Books Edition.
  • Stroler, Ann Laura 1989, "Rethinking Colonial Categories: European Communities and the Boundaries of Rule", Comparative Studies in Society and History, Vol. 31, No. 1, pp. 134-161. 

Transportasi Online dan Humor Seksis di Media Sosial

12/7/2019

 
Nadya Nariswari Nayadheyu
(Jurnal Perempuan)
nadya.nariswari@gmail.com
PictureDok. Pribadi
Kemunculan transportasi online di tahun 2015 telah membawa perubahan dalam aktivitas keseharian masyarakat. Transportasi online ini menawarkan kemudahan yang memanjakan pengguna telepon pintar untuk memenuhi kebutuhan hanya dengan layar sentuh. Berawal dari layanan Go-Ride yang memfasilitasi transportasi alternatif dengan menggunakan ojek, GOJEK sebagai pelopor transportasi online disambut dengan hangat. Keberhasilan GOJEK pun membawa persaingan bagi perusahaan transportasi online lain, seperti Grab dan Uber.
​
Kehadiran bisnis transportasi online ini dapat pula dirasakan di dunia maya, ditandai dengan akun-akun bertemakan transportasi online yang mulai bermunculan dalam berbagai platform media sosial. Akun-akun ini dibentuk oleh masyarakat sebagai sarana untuk berbagi informasi, cerita, berkeluh kesah, hingga menjembatani hubungan penumpang, pengemudi, dan perusahaan. Dalam media sosial Instagram, akun-akun transportasi online ini biasanya dikenali dengan penggunaan kata kunci ‘ojol’, yang berangkat dari singkatan “ojek online” pada penamaan akunnya (username). Menariknya, akun-akun transportasi online ini memiliki beberapa kemiripan, salah satunya ialah menggunakan wacana humor pada unggahannya (posting).

Wacana humor yang dibangun pada akun-akun transportasi online ini digunakan untuk membangun hubungan pemilik akun (owner) dan pengikutnya (followers). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Martineau dalam bukunya berjudul A model of the social function of humor [i] bahwa humor mampu memberikan rasa penyejukan, kesatuan, dan harapan ketika menghadapi suatu permasalahan. Lebih jauh, Crawford mengemukakan bahwa humor dapat pula menceritakan topik-topik tabu yang selama ini tidak dapat diungkapkan secara langsung, termasuk topik yang menyangkut ras, seksualitas, politik, agama, dan lain sebagainya.   

Sejalan dengan hal tersebut, wacana humor yang digunakan pada akun-akun transportasi online tersebut tak jarang mengobjektifikasi eksistensi perempuan melalui unggahan foto, caption, maupun komentar. Dalam hal ini, tubuh perempuan seringkali dinilai berdasarkan konsep kecantikan ideal yang berlaku dalam kehidupan sosial. Lebih jauh, Fredickson & Roberts menjelaskan bahwa objektifikasi ialah pengalaman bagaimana tubuh perempuan (ataupun bagian-bagian tubuh tertentu) dinilai secara khusus untuk digunakan oleh orang lain. Dengan adanya pengalaman objektifikasi tersebut, terjadi sosialisasi perempuan untuk menginternalisasi standar kecantikan dalam masyarakat dan menilai tubuh sendiri dengan cara pandang orang lain. Oleh karena itu, keberadaan akun-akun ini justru semakin menempatkan perempuan berada dalam posisi pasif, karena orang lain yang menentukan pemaknaan diri perempuan dan memperlakukan tubuh perempuan.

Atas dasar bahwa perempuan seringkali diobjektifikasi, Nussbaum kemudian mengembangkan teori objektifkasi milik Fredickson & Roberts dengan mengidentifikasikan 7 fitur yang terbagi atas: 1) instrumentalitas (instrumentality), perlakuan terhadap seseorang sebagai alat untuk tujuan pemberi kuasa; 2) penolakan otonomi (denial of autonomy), perlakuan terhadap seseorang yang kurang otonom serta penentuan nasib sendiri; 3) kelembaman (inertness), perlakuan terhadap seseorang yang kurang agensi dan mungkin juga dalam aktivitas; 4) fungibility, perlakuan seseorang yang dapat dipertukarkan dengan objek lain, baik dengan objek yang sama maupun yang berbeda; 5) pelanggaran (violability), perlakuan terhadap seseorang yang kurang dalam integritas batas (hubungannya dapat diputus, dipukul, dan lain sebagainya); 6) kepemilikan (ownership), perlakuan terhadap seseorang sebagai sesuatu yang dimiliki oleh orang lain (dapat dibeli atau dijual); dan 7) penolakan subjektivitas (denial of subjectivity), perlakuan terhadap seseorang sebagai sesuatu yang pengalaman dan perasaannya tidak perlu diperhitungkan.

Kemudian, Rae Langton menambahkan fitur-fitur objektifikasi Nussbaum tersebut, diantaranya: 1) pengurangan pada tubuh (reduction to body), yakni perlakuan terhadap seseorang seperti pengidentifikasian melalui tubuh atau bagian tubuh; 2) pengurangan pada penampilan (reduction to appearance), yakni perlakuan terhadap seseorang terutama dalam hal bagaimana mereka terlihat; dan 3) membungkam (silencing), perlakuan terhadap seseorang yang seolah-olah diam dan tidak memiliki kapasitas untuk berbicara.Pada praktiknya, fitur-fitur objektifikasi tersebut dapat dengan mudah ditemukan dalam posting Instagram akun transportasi online seperti di bawah ini.

Picture
Dok. Pribadi
Pada unggahan di atas, caption yang digunakan yakni “Ini cara agar bola billiard tidak terkena papan reklame” dapat diklasifikasikan sebagai objektifikasi fungibility. Hal ini dikarenakan pemilik akun, sebagai seseorang yang memiliki kuasa atas akun tersebut, menyandingkan bagian tubuh payudara perempuan dengan objek (bola billiard). Caption bersifat misoginis ini kemudian ditanggapi oleh beberapa pengikutnya, seperti pada komentar pertama dan kedua yang menunjukan objektifikasi pengurangan pada penampilan dan pengurangan pada tubuh. Kalimat “segede biji ketumbar” dan “segede Amanda Cerny” merujuk pada ukuran payudara perempuan yang dikonstruksi sebagai ukuran payudara perempuan ideal. Sedangkan pada komentar ketiga, terjadi pelanggaran dan penolakan subjektivitas. Hal ini tercermin pada penggunaan kata “pelit”, yang memberikan makna bahwa tubuh perempuan pada hakikatnya boleh dinikmati oleh laki-laki. Sementara, objektifikasi penolakan subjektivitas terjadi karena pengalaman dan perasaan perempuan dalam foto tersebut tidak diperhitungkan.

Paparan akan humor-humor seksis dalam media sosial dicurigai sebagai penyebab kekerasan perempuan. Mengacu pada Catatan Tahunan (CATAHU) 2019 Komnas Perempuan, terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan perempuan berbasis cyber atau dunia maya dari 65 kasus menjadi 97 kasus. Bentuk kekerasan siber tersebut diantaranya revenge porn (33%), malicious distribution (20%), cyber harassment/bullying/spamming (15%), impersonation (8%), cyber stalking/tracking (7%), cyber recruitment (4%), sexting (3%), dan cyber hacking (6%). Berdasar pada contoh di atas, maka humor seksis yang ditampilkan dalam akun transportasi online ini dapat dikategorikan sebagai cyber harassment/bullying. Selain itu, data dari CATAHU ini menunjukan pula bahwa kekerasan perempuan di dunia maya kerap terjadi melalui cara yang beragam.

Selain media sosial, kekerasan perempuan pada transportasi online pun semakin ternormalisasi melalui peran media massa. Konten misoginis yang ditampilkan oleh akun-akun transportasi online ini seringkali dijadikan bahan pemberitaan. Seperti artikel berjudul “25 Potret Kocak Penumpang Ojek Online Masa Kini Bikin Ngakak” [ii] yang memuat 25 unggahan terlucu pada akun @dramaojol.id. Isi artikel ini menggambarkan bagaimana perempuan diperlakukan sebagai objek dan difungsikan sebagai pemenuh hasrat laki-laki, sesuai dengan karakteristik humor seksis.

Dalam sudut pandang feminis, Sara Mills dalam Feminist Stylistic [iii] mengakui bahwa seksisme dapat berlindung di bawah wujud humor sehingga pembaca mungkin saja tanpa disadari ikut serta dalam seksisme yang tertanam dalam teks ketika ia tertawa. Humor seksis membuktikan bahwa perempuan dianggap tidak mampu menceritakan lelucon melainkan lelucon itu sendiri dan berfungsi sebagai sebuah cara untuk menegaskan padangan bias gender dalam masyarakat. Makna ganda, dalam humor seksis, seringkali digunakan dalam konteks humor untuk merasionalkan perempuan dan seksualitas mereka, yakni mengubah perempuan menjadi objek dan konsumsi laki-laki.

Dengan demikian, pelaziman humor-humor seksis dalam akun transportasi online ini lantas semakin menyudutkan peran perempuan baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Di tahun 2018, beberapa kasus pelecehan dan kekerasan dialami penumpang perempuan ketika menggunakan transportasi online. Beberapa kasus tersebut diantaranya kasus yang dibagikan akun @calicochim97 melalui media sosial Twitter. Dalam kasusnya, pengemudi ojek online ini menghubunginya secara terang-terangan dan mengatakan bahwa penumpangnya telah membangkitkan gairah seksualnya [iv]. Adapula, kasus yang dialami perempuan berinisial SS pada bulan April 2018 yang hampir disiksa, disekap, dirampok, dan hampir diperkosa saat tengah menumpang GrabCar [v]. Komnas Perempuan melaporkan dua dari 406.178 laporan kasus kekerasan perempuan yang diterima merupakan kasus kekerasan berupa pelecehan dalam transportasi online.

Oleh karena itu, transportasi online rentan akan kekerasan perempuan. Menanggapi hal tersebut, di awal tahun 2019, upaya perlindungan perempuan pengguna transportasi online sudah diwujudkan melalui kerjasama Komnas Perempuan dan Grab. Melalui kerjasama tersebut, Grab meluncurkan fitur seperti layanan share my ride untuk memberitahu lokasi secara real time kepada teman/keluarga selama perjalanan, tombol darurat agar dapat menghubungi kerabat dekat dalam situasi berbahaya saat melakukan perjalanan, dan penyamaran nomor telepon [vi]. Fasilitas yang serupa disediakan pula oleh GOJEK melalui fitur tombol darurat dan bagikan perjalanan [vii]. Penambahan fitur-fitur tersebut memang tidak serta merta menghapus kekerasan perempuan yang terjadi pada saat melakukan perjalanan, namun setidaknya perempuan berhak untuk mendapatkan kebebasan dan merasa aman ketika menggunakan transportasi online.

