
TKI perempuan dianggap sebagai bisnis yang menjanjikan, bahkan tak jarang perdagangan manusia (trafficking in person) terjadi karena akibat dari keserakahan orang-orang tertentu. Pada laporan Jurnal Perempuan (2011) menunjukkan banyak fakta dan data bahwa TKI belum sepenuhnya dilindungi; adanya sindikat pemerasan TKI di bandara, pembiaran oleh aparat (petugas), bahkan kurangnya pengetahuan aparat mengenai korelasi proses migrasi dan tindak pidana trafficking[2].
Buruh migran perempuan di Hong Kong bekerja dari senin sampai sabtu, hari minggu dan hari libur mereka libur dan rekreasi di berbagai tempat. Pada hari minggu siang (minggu ke-tiga bulan Juli) saya berkunjung ke daerah Central, secara tidak sengaja saya melihat aktivitas buruh migran yang ada di sana. Ribuan orang berkumpul di satu titik untuk bercengkerama sesama buruh migran. Mereka menempati seluruh trotoar jalan dan jembatan penyebrangan, mereka berjualan dan berbelanja. Banyak pula diantaranya yang menikmati pinggir sungai, bersantai dan berekreasi.
Sekilas, kehidupan mereka sama seperti orang-orang yang ada di kota-kota besar di Indonesia. Bekerja di hari kerja, dan berlibur atau bersantai di akhir pekan/weekend. Hanya saja pola berkumpul mereka yang unik. Saat weekend tiba seisi kota dipenuhi oleh buruh migran, baik yang berasal dari Filipina, Vietnam, Indonesia maupun dari negara lainnya. Selain rekreasi banyak diantara mereka yang berjualan makanan dan minuman kepada sesama buruh migran, bisa jadi untuk menambah penghasilan. Melihat aktivitas mereka rasanya tidak ada masalah sama sekali, dalam kata lain mereka sudah seperti “feel like home” di Hong Kong. Saya sempat berpikir; “enak ya kerja di Hong Kong, gaji besar, rekreasi bisa sepuasnya”.
Apa yang saya pikirkan sepenuhnya adalah salah, ketika saya berjumpa dengan serombongan TKI perempuan di Bandara Hong Kong. Awal mulanya saya bertemu seorang perempuan bernama Ibu S, buruh migran yang sedang cuti dan hendak pulang ke Madiun. Ia kebingungan mencari gate terminal, hingga akhirnya kami berkenalan dan beliau mengikuti saya, kebetulan kami di penerbangan yang sama menuju Singapura. Tidak berselang lama, ada 4 orang perempuan yang datang menghampiri saya dan Ibu S. Ternyata mereka adalah teman-teman Ibu S yang juga pulang ke tanah air, hanya pesawat mereka transit di Malaysia. Dua orang diantara mereka dipulangkan karena bermasalah, dua orang lagi pulang untuk cuti kerja.
Kak M, umurnya masih 26 tahun, lulusan dari Universitas Negeri di Yogyakarta dan ia berasal dari Nusa Tenggara Timur. Kak M baru 8 bulan bekerja di Hong Kong, hingga ia memutuskan untuk berhenti dan pulang ke tanah kelahirannya. Kak M dengan air mata tertahan menceritakan beberapa kekerasan yang menimpanya, Ibu yang ia asuh kerap kali memukul, menampar dan menendangnya. “Delapan bulan ini aku berusaha sabar, hingga aku putuskan tak mampu lagi”, ujarnya.
Kak M juga menunjukkan luka lebam bekas pukulan majikannya yang baru-baru terjadi. Ketika saya tanya kenapa tidak melapor ke polisi? Ia hanya menjawab; “saya tidak ingin keluar dari Hong Kong dengan masalah, makanya saya notice ke agen sudah dua kali ini, jadi saya minta pulang walau kata agen kontrak minimal satu tahun, ndak apa-apa aku bayar aja”, katanya. Alih-alih mendapatkan uang, justru Kak M membayar ke agen karena perjanjian kerja mensyaratkan minimal satu tahun kerja, sementara pada bulan ke-delapan Kak M sudah minta dipulangkan. Dia merasa trauma karena perlakuan yang tidak baik dari majikannya, siapa yang peduli? “Kakak bilang keluarga, pulang aja jadi guru di kampung lah, di kampung kakak kan ada PAUD”, ucapnya kepada saya.
Lalu, Dik K, perempuan yang saya kira umurnya 15