Daftar Pustaka:
Crawford, M. (2003). Gender and humor in social context. Journal of Pragmatics, 35, 1413-1430.
Fredickson, B., & Roberts, T.-A. (1997). Objectification Theory: Toward Understanding Women's Lived Experiences and Mental Health Risks. Psychology of Women Quarterly, Vol 21 No 2, 173-206.
Langton, R. (2009). Sexual solipsism: Philosophical essays on pornography and objectification. Oxford University Press, Oxford.
Martineau, W. H. (1972). A model of the social function of humor. In J.H. Goldstein, & P. E. McGhee (Eds.), The psychology of humor. Academic Press, Newyork, 101-125.
Mills, S. (2005). Feminist stylistics. Routledge, London.
Nussbaum, M. C. (1995). Objectification. Philosophy & Public Affairs, Vol 24 No 4.
Komnas Perempuan. (2019). Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2019 dari https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2019

Catatan Akhir:
[i] Martineau, W. H. (1972). A model of the social function of humor. In J.H. Goldstein, & P. E. McGhee (Eds.), The psychology of humor. Newyork: Academic Press, Pdf hal 103.
[ii]https://www.idntimes.com/hype/humor/zother-veregrent/potret-kocak-kelakuan-penumpang-ojek-online-c1c2
[iii] Mills, S. (2005). Feminist stylistics. London: Routledge, Pdf hal 106.
[iv]https://metro.sindonews.com/read/1344644/170/viral-ojol-ini-diduga-lecehkan-penumpang-perempuan-1539022368
[v] https://www.alinea.id/nasional/taksi-online-lumbung-pelecehan-perempuan-b1U7w9e7F
[vi] https://bisnis.tempo.co/read/1198824/5-langkah-grab-wujudkan-transportasi-online-aman-bagi-perempuan
[vii]https://www.liputan6.com/tekno/read/3939873/prioritaskan-keamanan-pelanggan-gojek-hadirkan-inovasi-fitur-keamanan-mumpuni
 
 

Membaca Alquran Secara Kritis dan Rasional

24/5/2019

 
Prof. Dr. Musdah Mulia
(Ketua Umum ICRP dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah)
m-mulia@indo.net.id  ​
Tak terasa tanggal 17 Ramadhan sudah menjelang. Artinya, perjuangan umat Islam dalam berjihad melawan nafsu dan ego telah melampaui garis tengah perjalanan Ramadhan. Tanggal 17 Ramadhan dalam sejarah Islam diukir sebagai malam pertama turunnya ayat Alquran. Sangat unik, kitab suci Alquran dimulai dengan perintah membaca, iqra’ bismi rabbikallazi khalaq (bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu yang telah menciptakan). Pertanyaan kritis muncul, mengapa tidak dimulai dengan perintah menyembah Tuhan? Bukankah ini adalah kitab suci dari Tuhan?

Sejumlah analisis mufassir mengungkapkan bahwa hal itu dimaksudkan agar umat Islam dalam menjalankan agama selalu didasarkan pada pikiran kritis dan rasional. Sebab, Islam adalah agama yang vokal bicara tentang bahayanya taqlid buta (mengamalkan suatu ajaran tanpa mengerti makna dan hakikatnya); Islam juga paling depan bicara tentang buruknya bid’ah, takhayul dan khurafat (segala sesuatu yang tidak punya dasar yang jelas dalam agama).

Itulah mengapa banyak ayat Alquran ditutup dengan ungkapan apala ta’qilun (mengapa kamu tidak berpikir?), atau apala tatadabbarun (mengapa kamu tidak meneliti?) dan berbagai ungkapan lain yang semakna. Intinya, Allah swt selalu mengingatkan manusia agar selalu kritis dan menggunakan akal sehat dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek keagamaan.

Alquran dengan redaksi beragam mengajak manusia berpikir kritis dan bersikap rasional dalam merespons segala hal, kecuali hal yang berkaitan dengan Zat Allah. Pengetahuan tentang zat Allah mustahil dijangkau oleh pikiran. Manusia tidak perlu repot-repot memikirkan tentang Tuhan, manusia justru dihimbau memikirkan makhluk Allah, baik di langit, di bumi, maupun diri manusia sendiri (QS. ar-Rum, 30:42; Ali Imran, 190-191; ad-Dukhan, 38-39 dan ar-Rad, 3).
  • Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)."
  • Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
  • 104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
​
Mereka yang berpikir kritis dan kreatif menggunakan nalar sehatnya mendapat kedudukan istimewa, dan Alquran mengapresiasi mereka dengan sejumlah pujian, seperti: ulul-absar, ulul-albab, ulun-nuha, dan ulul-`ilm. Semua ungkapan itu mengandung makna: manusia arif dan bijaksana. 

Lalu, apa yang harus dibaca? Sejumlah ayat mengarahkan agar bacaan umat Islam bukan hanya terbatas pada ayat-ayat qauliyyah dalam bentuk aktivitas tadarusan yang menjadi marak hanya di bulan Ramadhan. Akan tetapi, sangat dihimbau agar membaca ayat-ayat kauniyah (fenomena alam).

Mengapa ini penting? Sebab, salah satu faktor penyebab kemunduran peradaban Islam adalah karena umat Islam meninggalkan tradisi keilmuan berupa ketekunan melakukan riset dan pengkajian terhadap ilmu-ilmu alam sebagaimana dikembangkan para ilmuwan Muslim abad ke-9 sampai akhir abad ke-12. Sejak saat itu, umat Islam umumnya terbelenggu dalam bid’ah dan khurafat, serta terpasung dalam tradisi taqlid buta.

Selanjutnya, menjadi semakin parah karena umat Islam lalu memahami ajaran Alquran sebatas aturan legal-formal, bukan lagi sebagai kitab suci yang menginspirasikan upaya-upaya profetik demi membebaskan manusia dari kebodohan dan ketidakadilan, seperti diajarkan dan dipraktikkan secara cerdas oleh Rasul saw.

Alquran menyebut begitu banyak kerja akal yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan, namun ada dua yang utama: Pertama, mendengarkan. Aktivitas mendengarkan terkesan mudah, tetapi tidak banyak manusia dapat melakukannya dengan baik. Karena itu, mereka yang tidak mengefektifkan akal sehatnya digolongkan sebagai orang-orang tuli (QS. Yunus, 10:42).
  • Dan diantara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti.
Kedua, merenungkan secara konsepsional, setidaknya merenungkan berbagai kejadian di alam raya, termasuk fenomena gempa bumi yang akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Allah menyebut alam semesta dan seluruh fenomena alam ini sebagai tanda bagi orang-orang berakal (QS. al-Ankabut, 29:35 dan al-Rum, 30:24). Terbukti bahwa kemampuan orang Jepang membaca fenomena alam atau ayat-ayat Tsunami, membuat bangsa ini terhindar dari bencana yang mengenaskan.

Demi menjelaskan betapa tingginya posisi akal, para filsuf Muslim menyejajarkan fungsi akal manusia dengan fungsi Nabi. Keduanya berfungsi memberi penerangan dan pencerahan kepada manusia agar terhindar dari kebodohan, ketidakadilan, dan kebiadaban (QS, al-Maidah, 5:15-16).
  • Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan- Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
Karena akalnya, manusia memiliki kedudukan sangat spesifik, yaitu sebagai khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30). Suatu kedudukan yang teramat tinggi, bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lain, termasuk malaikat sekali pun. Tugas manusia yang berakal itu adalah menerjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta.

Mengapa harus manusia terpilih menjadi khalifah fi al-ardh? dimana letak keunggulannya? Ali Syariati menjelaskan, keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah menciptakan Adam, Tuhan lalu mengajarkan padanya sejumlah nama yang mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian dianggap sebagai prototipe dari ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan hanya dianugerahkan pada manusia, tidak pada malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Tidak berlebihan jika disimpulkan, kemuliaan manusia terletak pada ilmu dan pengetahuan. Dengan syarat, jika keduanya sungguh-sungguh digunakan demi kemaslahatan seluruh masyarakat.

Semoga peringatan Nuzul Alquran kali ini menggugah kesadaran umat Islam sehingga menjadi umat gemar membaca ayat qauliyyah maupun qauniyah, berpikir kritis dan rasional sehingga kelak menjadi umat terdepan dalam memajukan peradaban manusia. Amin. 

Melihat Perempuan Nelayan Asmat Bekerja

8/4/2019

 
Wahyudin Opu
wahyudinopu@gmail.com
PictureDok. Pribadi
Aktivitas di dermaga Kampung Yepem mulai tampak saat matahari pagi belum muncul sempurna. Mama Hermina dan beberapa mama lainnya terlihat bergerak menuju perahu mereka masing-masing. Ada yang menenteng jaring sambil membawa ember. Sementara yang lain memegang dayung panjang khas Asmat.

“Mau menjaring udang ooo”, jawab Mama Hermina yang saya tanya tentang tujuan mereka pagi itu.

Setelah mengeluarkan air hujan sisa semalam dari dalam Ci (perahu tradisional masyarakat adat Asmat) mereka mulai bergerak menuju laut. Satu perahu berbentuk panjang tersebut biasanya diisi oleh dua atau tiga orang. Orang yang duduk di bagian depan mendayung untuk menggerakkan perahu. Sementara yang di belakang bertugas sebagai pengendali arah.

Tidak berapa lama, mereka sudah sampai di lokasi yang dituju. Sementara anak perempuannya menancapkan batang kayu untuk mengikat perahu, Mama Hermina sibuk menyiapkan jaringnya. Mama-mama yang lain tampak menyebar di beberapa titik. Lokasi tangkap mereka tidak terlalu jauh. Letaknya hanya di muara kali depan kampung. Bagi nelayan yang hanya memliki Ci, tempat mencari mereka pun hanya di sekitar perairan dangkal. Hanya segelintir nelayan yang punya perahu bermesin yang biasa mencari sampai di laut perairan dalam.

Ekosistem hutan mangrove yang masih sangat sehat di sepanjang pesisir selatan Papua menjadi anugerah tersediri bagi nelayan tradisional di Kabupaten Asmat, Papua. mereka tidak perlu melaut terlalu jauh. Pesisir di sekitar kampung mereka merupakan habitat berbagai jenis biota laut. Tempat mencari makan dan berpijah beberapa jenis ikan, udang dan karaka atau kepiting bakau yang kesohor mahal di restoran-restoran di berbagai kota dan negara.

Ada siklus air pasang yang ditandai nelayan tangkap sebagai waktu untuk “menimba hasil laut”. Masyarakat biasanya menyebutnya dengan istilah “air konda”. Air konda adalah kondisi saat air laut pasang dan surut dalam keadaan pelan. Saat air pasang seperti itu biota laut, terutama jenis udang putih, akan berkumpul di perairan dangkal. Kondisi tersebut memudahkan para nelayan untuk menangkap. Cukup dengan menyeret jaring secara berpasangan, hasil dalam jumlah banyak sudah dapat terangkut.

Nelayan tangkap di perairan pesisir Asmat didominasi oleh kaum perempuan atau mama-mama Asmat. Mereka mulai beraktivitas sejak pagi hari. Mereka mengumpulkan hasil sampai matahari mulai terasa terik, sekitar pukul sepuluh hingga dua belas siang. Saat musim air konda tersebut, dalam sehari para nelayan perempuan di pesisir Asmat dapat mengumpulkan dua hingga tiga ember udang. Di luar musim itu hasil tangkapan hanya sekitar seember.

Hasil tangkapan yang terkumpul disisihkan sedikit untuk dikonsumsi di dalam rumah tangga. Sedangkan sebagian besarnya dibawa menuju Agats untuk dipasarkan. Biasanya hasil tangkapan mama-mama ini dititipkan pada masyarakat yang akan menuju Agats, karena tidak memliki perahu motor. Ada kalanya juga mereka sendiri yang memasarkan hasil tangkapan dengan menumpang di perahu motor milik masyarakat. Tentu dengan membayar sewa bolak-balik kampung-Agats. Waktu berjualan di pasar biasanya berlangsung hingga sore. Terkadang hari sudah malam mereka baru tiba kembali di kampung.

Ketimpangan Penguasaan dan Pengetahuan
Dari ilustrasi kegiatan di atas terlihat peran perempuan nelayan yang sangat besar dalam mengelola sumber daya alam di pesisir Asmat. Waktu beraktivitas mereka terentang sejak pagi sampai malam. Namun jika diamati lebih jauh, peran yang besar tersebut tidak diimbangi dengan penguasaan sumber daya yang memadai.

Misalkan saja dalam hal penguasaan alat tangkap. Nelayan perempuan Asmat hanya punya akses pada peralatan yang benar-benar tradisional. Mereka tidak punya kemampuan, dan terus dibuat tidak mampu, untuk mengendarai perahu bermesin. Sehari-hari mereka hanya mendayung Ci untuk melaut. Tentu saja hal ini membatasi wilayah mencari mereka, hanya di daerah perairan dangkal saja. Dengan kondisi seperti itu hasil tangkapan juga menjadi sangat terbatas. Selain itu mereka juga masih bergantung pada pemilik perahu bermotor untuk menjual hasil tangkapan ke ibu kota kabupaten. Hanya beberapa perempuan yang cukup beruntung bersuami seorang pemilik perahu bermotor.

Pada sisi yang lain, perempuan nelayan Asmat tidak disuplai pengetahuan yang cukup tentang teknik penangkapan. Selama ini pengetahuan mereka soal pemanfaatan hasil perikanan didapat secara otodidak dengan mengikuti aktivitas ini sejak kecil di lingkup keluarga. Pengetahuan mereka tidak pernah dibangun dengan sistem peningkatan kapasitas yang memadai. Misalkan saja tentang penggunaan alat tangkap yang lebih modern atau penerapan teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan hasil tangkapan atau pengetahuan tambahan tentang pengolahan hasil perikanan pasca tangkap menjadi bahan makanan yang lebih bernilai ekonomis.

Setidaknya ada  dua faktor yang menyebabkan ketimpangan penguasaan akan sumber daya alam bagi nelayan perempuan Asmat ini. Pertama, adat yang mengungkung dan yang kedua sistem kebijakan yang tidak peka gender, atau bahkan kombinasi keduanya.

Selama ratusan tahun kearifan lokal masyarakat adat Asmat berhasil melindungi kawasan hutan di pesisir selatan Papua. Namun tradisi yang sama mereduksi peran perempuan untuk turut serta dalam pengelolaan sumber daya alam. Adat Asmat mengatur pembagian peran yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Misalnya saja, dalam hal pengambilan keputusan di dalam Jew (rumah adat Asmat), perempuan kerap atau bahkan tidak pernah sama sekali dilibatkan. Keterlibatan perempuan dalam aktivitas adat Asmat kerap dianggap karu atau pamali. Akhirnya hasil keputusan hanya berfokus pada kepentingan laki-laki semata. Perempuan tinggal mengikut saja.

Tradisi ini terus berlanjut dalam sistem pemerintahan modern. Sepanjang pengalaman saya memfasilitasi perencanaan pembangunan di kampung-kampung pesisir Asmat, terasa betul sulitnya melibatkan perempuan di dalam forum. Pada proses pengusulan program kerja yang akan didanai oleh Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD), keterlibatan perempuan sangat minim. Bisa dibayangkan program yang didorong kemudian adalah program-program yang tidak mengakomodir peningkatan potensi perempuan. Padahal mereka lah pihak yang lebih banyak bersentuhan langsung dengan lapangan.

Pada sisi yang lain sistem kebijakan atau regulasi yang mengatur tentang pemajuan sektor kelautan dan perikanan juga tidak peka gender. Sebenarnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam sudah sangat positif karena bertujuan untuk melindungi nelayan kecil dan nelayan tradisional. Namun regulasi ini tidak memberikan dukungan yang cukup bagi pengembangan aktivitas nelayan perempuan. Dimulai dari pendefinisian nelayan yang sangat maskulin yang kurang mengakui peran perempuan dalam sektor perikanan. Kalaupun mereka menangkap ikan di laut, mereka hanya dianggap menemani suami.

Peraturan tidak peka gender ini kemudian mengakibatkan kontribusi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam pesisir jarang diakui bahkan dianggap tidak ada. Akibatnya perempuan nelayan sulit berkembang. Mereka kesulitan mengakses kredit permodalan, teknologi tangkap dan pengolahan pasca tangkap, dan pelatihan atau pengembangan kapasitas yang diselenggarakan oleh pemerintah. Mereka kemungkinan bisa mengakses segala fasilitas itu saat didampingi oleh suami. Bagaimana dengan perempuan nelayan yang hidup tanpa pasangan?

Fakta menunjukkan bahwa kantong-kantong kemiskinan di Indonesia berpusat di daerah pedesaan yang terletak di pesisir. Kaum yang paling rentan di desa-desa pesisir yang miskin tersebut adalah perempuan. Perempuan nelayan  adalah kelompok paling rentan di antara yang rentan tersebut. Kita tidak bisa mengubah keadaan ini dengan sistem adat dan kebijakan yang tidak pro terhadap keadilan gender.
​
Penguatan Peran Nelayan Perempuan
Lantas bagaimana mendorong perubahan tersebut?
Upaya yang dapat dilakukan pada tingkat desa atau kampung adalah melakukan advokasi mengenai kesetaraan gender, baik dalam struktural kemasyarakatan maupun pada forum-forum pengambilan keputusan. Masyarakat harus diberikan pemahaman untuk membedakan ritual-ritual adat dengan kegiatan sosial lainnya. Kalaupun kesakralan adat sudah tidak dapat diotak-atik lagi, setidaknya kaum perempuan dapat terlibat lebih setara dalam agenda sosial lainnya, terutama dalam forum-forum pengambilan keputusan.

Keterlibatan perempuan dalam forum-forum pengambilan keputusan di desa sangatlah penting karena hal tersebut akan menjamin aspirasi mereka akan tersalurkan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan posisi yang sangat strategis kepada desa. Lewat regulasi ini desa diberi kewenangan untuk menyusun perencanaan pembangunan sendiri dengan sokongan pendanaan yang cukup besar. Para perempuan nelayan dapat mengaspirasikan kepetingannya lewat saluran-saluran yang tersedia dengan lahirnya Undang-Undang Desa tersebut.

Keterlibatan perempuan nelayan dalam mengakses Dana Desa dapat diarahkan utamanya dalam bidang pemberdayaan. Program yang dapat didorong diantaranya peningkatan kapasitas teknik penangkapan, cara pengolahan hasil perikanan, hingga penyediaan peralatan tangkap yang memadai. Keterlibatan perempuan nelayan yang lebih intens dalam forum di tingkat desa akan melahirkan para pelopor baru. Para pelopor ini nantinya diharapkan dapat memajukan hak-hak perempuan nelayan pada level yang tinggi lagi, baik di kabupaten, provinsi, hingga nasional.

Sejatinya menguatkan peran nelayan perempuan dalam pengelolaan sektor perikanan bukan untuk meminggirkan kaum laki-laki. hal ini perlu dilakukan semata-mata untuk memaksimalkan potensi yang ada untuk mendukung upaya ketahanan pangan sekaligus mengurangi angka masyarakat rentan rentan di wilayah pesisir.

Predator Seksual di Kampus

1/4/2019

 
Bunga Dessri Nur Ghaliyah
(Komunitas Serat Pena)
bungadessri94@gmail.com
PictureDok. Jurnal Perempuan
Suatu hari Dina sedang melintasi ruang dosen. Tepat di arah jam dua belas, ada seorang dosen laki-laki yang dari jauh tersenyum padanya. Ia kemudian mendekat, lalu menyapa, dan menyodorkan tangannya untuk disalami. Sebagai bentuk sopan santun, Dina pun membalas uluran tangan sang dosen, namun bukan hanya satu atau dua detik, tokoh pendidik ini lantas menggenggam tangan mahasiswinya lebih lama, lalu mengusap-usap sambil memuji kecantikannya. “Saya kan menyayangi mahasiswi sebagaimana seorang ayah menyayangi putri kecilnya”, tutur Dina menirukan ucapan sang dosen.
​

Tak hanya elusan tangan, mahasiswi lainnya mengaku bahwa oknum dosen yang sudah tua tersebut, kerap merangkul pundaknya secara tiba-tiba. “Si bapak itu sering ngajak makan berdua, terus pernah ngajak aku ke kelas kosong, minta dipijitin. Aku gak berani nolak mentah-mentah, paling ngarang alesan aja biar aku bisa cepat pergi”, ujarnya. Sebagai seorang mahasiswi, ia mengaku sulit melawan dengan tegas karena khawatir dianggap tak sopan, dan akan memengaruhi proses belajarnya selama kuliah. Akhirnya, mahasiswi berhijab ini hanya bisa menjauh perlahan dengan berbagai alasan.

Lebih parah lagi, beberapa waktu lalu, Rika, salah satu mahasiswi kampus seni di Bandung, datang dalam keadaan berkaca-kaca. Ia bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, ia diajak manggung oleh seorang dosen ke luar kota. Rika sebagai orang yang sangat jarang bepergian jauh sendirian, lantas mengajukan mahasiswi lain untuk diajak agar ia merasa aman. Sesampainya di hotel, saat ia sedang sendirian, sang dosen menghampirinya, mendekat, sangat dekat, hingga wajahnya hampir bersentuhan dengan wajah Rika. Dalam keadaan ketakutan, Rika diajak untuk tidur satu kamar oleh sang dosen. Beruntung, temannya segera datang, dan Rika ada kesempatan untuk berlari.

Picture

Cerita lain datang dari Fitri, seorang mahasiswi kampus berbasis agama Islam di Bandung. Di awal semester, Fitri terpilih menjadi ketua kelas, sehingga ia sering berkomunikasi dengan beberapa dosen yang mengajar di kelasnya. Kemudian, beberapa dosen yang merasa superior mulai berani mengirim pesan tak senonoh. Lebih jauh lagi, mereka meminta foto pribadi, meminta bertemu, mengajak pergi ke bioskop berdua, bahkan mengajak ‘tidur’ di hotel. Jika Fitri menolak, sang dosen dengan gamblang mengancam akan memberikan nilai terburuk dalam mata kuliahnya.
​

Berbekal pengetahuan tentang pelecehan seksual, Fitri mampu dengan tegas menolak ajakan sang dosen. Ancaman sang dosen pun tak menurunkan level keberanian Fitri. Tak hanya menolak, mahasiswi Fakultas Dakwah ini kemudian melaporkan pengalamannya ke kantor Fakultas, namun ternyata pihak kampus memilih untuk bungkam. Adapun sanksi yang diberikan kampus pada para oknum dosen ini, seolah hanya formalitas karena tak lama kemudian, sang predator kembali bebas dan berulah seperti sebelumnya.

Serupa dengan kasus Fitri, berbagai media cetak dan daring pun sering memberitakan hal serupa, misalnya VOA Indonesia[1] yang memberitakan bahwa pada April 2018 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa Suaka UIN Bandung melaporkan kasus pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi di kampusnya. Konon, para predator tersebut memperalat para mahasiswinya dengan modus akademik, misalnya saat membahas perbaikan nilai, dan bimbingan skripsi. Lalu seperti di kampus lainnya, hingga saat ini, dosen tersebut masih mengajar tanpa ada teguran yang berarti.

Pengalaman-pengalaman para mahasiswi di atas ternyata hanya sebagian kecil dari kasus kekerasan seksual di dalam dunia pendidikan. Dalam waktu satu hari membuka portal bercerita tentang kekerasan seksual di Instagram saja, ternyata mendapat tanggapan lebih dari dua puluh orang yang dengan sukarela menceritakan pengalamannya, bahkan banyak diantaranya yang tak segan menyebutkan nama kampus dan jurusan dosen yang melecehkan mereka. Seluruh responden mengizinkan ceritanya dipublikasikan, namun sebagian besar meminta penyamaran identitas. Alasannya bermacam-macam, ada yang menyatakan tak berani berbicara karena takut atas stigma dari lingkungan sekitar, takut dipersulit dalam proses perkuliahan, putus asa karena merasa tak ada yang mendengarkan, bahkan ada yang trauma sehingga tak ingin membahas kasusnya lebih lanjut.

Dari hal di atas, rasanya wajar jika mengatakan bahwa dunia pendidikan tengah mengalami darurat moral. Bukannya mendidik, banyak oknum dosen di berbagai kampus di Indonesia, mengatasnamakan kedudukan dan kekuasaannya, untuk mengancam dan melemahkan para mahasiswi yang ia jadikan sebagai objek pemuas hasrat. Para mahasiswi tentu merasa tidak nyaman atas tindakan-tindakan seperti kasus di atas, namun banyak diantaranya yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dilecehkan secara verbal dan seksual. Adapun yang telah menyadari, sebagian besar merasa tak berdaya dan membiarkan sang predator begitu saja. Maka dari itu, para generasi muda perlu dibekali dengan pengetahuan tentang pelecehan seksual dan perlindungan diri sejak dini.

Pelecehan bukanlah lelucon. Saatnya merespons dan menindaklanjuti kasus kekerasan seksual, khususnya di dunia pendidikan. Pihak kampus sebaiknya mengevaluasi sistem pendidikan yang sedang dijalankan. Selain itu, pihak kampus pun harus memihak pada korban, jangan memilih bungkam dan menutupi kasus-kasus pelecehan yang terjadi, karena cara yang tepat untuk menjaga nama baik kampus adalah justru dengan mengungkap tabir kejahatan pelaku, sehingga dunia pendidikan akan menjadi wadah yang benar-benar bebas dari kekerasan seksual.
 
Catatan Akhir:
**Data didapatkan dari para responden yang merupakan korban pelecehan yang namanya disamarkan (bukan nama asli) atas permintaan langsung.

[1](https://www.voaindonesia.com/a/mahasiswa-bandung-desak-pengesahan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual/4690621.html)
 ​

Perempuan dan Nihilisme Demokrasi

26/3/2019

 
Safina Maulida
(Pekerja seni, aktivis)
safinamaulida@gmail.com
PictureDok. Pribadi
The rising of the women means the rising of the race
No more the drudge and idler, ten that toil where one reposes
But a sharing of life's glories: Bread and Roses, Bread and Roses.
~ James Oppenheim (1882-1932), Bread and Roses
 
Teori demokrasi yang dijukstaposisikan dengan feminisme akan mengkritik politik arus utama. Politik mainstream tersebut punya metodologi maskulin yang berwatak phallus yang hanya mencari kekuasaan dan melupakan substansi sejarah politeia. Kini ia bernafaskan kepentingan yang menghasilkan kemandekan dialektika soal kesejahteraan dan sebagainya. Ditambah politik klientelisme yang menjadikan politik sebagai alat sekumpul elitis.
 
Sulit ditemui narasi tentang kewarganegaraan dan kemerdekaan. Apalagi HAM dan kemartabatan. Padahal, politik dengan identitas demokrasi seharusnya menjadi jembatan antara negara dan rakyatnya untuk dapat mencapai keadilan dengan iklim yang tak represif. Sebuah republik yang jauh dari asas tersebut terlihat sedang mencari cara untuk menghapus politik dari usaha res-publica. Pertanyaannya kini, mengapa perempuan kurang terwakili dalam politik? Mampukah kita berbicara tentang demokrasi ketika perempuan tidak sepenuhnya ada dalam pengambilan keputusan politik?
 
Pemilu tahun 2019 ini diramaikan oleh figur perempuan yang akan duduk di parlemen. Bagi kultur patriarkis, perempuan hanya ada di ruang privat. Tak pantas di ruang publik. Sehingga politik yang ada di lokus publik hanya milik laki-laki. Dengan begitu, dominasi dimungkinkan. Perempuan yang terjun dalam politik menjadi harapan besar bagi narasi feminisme dan keadilan sosial dalam ruang politik. Meski begitu, perempuan dalam legislasi harus tetap diskrutinisasi. Apakah ia memiliki visi untuk isu perempuan? Apakah ia sekadar dikultuskan oleh dinasti politik yang oligark?
 
Agenda politik dengan keputusan afirmasi bahwa perempuan harus mendapatkan kuota 30% mungkin progresif di Pemilu tahun 2014. Tetapi bila lima tahun telah berlalu dan pemenuhan kuota masih jadi urusan formalitas, tentu ini menjadi sebuah kemunduran. Tubuh politik tak bicara tentang formalitas. Tubuh politik tak berbicara kuantitatif atas kuota untuk kampanye yang serba dangkal. Lebih dari itu, politik harus kembali pada ideologi demokrasi yang egaliter dan berbasis HAM. Dengan konsekuensi logisnya yang akan menghasilkan keadilan yang adil dan beradab. Tak terkecuali pada siapapun dan tak sebaliknya.
 
Seorang pendukung HAM akan serta-merta menjadi seorang demokratis. Namun, seorang demokratis tak membuatnya menjadi seorang pendukung HAM. Kekhawatiran ini muncul saat ide demokrasi dilepas menjadi wacana yang tak terpadu. Situasi ini yang kemudian membentuk kekosongan ruang yang status-quo nya bisa diputarbalikkan oleh politik kekuasaan yang dinikmati para aktor dengan maksud tertentu. Maksudnya, emblem demokrasi diidentikkan dengan bentuk kebebasan yang jauh dari kemawasan. Contohnya ada pada keleluasaan kaderisasi partai yang tak bersih, bermahar, hingga pencalonan seorang eks-koruptor. Padahal, pengaderan khususnya untuk jabatan politik harus dilakukan seterbuka mungkin. Momen pemilihan umum yang sering dikatakan sebagai pesta demokrasi masih dihadapkan pada situasi para pemilih yang masih jauh dari ketercukupan informasi dan kemampuan berpikir. Pesta demokrasi akan sekejap menjadi pesta mobokrasi. Kerentanan tersebut bagi kelompok politik yang sebatas memikirkan kekuasaan dengan kaderisasi kepartaian yang buruk, akan memanfaatkan keadaan hampa semacam ini.
 
Demokrasi telah mengecewakan perempuan. Politik tak hanya bertahan pada arus utamanya dengan hanya laki-laki sebagai yang-politis, tetapi juga telah melewati tindakan non-etis.  Sejatinya, kebenaran dan kekuasaan bisa berarti sebuah kontemplasi besar jika perspektif etik masuk di dalamnya. Demokrasi membutuhkan gairah pemikiran yang setara dan egaliter. Ini yang kemudian membuat Pemilihan Umum lebih cocok dibilang perjuangan ketimbang sebuah pesta.
 
Kendati secara riil demokrasi berujung tombak pada sistem elektorat, bukan mengiyakan bahwa demokrasi hanya bersubstansi pada perjuangan partai politik untuk memenangkan kuota untuk masuk ke parlemen. Menihilkan aspek perjuangan sipil marginal dalam pencapaian keadilan adalah kemunduran. Kita harus bisa mencapai titik dimana politik bukan sekadar soal konstitusi. Yang kita lihat hari-hari ini, standar demokrasi terus turun ke titik nol. Kian menjauhkan perempuan dan kelompok paling tertinggal untuk dapat menikmati akses keadilan dalam bentuk apapun. Ditambah hierarki politik yang oligarkis semakin menutup narasi feminisme dan kepentingan perempuan dalam agenda politik. Indonesia membutuhkan kedamaian dan harapan yang ada untuk hari esok. Pemimpin perempuan yang bisa mewakili suara yang tak terdengar. Pemimpin yang memiliki analisis kuat untuk berbicara kesejahteraan dan keadilan sosial.
 
Setidaknya disini kita masih sepakat akan dua hal: masuknya perempuan dalam parlemen adalah agenda feminis, bukan feminisasi alat politik. Sebab perempuan adalah tentang identitas gender yang penuh dengan pergulatan power-over, bukan tentang jenis kelamin. Kedua, keterwakilan perempuan dalam tubuh politik adalah standar bagi sebuah negeri yang mengaku demokratis. Seperti puisi Oppenheim di atas; demokrasi tak hanya untuk kesejahteraan–metafor dari sepotong roti atau Bread, namun juga harus untuk cinta-kasih dan penghargaan martabat perempuan, seumpama bunga atau Roses. 


Sudahkah Layar Televisi Ramah Perempuan?

11/3/2019

 
Ahmad Riyadi
(Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang bekerja sebagai asisten di KPI Pusat)
​ariyadiuinsuka@gmail.com
PictureDok. Pribadi
Atnike Nova Sigiro berkesempatan hadir dalam gelaran “Evaluasi Dengar Pendapat” yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Rabu (6/3). “Evaluasi Dengar Pendapat” adalah proses lembaga penyiaran untuk mendapatkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), baik bagi pemohon baru ataupun perpanjangan.
​
Kapasitasnya sebagai Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, tentu Atnike cenderung membahas persoalan perempuan dalam layar kaca. Ia bahkan dengan tegas menanyakan, strategi apa yang akan dilakukan dalam upaya pengarusutamaan gender terhadap Lembaga Penyiaran. “Perlu ada strategi untuk pengarusutamaan gender dalam layar televisi”, ungkapnya sebagaimana dikutip di situs KPI.

Representasi penulis terhadap pernyataan di atas, adalah berkaitan dengan perempuan di layar televisi. Pengarusutamaan gender yang dimaksud ialah soal bagaimana perempuan menjadi objek dari eksploitasi dalam media, termasuk televisi.

Idealisasi Kecantikan
Menyoal pengarusutamaan gender di media ini melambungkan ingatan penulis tentang idealisasi kecantikan dalam buku bertajuk Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan Indonesia Transnasional karya L. Ayu Saraswati. Sebuah buku yang menguliti relasi kuasa kecantikan dalam hubungannya dengan transnasionalisme, rasialisme, warna kulit dan gender melalui emosi dalam pencitraan yang menggambarkan kecantikan.

Pertanyaannya kemudian, mengapa kecantikan? Ayu dalam bukunya menjelaskan bahwa ideologi kecantikan digunakan sebagai lensa kritik untuk mencermati bagaimana putih (whiteness), saat dipandang, diartikulasikan, dan dibingkai dalam gagasan mengenai kecantikan perempuan mendapatkan maknanya.

Jika demikian, maka kecantikan sebenarnya adalah penerimaan terhadap sesuatu yang dikontruksikan cantik. Sebuah kerja hegemoni itu berlangsung melalui kekuasaan-kekuasaan yang berada di belakangnya. Di Indonesia, cantik yang ideal berubah-rubah sesuai dengan rezim kekuasaan di tangan siapa. Saat jepang berkuasa, maka ideal kecantikan yang diberlakukan Belanda (Eropa) tetiba hilang, begitu juga seterusnya, hingga kecantikan itu ideal menurut kacamata kosmopolitan.

Mundur ke belakang, di era kerajaan, kecantikan sudah mempunyai normanya sendiri. Dalam hal ini, seperti potret yang digambarkan Ayu, adalah penggambaran Sita dengan terang lalu Rahwana, makhluk jahat yang gelap. Epos-epos ini kemudian dikonstruksi sedemikian rupa menjadi norma kecantikan.

Dalam fitur media, idealisasi kecantikan ini bisa dilihat dalam sejarah Indonesia. Majalah berbahasa Belanda seperti Bataviaasch Niusbland, de Locomtief  dan Java Bode menampilkan perempuan China, Liem Titie Nio yang digambarkan dalam lanskap nasionalisme dan isu-isu politik lainnya, sebuah majalah yang pada mulanya membahas isu-isu rumah tangga belaka.

Terbitan-terbitan kolonial ini mengafirmasi bukti kecantikan yang direpresentasikan oleh perempuan berkulit Kaukasia, sebagai ideal kecantikan dalam wacana kecantikan dominan. Juga lonjakan penggunaan sabun Lux sebagai produk ideal kecantikan yang kembali menegaskan ideal kecantikan itu adalah Kaukasia, disusul reproduksi film Amerika pada 90-an seperti tampilnya Irene, Deanna Durban dan semacamnya.

Sebuah analisis yang menarik dan kritis tentang pesona kecantikan juga tergambar dalam buku karya Naomi Wolf dengan judulnya Mitos Kecantikan Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Beberapa catatan penting ini adalah bagaimana mitos kecantikan itu menghambat gerak perempuan dan bagaimana perempuan mendapatkan diskriminasi hanya sebab persoalan kecantikan.

Ramah Perempuan
Apa yang kemudian terjadi dalam ruang evaluasi itu, tidak bisa dianggap sebagai tanda-tanda malaikat turun dari langit untuk berpihak terhadap perempuan. Itu hanya sekadar masukan di tengah gegap gempita yang melanggengkan perempuan untuk melulu menjadi objek komersial dan kebudayaan yang patriarkal.

Betapa tidak, kehadiran perempuan dalam layar kaca diantara kutukan dan harapan. Saat beberapa lalu, rimbun protes terhadap iklan perempuan berbalut pakaian mini yang menuai polemik dalam waktu yang bersamaan. Di satu sisi, kita dianjurkan pada tataran norma kepantasan yang sempit, tetapi di saat yang bersamaan objek yang dijadikan bintang adalah perempuan dengan ideal kecantikan yang digandrungi, misalnya standar kecantikan perempuan di Korea.
Dari sini kita bisa menilai bahwa kecantikan idealnya adalah mereka yang datang dari Korea. Tetapi juga dikutuk karena tampilan baju mini. Potret ini hanya potongan-potongan belaka. Masih banyak ditemukan konten-konten di layar televisi, yang menghinda dan merendahkan tubuh perempuan hanya karena perbedaan fisik, baik dari bentuk tubuh atau warna kulit. Penghinaan ini nyata dan kasat hanya untuk meledakkan emosi-emosi gelak tawa, dan tentunya rate yang diharapkan oleh stasiun televisi.

Menghadirkan televisi yang ramah perempuan tentu membutuhkan perjuangan yang tidak singkat. Ia tidak hanya melibatkan agen televisi, tetapi juga regulasi yang detil dan berperspektif emansipatif, memihak terhadap perempuan serta pengayaan literasi bagi masyarakat Indonesia, tentu saja tentang kesetaraan gender.

Lasminingrat, Bersuara Untuk Perempuan Melalui Sastra

22/1/2019

 
Rena A. Asyari
(Dosen dan Pendiri Seratpena)
rena.asyari@gmail.com
PictureDok. Pribadi
Suasana pagi di bawah kaki Gunung Papandayan sangat sejuk. Sesekali angin bertiup semilir memainkan anak rambut. Jalan aspal yang berkelok-kelok menambah pemandangan eksotis setiap mata yang melihatnya. Dari perut bumi di tatar Priangan ini, hampir satu setengah abad yang lalu, lahir karya sastra dari tangan perempuan.            

Lasminingrat, namanya belakangan sudah ramai diperbincangkan di ruang maya. Perlahan dan pasti masyarakat Sunda terlebih generasi muda yang mempunyai akses terbuka pada media digital akan lebih mengenalnya. Di media nasional, majalah Historia Edisi 1 tahun 2012 turut mewartakan Lasminingrat dalam kolomnya “Tapak Perempuan Nusantara” sebagai salah satu perempuan yang membuka jalan bagi gerakan perempuan, bersanding dengan 49 tokoh perempuan lainnya.

Lasminingrat saat itu mungkin tak pernah membayangkan, namanya akan banyak dibincangkan di forum-forum seminar akademisi, atau bahkan obrolan sederhana warung kopi di daerah Garut. Pusaranya di Garut, kian sering didatangi anak-anak sekolah, pengunjung biasa maupun peneliti. Pemikirannya dibedah oleh manusia abad 21.

Semula, ia tak berharap menjadi besar. Seperti pengakuannya yang ia tuliskan di bukunya, ia hanya menulis dan mencatat. Ia tidak pernah menunda menulis dan tidak pernah menunda membaca. Kegemarannya menulis bukan karena ia sudah pintar hingga tahu semua jawaban, justru karena ia tidak mengetahui banyak hal, maka ia menulis. Ia menulis hanya karena ia takut lupa, menulis menurutnya bisa melupakan kegelisahan dan kebimbangan hati. Ia sangat senang belajar, menurutnya pula segala kemampuan dan ilmu kita jika tidak diasah bisa mudah lupa bahkan hilang.

Karya-karya sadurannya masyhur saat itu. Peneliti sunda Mikihiro Moriyama menyebutkan bahwa karya Lasminingrat menjadi bacaan wajib anak pribumi saat itu, Tjarita Erman yang terbit tahun 1875 di Batavia, saduran dari karya Hendrick Van Eichenfels bahkan dicetak hampir 6000 eksemplar, dan saat itu dijual dengan harga f 0,4.

Suara Perempuan dalam Sastra Lasminingrat
Selain didaulat sebagai penulis dongeng anak-anak karena popularnya Tjarita Erman saat itu, Lasminingrat juga menulis dongeng untuk kalangan remaja dan dewasa. Karyanya yang berjudul Warnasari Jilid 2 meunang njalin tina boekoe walanda diterbitkan di Batavia tahun 1887. Jika Tjarita Erman bentuknya seperti novel dan berisi banyak pengajaran untuk anak-anak usia SD, maka Warnasari Jilid 2 yang terdiri dari 5 cerita pendek ini lebih membukakan ruang-ruang dialektika baru bagi pembaca remaja dan dewasa.

Cerita-cerita dalam Warnasari lebih hidup. Menyuguhkan persoalan yang kompleks. Ambisi kekuasaan, keberanian, tekad, percintaan, perjodohan mewarnai kisah-kisah yang ada di dalamnya. Salah satu kisah yang menarik adalah yang berjudul “Sang Radja Poetri jeung Saderekna Doewa Welas” yang banyak membincang tentang perempuan. Tentang tubuh, tabiat, stigma, intimidasi dan diskriminasi yang kerap diterima oleh perempuan.

Kisah bermula dari seorang perempuan yang terus menerus mengandung sebanyak dua belas kali. Suaminya, tak mau tahu tentang tubuh perempuan yang tak ada habisnya digantungi kehidupan manusia baru. Perempuan seperti tak punya kuasa atas tubuhnya. Suaminya tak pernah puas, ia hanya ingin anak perempuan. Dengan segala rasa sakit yang ditanggungnya, perempuan seharusnya diapresiasi dan ditinggikan. Sayangnya, peristiwa melahirkan seolah hanya menjadi tanggung jawab perempuan.

Beruntung anak yang ketiga belas adalah perempuan. Tetapi, menjadi petaka bagi semua kakak-kakaknya yang laki-laki. Ayah mereka tak lagi peduli. Sang ayah pun membenci dan hendak membunuh kedua belas anak lelakinya. Tentu saja ini tidak adil, bukankah rasa kasih sayang, cinta dan kemanusiaan tak mengenal jenis kelamin? seperti yang disinggung oleh bell hooks dalam bukunya Feminism is for Everybody, bahwa setiap manusia berhak mendapatkan keadilan, entah itu laki-laki, perempuan, anak-anak maupun orang dewasa.

Dalam tulisannya tersirat Lasminingrat menegaskan bentuk ketidakadilan tersebut. Ia menggugat dan berkali-kali dengan keras tak sepakat dengan intimidasi. “…semoga hati kamu tidak begitu, saya benar-benar tidak terima, karena semuanya juga anak, dan betapa sayangnya, semuanya sudah besar dan berprilaku baik, dan lagi tak terbayang betapa menderitanya saya, membunuh anak yang sudah besar dan tidak punya dosa”. (Sang Radja Poetri jeung Saderekna Doewa Welas, hal. 47).

Perempuan yang mengandung semua putranya itu ternyata tak punya kuasa sedikitpun atas daging yang pernah bercokol di tubuhnya. Keputusan suaminya tak bisa diubah. Kebencian suaminya pada darah dagingnya tak bisa ia bantah. Ia, perempuan yang menyerahkan seluruh tubuh dan kehidupannya selama mengandung, menyusui dan membesarkan kedua belas anaknya ternyata sama sekali tak punya hak untuk bersuara.

Kedua belas anak lelaki itu akhirnya kabur agar tidak dibunuh sang ayah. Ibunya, perempuan yang mengasihinya hanya bisa menangis, tak dapat berbuat banyak. Tangisnya membuat suaminya jengah, di matanya perempuan itu sangat cengeng. Tak sedikitpun kepedulian suaminya atas kedukaan yang tengah dirasakan istrinya.

Lasminingrat dalam cerita saduran “Sang Radja Poetri jeung Saderekna Doewa Welas” juga menyisipkan peran perempuan yang hanya dibatasi dalam ruang domestik saja. Anak perempuan yang ketiga belas itu menyusul kakaknya. Ketika kakak-kakaknya yang dua belas orang dan semuanya laki-laki bekerja di luar rumah, adiknya yang perempuan hanya disuruh untuk memasak dan menunggui rumah, membersihkan perabotan hingga rumah tampak lebih bersih dan menyenangkan karena ada sentuhan tangan perempuan. Begitu juga di akhir cerita, ketika semua laki-laki terlibat dalam peperangan, para perempuan hanya boleh menunggu di dalam keraton saja.

Ketika Lasminingrat menuliskan kisah ini, hak perempuan untuk mendapatkan keadilan dan perlakuan yang setara dengan laki-laki sangat terbatas. Perempuan hanya boleh menempati ranah domestik.   Satu hal lagi yang sangat menarik, Lasminingrat menceritakan tentang pilunya menjadi seorang perempuan. Intimidasi dan diskriminasi kerap diterimanya, yang lebih menyedihkan yang menghukum adalah juga seorang perempuan.

Diceritakan anak perempuan ketiga belas tadi sudah dewasa dan hendak dipersunting seorang Raja, tetapi para perempuan kerajaan saling membisiki ratu, memengaruhinya agar tak menerima calon menantu pilihan anaknya hanya karena asal-usulnya tidak jelas.

Pada abad 19, sudah menjadi keharusan kaum menak harus menikah dengan kaum menak pula, maka tidak heran jika kelanggengan kekuasaan bisa bertahan berpuluh-puluh generasi berikutnya. Menjadi anak seorang HoofdPenghoeloe Penghulu Limbangan, menjadikan Lasminingrat bagian dari lingkaran menak, lingkaran itu terus dipelihara dan diperbesar melalui pernikahan. Pernikahan pertamanya dengan Raden Tamtu Somadiningrat anak Bupati Sumedang kemudian menikah kedua kalinya dan menjadi istri kedua Raden Wiratanudatar VIII Bupati Limbangan.

Tetapi, dalam cerita fiksinya Lasminingrat seolah menghapus tradisi pernikahan kaum menak. Sang Raja tetap memilih perempuan yang ia ingin nikahi meskipun asal usulnya tidak jelas.   Lasminingrat juga dengan sengaja menampar keras para perempuan yang hobinya bergosip, yang lebih banyak bicara daripada bekerja. Lasmi tak segan-segan menyebutnya “lidah ular”, menurutnya mulia dan tidaknya seorang perempuan bukan berasal dari status sosial, tetapi dari akal dan keluhuran budi.  Ia menulis : “… yang bisa bicara serta bicaranya benar itu perak, yang diam dan tidak cerewet itu emas, sedangkan yang bisa bicara tapi menjelek-jelekkan orang lain itu namanya lidah ular”. (Sang Raja Putri, hal. 66).

Ketidaksukaannya pada perempuan yang suka menggosip ia tuliskan pula juga pada kisah “Tjarita Oray Bodas”. “…Malahan kepada istri yang sangat disayanginya juga tidak pernah diberitahukan. Menurut Radja istrinya tidak bisa menyimpan rahasia, “biwir nyiru rombengeun, ceuli lentaheun[1]” tidak lama berita diterima langsung saja diceritakan pada sahabatnya. Katanya menitip cerita dengan syarat tidak boleh diceritakan lagi, tetapi akhirnya berita itu diteruskan kepada siapa saja hingga akhirnya menjadi rahasia bersama-sama, malahan di Negara tersebut ada istilah: rahasia perempuan, rahasia bersama-sama”.

Lasminingrat, ia seorang perempuan tetapi ia mempunyai daya kritis yang tinggi terhadap kaumnya. Bukan semata-mata untuk mengolok-olok perempuan, tetapi memberi pandangan bahwa masih banyak perempuan yang mempunyai sifat buruk yang akhirnya stigma negatif pun tak pelak dialamatkan kepada semua perempuan sebagai penggosip. Meskipun sebetulnya dengan menyebut perempuan dengan istilah demikian berarti ada stigma negatif perempuan sebagai penggosip dari masyarakat patriarki yang juga telah terinternalisasi pada dirinya.

Menjadi perempuan yang hidup di abad 19 tidaklah mudah. Lasminingrat yang terlahir sebagai anak hoofd penghulu Raden H.M. Moesa tetap saja mengalami banyak kesulitan. Ibunya harus rela dipoligami, bersanding dengan enam perempuan lainnya. Tentu saja Lasminingrat akrab dengan kehidupan dan cara hidup perempuan di sekelilingnya. Cerita “Sang Radja Putri” menjadi refleksi kehidupan tentang betapa jauhnya rentang keadilan bagi perempuan dan laki-laki saat itu. Pembatasan ruang ekspresi bagi perempuan dan laki-laki disuarakannya berkali-kali.

Apa maksud Lasminingrat memilih menyadur cerita “Sang Radja Poetri jeung Saderekna Doewa Welas” dan “Tjarita Oray Bodas” yang banyak menarasikan tentang perempuan? Mungkin saja secara samar-samar Lasminingrat ingin menanamkan pemahaman kepada setiap  perempuan agar dapat membela dirinya, membela tubuhnya. Lasminingrat juga ingin agar setiap perempuan dapat bersikap adil dan mendukung kaumnya, bukan malah menjatuhkan dengan alasan apapun. Lasminingrat yang kala itu sadar benar bahwa buku-bukunya  menjadi bacaan wajib anak sekolah seolah sengaja menyebarkan kesetaraan dan keadilan bagi setiap manusia, laki-laki dan perempuan sejak dini.  
 
 
Catatan Akhir
[1] Istilah peribahasa dalam bahasa sunda yang artinya segala macam diceritakan tidak bisa menyimpan rahasia, suka terburu-buru menceritakan kepada orang lain, tanpa konfirmasi dulu kebenarannya.

Daftar Pustaka
Historia, “50 Tapak Perempuan Nusantara”,  Majalah Historia, No. 1 Tahun 1, 2012, hh. 45.
Moriyama, Mikihiro. 2013. Semangat Baru, Komunitas Bambu, Jakarta.
Effendie, Deddy, 2011. Raden Ajoe Lasminingrat 1843-1948 Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia, Studio Proklamasi, Garut.
Lasminingrat, R. A., 1887. Warnasari jilid 2 meunang tjalin tina boekoe walanda, Landsdrukkerij, Batavia.
Lasminingrat, R. A., 1875, Tjarita Erman, Landsdrukkerij, Batavia.
Lasminingrat, R.A., 1876, Warnasari atawa Roepa-Roepa Dongeng di salin tina basa walanda kana basa sunda, Landsdrukkerij, Batavia.
hooks, bell, 2000. Feminism is For Everybody, South End, Cambridge.

Perempuan dan Terorisme: Ketidakberdayaan, Relasi Kuasa dan Stigma

17/1/2019

 
​Musdah Mulia
m-mulia@indo.net.id
(
Disampaikan dalam Diskusi dan Bedah Buku Perempuan dan Terorisme pada 14 Januari 2019 di Jakarta)
PictureDok. Pribadi
Buku Perempuan dan Terorisme karya Leebarty Taskarina, awalnya berupa tesis untuk mendapat gelar magister di Jurusan Kriminologi, Universitas Indonesia. Secara garis besar, buku ini memberikan perhatian pada korban yang terlupakan dari kejahatan terorisme, yaitu para perempuan. Argumentasi dalam tulisan ini bertolak dari pandangan bahwa para istri yang dilibatkan dalam kejahatan terorisme ini adalah korban, bukan pelaku. Pelibatan para istri dalam kejahatan terorisme didominasi hubungan sistem patriarki dan hal itu merupakan bentuk viktimisasi. Pada dasarnya, tidak semua bentuk viktimisasi mengakibatkan perlukaan fisik, namun ketidakberdayaan untuk memilih sebagai seorang istri menjadi titik balik bahwa mereka adalah korban.

Keterlibatan perempuan dalam jaringan dan praktik terorisme tidak dipungkiri ikut berkembang seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Kasus Dian Yulia Novi adalah yang pertama terkuak. Dian mengaku mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet yang dilakukan oleh calon suaminya saat itu. Kasus ini mengemuka karena pertama kalinya di Indonesia seorang istri direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri (suicide bomber).

Para teroris melibatkan istri-istri untuk ikut bergerilya di dalam hutan guna melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Tidak hanya itu, fakta yang kemudian terkuak adalah kebutuhan biologis para pemimpin kelompok ini menuntut para istri untuk ikut bergerilya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan barang bukti berupa pil KB dalam pengejaran aparat.

Buku ini juga menjelaskan bahwa istri para teroris mengalami viktimisasi selama perjalanan hidupnya mulai dari proses penangkapan hingga sudah bebas dari jeruji besi. Mereka teralienasi dari keluarga, terkucilkan, rentan dan tidak mampu secara finansial karena tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya akibat pengucilan dan status mantan napi atau bahkan “janda teroris”. Keberpihakan dan perlindungan negara terhadap para istri pelaku kejahatan terorisme sendiri juga terkesan masih tarik ulur.

Buku ini menjadi jendela penting untuk memahami bahwa persoalan terorisme yang melibatkan perempuan melahirkan beragam persoalan sosial lainnya, seperti perkawinan anak, perkawinan sirri, poligami, pengabaian hak dan kesehatan reproduksi perempuan yang kesemuanya itu berujung pada menurunnya kualitas hidup perempuan. Tentu hal itu sangat mengganggu pencapaian target SDG’s pemerintah.

Mengapa para perempuan mau terlibat dalam gerakan terorisme? Pertama, rendahnya tingkat literasi menyebabkan mereka terbelenggu dalam pemahaman yang bias gender. Selain itu, tingkat pemahaman keislaman mereka juga sangat dangkal sehingga mudah menerima doktrin yang keliru terkait konsep ketaatan, jihad, kafir, thagut, khilafah, negara Islam dan seterusnya. Karena itu, upaya literasi kesadaran perempuan perlu digalakkan agar mereka tidak mudah terpengaruh doktrin ideologi patriarki dan interpretasi Islam radikal.

Kedua, interpretasi keagamaan yang eksklusif melahirkan sikap dan perilaku intoleran yang membuat mereka dipenuhi rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang yang berbeda. Diperlukan upaya counter penafsiran sehingga interpretasi agama yang sejuk, humanis dan toleran menjadi dominan di masyarakat. Upaya sosialisasi penafsiran yang inklusif ini perlu dilakukan sejak di Pendidikan Usia Dini (Paud). Sangat penting menolak semua bentuk perilaku intoleran sekecil apa pun. Jangan memandang sepele sikap dan perlakuan intoleran terhadap siapapun.
​
Ketiga, rasa teralienasi dan tersingkirkan dari kelompoknya membuat mereka tidak punya banyak pilihan dalam hidup, sehingga pilihan menjadi teroris merupakan satu-satunya pilihan. Tampaknya perlu mengembangkan budaya-budaya damai dan menghargai sesama, khususnya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama pendidikan dalam keluarga. Terakhir dan sangat penting, negara perlu mendorong agar interpretasi agama dan pandangan ideologi yang inklusif, demokratis dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan menjadi dominan di masyarakat.
 


Seks dan Siber: Bagaimana Feminisme Membahas Teknologi, Siber dan Pemasalahannya

3/12/2018

 
Nadya Karima Melati
(Alumnus Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Indonesia) 
nadyazurakarima@gmail.com
PictureDok. Pribadi
Pemerintah Indonesia di tahun 2018 sedang mendorong adanya automasi dalam berbagai bidang mulai dari industri hingga administrasi. Hal ini mendorong pekerja, baik perempuan dan laki-laki untuk lebih akrab dengan teknologi. Kajian teknologi dan feminisme khususnya menyoal dunia siber di Indonesia masih cukup terbatas. Padahal, gerakan perempuan hari ini banyak memanfaatkan dunia siber yaitu media sosial, seperti Indonesia Feminis atau Jakarta Feminis Discussion Group. Dunia siber memberikan ruang untuk menyebarkan ideologi, tidak sekadar dari esai-esai panjang yang menjemukan tetapi juga melalui gambar meme dan insta-story. Jurnal Perempuan 73 yang diterbitkan tahun 2013 membahas tentang teknologi dan perempuan dengan permasalahan utama, mengapa perempuan terhambat dalam menguasai teknologi.[i] Isu perempuan dan teknologi dibahas kembali pada Jurnal Perempuan 91 Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering dan Matematika) di tahun 2016. Isu tentang perempuan dan teknologi berkutat pada dorongan perempuan untuk menguasai STEM melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan usaha feminisme mendorong perempuan tidak hanya menjadi pengguna tetapi pencipta teknologi.

Perdebatan tentang feminisme dan teknologi dibahas oleh Judy Wajcman dalam bukunya Feminism Conforts Technology (1991). Wacjman membahas bagaimana teknologi  menjadi tergenderkan. Pelacakan sejak kapan teknologi tergenderkan harus dilakukan supaya kita bisa memahami mengapa perempuan diasumsikan berjarak dengan teknologi. Selain itu sebagai bahasan teknologi, dunia siber membuka ruang dalam manusia-manusia memahamai posisi dan identitas dalam lautan informasi yang luas. Hal ini memunculkannya ramainya diskursus terkait identitas politik di dunia siber. Tulisan ini membahas bagaimana teknologi khususnya siber diperbincangkan dalam pusaran feminisme di Indonesia. Tulisan ini berusaha mengisi kekosongan antara kajian humaniora tentang teknologi dan isu-isu feminisme di dunia siber. Isu-isu seperti identitas politik dan kekerasan seksual masih menjadi bahasan yang tidak lekang dalam perdebatan feminisme di Indonesia. Namun, sebelum menuju permasalahan feminisme dalam dunia siber ada baiknya kita membongkar definisi teknologi melalui paradigma feminis dan di mana ada tempat bagi identitas non-biner dalam teknologi.

Feminisme Membongkar Teknologi
Sejak kapan teknologi bersifat maskulin dan mengapa perempuan berjarak dalam teknologi? Dalam Jurnal Perempuan 91 Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering dan Matematika) sebuah tulisan dari Perdana Putri Roswaldy berjudul “Pencarian Teknologi Feminis”[ii] memberikan perspektif lain untuk membongkar tentang bagaimana teknologi selama ini dipersepsikan. Dengan menggunakan pendekatan feminisme sosialis/Marxist dan epistemologi feminis, Perdana Putri menjelaskan bahwa sepanjang sejarah perempuan memang dipinggirkan dalam proses pembuatan teknologi dan pembagian kerja berdasarkan seks dan gender semakin memperlebar jurang akses perempuan terhadap teknologi. 

Dengan apik tulisan ini melacak sejak kapan dan mengapa teknologi tergenderkan, Perdana Putri menggunakan epistemologi feminis untuk mendekonstruksi teknologi dan mengkritik kajian-kajian teknologi dan feminisme yang mengesensialisasikan perempuan dan keperempuanan dengan tidak memberikan ruang bagi non-biner untuk dibahas. Epistemologi feminis juga digunakan untuk membongkar segregasi seksual/gender di dalam ilmu pengetahuan yang telah menyebabkan kekacauan serius dengan membuat hierarki teknologi rendah dan tinggi. Teknologi tinggi misalnya kapal terbang dan penemuan logam baru sedangkan aktivitas dengan teknologi seperti holtikultura dan menenun dianggap sebagai teknologi rendah atau tidak dianggap sebagai teknologi sama sekali.[iii] Karakter feminin dan maskulin dikonkretkan dengan ketubuhan sehingga tercipta stereotipe laki-laki sebagai pembuat teknologi disandingkan perempuan sebagai pengguna. Diskursus ini muncul terus-menerus dalam pembahasan soal teknologi dan feminisme dan menyesakinya. Alih-alih mendekonstruksi perempuan dan keperempuanan, stereotipe ini menjebak diskursus feminisme dan teknologi kembali pada esensialisme perempuan dan tidak memberikan ruang bagi gender lainnya berada dalam diskursus ini.

Tulisan Perdana Putri juga menantang cara pandang kita terhadap relasi feminin dan maskulin dalam teknologi dan keseluruhan peran gender. Karena ternyata feminisme telah membuka jalan untuk kita meredefinisikan teknologi dan membahas bagaimana kita mau menyuarakan gender lain yang juga menjadi korban dari patriarki. Donna Haraway dalam esainya “Cyborg Manifesto” telah membuka jalan untuk meninggalkan esensialisme dan binaritas gender melalui metafora Cyborg. Cyborg adalah alat untuk mendekonstruksi hierarki dan dominasi dalam dunia yang bias. Haraway membawa jauh perdebatan feminisme ke dalam kajian poshumanis dimana batasan-batasan antara manusia-binatang-teknologi sudah tidak ada lagi, termasuk seks dan gender di dalamnya. Hari ini sudah banyak gerakan sosial untuk melindungi hewan dan bagaimana setiap manusia adalah cyborg dengan pengunaan teknologi seperti kacamata membaca hingga gawai dengan GPS telah melampaui tubuh material.

Pandangan poshumanis tidak lepas dari kritik, cyborg yang telah melampaui batasan-batasan seks, gender dan bahkan ras dan geografis dianggap utopis namun diskursus ini memberikan cara baru untuk memandang dan memahami teknologi. Sebab Feminisme harus mencurigai secara dalam awal mula munculnya teknologi, dan menyusunnya kembali supaya membawa perubahan yang berarti dan itu berarti tidak sekadar mendorong perempuan secara kuantitatif untuk masuk ke dalam bahasan teknologi tetapi melakukan revolusi menyeluruh mulai dari mendekonstruksi pemahaman soal teknologi, merebut dominasi dan menggunakan teknologi secara tepat, etis dan inklusif. alam bahasan feminisme hari ini kita menyadari bahwa ternyata gender nonmaskulin yang juga menjadi korban patriarki masih belum diangkat dalam pembahasan teknologi yang tergenderkan.

Penguasaan Teknologi dan Revolusi Industri
Kita sudah memulai diskusi soal cyborg bahwa dalam sebuah ruang imaterial cyborg adalah mahluk yang tidak memiliki asal dan juga akhir. "in the utopian tradition of imagining a world without gender, which is perhaps a world without genesis, but maybe also a world without end"[iv]. Esai Donna Haraway ini menolak pandangan esensialis terhadap perempuan dan laki-laki. Haraway menolak dianggap sebagai dewi dan mengidentifikasi dirinya sebagai cyborg yang lebih egaliter karena evolusi telah mengaburkan batas-batas antara binatang, manusia dan teknologi begitu juga dengan seks dan gender. Kajian sejarah total (total history) mengamini pendapat ini, dalam seri buku Sapiens dan Homo Deus karya Yuval Noah Harari memperlihatkan jalan sejarah manusia, homo sapiens yang semakin kabur dan ada potensi untuk menjadi kode-kode yang bisa jadi hidup abadi atau mati digantikan oleh spesies lain.[v]  

Kembali pada hari ini, teknologi begitu luas dan kita perlu mempersempit ruang untuk melacak muasal dan ke arah mana teknologi dikembangkan. Supaya kita bisa melihat posisi dari masalah teknologi dan gender lebih kontekstual. Sebuah esai dari Hizkia Yosie Polimpung berjudul “Teknopolitika dan Kemudahan Hidup” yang diterbitkan Indoprogress.com melacak melalui posisi pekerja sebagai pengguna teknologi dan bagaimana teknologi dikembangkan khususnya di Indonesia. Yosie membagi tiga sektor perkembangan teknologi yang terjadi berdasarkan motivasinya. Pertama adalah perkembangan teknologi militer yang bertujuan untuk menghancurkan musuh dan menyakiti tubuh manusia. Kedua adalah industri yang mengekstraksi kerja manusia dengan motivasi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan yang ketiga adalah sektor domestik yang bertujuan untuk melindungi tubuh dan membebaskan tubuh dari kerja. Yosie tidak berusaha membuat teknologi bergender karena memang tidak perlu. Namun yang harus ditekankan adalah pada sektor mana teknologi dikembangkan di Indonesia dan Yosie menyimpulkan pada sektor militer dan  industri.

Indonesia dengan populasi penduduk keempat terbanyak di dunia merasa terancam dengan kehadiran mesin-mesin yang menggantikan manusia sebagai tenaga kerja. Untuk itu, banyak pekerja didorong untuk menguasai “teknologi” supaya tidak tertinggal zaman melalui serangkaian pelatihan yang justru tidak mempermudah hidup. Revolusi Industri 4.0 yang digadang oleh pemerintah[vi] menurut Yoshie adalah bagian dari revolusi industriyang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Revolusi industri pertama ditandai oleh teknologi mesin uap, kedua dengan elektrifikasi, ketiga dengan komputerisasi dan informasionalisasi proses-proses produksi, bisnis dan manajerial dan revolusi keempat adalah internetisasi dan otomasi dengan AI (artificial intelegence).

Dari sini kita mulai bisa melihat benang merah mengapa perempuan di Indonesia dianggap tertinggal dalam penguasaan teknologi? Karena teknologi yang berkembang terbatas dalam sektor industri dan perjumpaan kita pada teknologi automasi dan informasi berbatas pada dunia kerja. Pekerjaan khususnya dunia industri didominasi oleh laki-laki sehingga permasalahan penguasaan teknologi bukan disebabkan oleh identitas gender tertentu melainkan pada akses kerja. Sehingga yang memiliki penguasaan teknologi terbatas tidak hanya perempuan tetapi juga waria, kelompok disabilitas, penduduk desa yang jauh dari kota yang sulit mendapatkan pekerjaan formal dan tidak berkenalan dengan mesin-mesin produksi.

Dunia Siber dan Permasalahan Tubuh Material
Selain berkembang secara terbatas di sektor industri, ada pula dunia imaterial yang jarang dibahas dalam interaksi manusia-manusia cyborg. Dunia siber tidak lagi menjadi asing bagi kehidupan kita sebagai cyborg. Media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram adalah perpanjangan ruang interaksi material dengan teman-teman di dunia material dan sarana pertemuan dengan cyborg-cyborg lain yang memiliki kesukaan yang sama. Sebagai cyborg kita juga hidup dalam dunia material dengan berbagai batas identitas, geografis, hukum, genital dan peran gender yang diatur oleh administrasi negara. Sedangkan di dunia imaterial kita punya pilihan untuk membawa serta identitas yang lama atau muncul dengan identitas yang sama sekali baru. Dunia siber yang imaterial menyediakan anonimitas dan memungkinkan kita untuk memilih identitas, preferensi dan lokasi geografis yang bisa sama sekali berbeda dengan dunia material yang tidak bisa dipilih. Namun sayangnya pilihan tersebut semu dan utopis karena banyak permasalahan-permasalahan dunia material belum selesai yang justru memanjang ke dunia maya.

Tidak semua dari kita menyadari bahwa cyborg  mampu memainkan identitas yang tanpa awal dan akhir di dunia imaterial. Kemewahan anonimitas dan kesetaraan menjadi semu ketika kita menarik relasi antara dunia siber dengan dunia material. Dalam penggunaannya teknologi dan dunia siber sebagai perpanjangan dari dunia material ternyata membawa serta masalah-masalah yang tidak selesai, salah satunya adalah politik identitas. Di sini kita kembali mundur untuk melihat perempuan sebagai identitas gender dan peran keperempuanan disegel melalui vagina dan ditempatkan dalam hierarki yang rendah. Patriarki hadir sebagai sebuah sistem yang menggurita dan membelit banyak sektor: ekonomi, politik, sosial dan lainnya. Keperempuan dan tubuh perempuan belum beranjak dari posisi sekunder dan kerentanannya memanjang ke dunia imaterial.

Politik identitas yang masih menjadi masalah dalam dunia siber juga bisa dilihat dari bagaimana politikus hari ini menggoreng isu-isu yang juga masih sekitar politik identitas sebagai senjata untuk berkuasa di dunia material. Masing-masing kandidat calon presiden 2019 memiliki pasukan siber untuk membombandir wacana dan lini masa sosial media. Bebagai acara televisi didasari oleh isu-isu atau konten yang viral di sosial media. Jembatan antara dunia material dan imaterial adalah memang masalah politik identitas dan kekuasaan di dunia material yang belum selesai.

Permasalahan Siber dan Identitas
Perkembangan teknologi digital 4.0 yang hanya sebatas keperluan industri, menyebabkan undang-undang yang mengatur interaksi kita terbatas pada pengaturan hukum-rugi transaksi elektronik. Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE banyak membahas tentang interaksi yang terbatas pada transaksi elektornik atau pencegahan pornografi dalam ketentuan pidananya. UU ITE tidak melindungi individu-individu. UU ITE dibuat untuk melindungi bisnis dan transaksi elektronik yang menekankan perlindungan kepada pelaku industri. Oleh sebab itu UU ITE dibuat untuk mengakomodasi  bisnis e-commerce di Indonesia karena sekali lagi, teknologi yang dikembangkan di Indonesia adalah sektor Industri sehingga Undang-undang yang mengatur teknologi dan informasi sebatas kepentingan industri.

Kita bisa melihat dengan sengaja permasalahan seperti perlindungan identitas atau data pribadi pengguna bukan menjadi bahasan. Dunia siber tidak mengenal ruang privat dan publik. Penyedia jasa media sosial mengumpulkan sebanyak-banyaknya data pribadi para pengguna supaya bisa dijadikan informasi yang dapat dijual kembali kepada pengiklan. Facebook tidak meminta uang dari kita tetapi meminta waktu kita dihabiskan sebanyak mungkin di dalamnya, kita adalah pekerja imaterial yang memberikan waktu kita secara cuma-cuma untuk kemudian diolah dan dijual kembali sebagai keuntungan bagi Facebook. Permasalahan antar individu juga muncul dalam interaksi digital dan biasanya menyasar pada identitas rentan yang tidak selesai dalam dunia material. Misalnya bagaimana tubuh perempuan dimutilasi dan menjadi objek seks sudah terjadi pada dunia material dan ini belum selesai. Permasalahan seksualisasi tubuh perempuan sebagai objek seks memanjang ke dunia siber sebagai pornografi.

Riska Carolina peneliti dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) merangkum berbagai permasalahan dunia siber yang menyangkut identitas seks dan gender di dunia nyata. Setidaknya ada 11 jenis kekerasan siber yang menyerang seksualitas yang saling memengaruhi, baik di dunia material dan siber, dan sulit untuk mendapatkan perlindungan dari masyarakat maupun negara yakni:
  1. Doxing, perilaku mengambil data pribadi sesorang tanpa izin kemudian mempublikasikan tanpa seizin pemilik data tersebut. Contohnya seseorang mengambil konten pribadi berupa foto atau video seseorang yang diambil dari akun media sosial dan digunakan tanpa persetujuan pemilik konten. Selain melalui downloadtidak jarang juga dilakukan dengan proses hacking.
  2. Defamation, upaya pencemaran nama baik yang dilakukan beramai-ramai secara terorganisir dengan tujuan untuk membanjiri sosial media seseorang/laman suatu organisasi dengan ulasan buruk sampai dengan niatan fitnah dan kabar bohong (hoax). Upaya pencemaran nama baik ini bisa menyerang siapa saja dan biasanya tokoh dengan pengaruh tertentu dengan tujuan merendahkan.
  3. Flaming, apabila defamation dilakukan keroyokan secara publik. Flaming menyerang melaluia personal message atau DM. Isinya tidak jauh-jauh dari ancaman, hinaan, cercaan, pelecehan, video porno, kalimat tak senonoh, *gif porno. Flaming paling sering dialami perempuan. Contoh: tanpa persetujuan perempuan, seorang lelaki mengirimkan foto genitalnya secara personal kepada perempuan dengan tujuan ingin mengajak berhubungan seksual.
  4. Hate Speech, hate speech bisa dilakukan oleh individu atau kelompok yang menyasar identitas diri seseorang, yang bercirikan hasutan untuk kekerasan. Contohnya: “Dia itu kaum A, pantas dibinasakan”. Hal ini biasanya terjadi pada kelompok minoritas seksual atau seseorang yang dituduh sebagai bagian dari minoritas gender dan seksual.
  5. Impersonating, adalah pemalsuan akun. Pemalsuan akun ini mengatasnamakan seseorang yang dilakukan dengan tujuan pencemaran nama baik ataupun sering dilakukan oleh fans yang obsesif.
  6. Deadnaming, adalah perilaku melecehkan nama yang dipilih oleh minoritas gender dan mempublikasikan nama lahir mereka dengan tujuan untuk menghina, mencemarkan, hingga ajakan melakukan kekerasan kepada mereka.
  7. Out-ing, perilaku yang dilakukan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan dan bertujuan untuk mempermalukan seseorang tersebut berdasarkan identitas gender dan seksual orientasi mereka yang berbeda.
  8. Online Shaming, yang bentuknya bisa berupa gambar (dibuat meme) atau caption dengan tingkatan konten mulai dari olok-olok, hinaan, pencemaran, kabar bohong (hoax), hingga sayembara untuk mengajak melakukan kekerasan terhadap sesorang.
  9. Honey Trapping, aplikasi dan situs web kencan sering disalahgunakan menjadi tindakan kekerasan yang disebut Honey Trapping. Ketika sudah berjanji untuk kencan tatap muka langsung dan bertemu offline, ketika bertemu muka yang terjadi malah kekerasan fisik dan sering kali disertai ancaman dan pemerasan.
  10. Revenge Porn, kasus ini adalah yang paling sering dialami remaja dan dewasa muda perempuan. Contohnya: ketika mantan kekasih diputuskan cintanya kemudian tidak terima dan menyebarkan konten seksual berupa gambar telanjang, video seks dan sebagainya sebagai ancaman agar korban kembali kepada dirinya. Apabila korban menolak, maka konten tersebut disebarkan ke media sosial dan internet yang lebih luas.
  11. Morphing, adalah mengedit foto menjadi bernuansa seksual dan bertujuan untuk mengolok-olok perempuan atau seseorang. Edit foto ini bertujuan untuk mempermalukan atau membuat sebuah imaji tertentu yang bersifat seksual dan merugikan seseorang.
Simpulan
Sebagaimana diungkapkan Perdana Putri dalam artikelnya, feminisme punya modal besar untuk merebut dominasi patriarki atas teknologi melalui dekonstruksi dan penggunaan teknologi untuk tujuan yang baik, menguntungkan dan bertujuan untuk kesetaraan perempuan dan gender lain yang terdampak oleh patriarki termasuk LGBTIQ.Perkembangan teknologi digital di Indonesia sangat industri sentris dan perlindungan negara terkait interaksi di dunia siber juga berbatas pada kebutuhan industri.Permasalahan-permasalahan seperti politik identitas yang belum selesai di dunia material meluas ke dunia siber dan saling mempengaruhi. Dengan membaca dan melacak kehadiran teknologi kita bisa melihat ke mana arah pengembangan teknologi, melakukan koreksi dan perebutan kembali. Hingga saat ini baik di dunia material dan siber tidak ada perlindungan bagi perempuan dan gender non-maskulin lainnya supaya identitasnya tidak dipolitisasi.  Permasalahan siber dan dunia material bertalian karena masalah-masalah yang belum selesai menyangkut seks dan gender memanjang ke dunia siber dan saling memengaruhi baik secara individu maupun kelompok. Masalah-masalah seperti ujaran kebencian, pornografi tanpa konsensus atau pemalsuan identitas belum diatur dalam regulasi secara tepat dan hal ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua.

Daftar Pustaka:
Harari, Yuval Noah. (2014). Sapiens: A Brief History of Humankind. Amazon e-book Kindle Edition.
Harari, Yuval Noah. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Amazon e-book Kindle Edition.
Wajcman, Judy. (1991). Feminism Confrots Technology. Pensylvania State University Press, United States of America.
Haraway, Donna Jeanne. (1985). A Cyborg Manifesto: Science Technology and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century. Socialist Review, Routledge, Newyork, 159 – 181.
Roswaldy, Perdana Putri. (2016). Pencarian Teknologi Feminis: Tantangan Feminisme Abad XXI. Jurnal Perempuan 91, 59 – 75.
RG. (2013). Catatan Jurnal Perempuan: Transvaluasi. Jurnal Perempuan 78, 4 – 5.
Polimpung, Hizkia Yosie. (2018). Teknopolitika Kemudahan Hidup dari https://indoprogress.com/2018/06/teknopolitika-kemudahan-hidup/.
Polimpung, Hizkia Yosie. (2018). Agenda Otomasi dari https://indoprogress.com/2018/03/agenda-otomasi/
SGRC. (2018). Jenis-jenis Kekerasan Seksual Siber oleh SGRC dari https://sgrcui.wordpress.com/2018/06/11/jenis-jenis-kekerasan-seksual-siber-oleh-sgrc/.
Bappenas. (n.d). Kebijakan Pembangunan iptek untuk Kemajuan Bangsa Pentingnya iptek dan inovasi dari https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/kebijakan-pembangunan-iptek-untuk-kemajuan-bangsa-pentingnya-sistem-nasional-iptek-dan-inovasi/.

Catatan Akhir:
[i] Catatan Jurnal Perempuan ditulis oleh RG berjudul “Transvaluasi” dalam Jurnal Perempuan no 73: Gender dan Teknologi Vol 18 No.3 tahun 2013.
[ii] Roswaldy, Perdana Putri. Hal 59 - 75. “Pencarian Teknologi Feminis: Tantangan Feminisme abad XXI” dalam Jurnal Perempuan 91, Vol 21 No 4, tahun 2016.
[iii] Opcit hal 63.
[iv]  Haraway, Donna Jeanne, “A Cyborg Manifesto: Science Technology and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century”. Socialist Review, Routledge: Newyork, Pdf hal 7.
[v] Pembacaan penulis terhadap dua buku Yuval Noah Harari berjudul Sapiens: The Brief Human History (2014) dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015), Amazon e-book.
[vi]https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/kebijakan-pembangunan-iptek-untuk-kemajuan-bangsa-pentingnya-sistem-nasional-iptek-dan-inovasi/.


<<Previous
Forward>>

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com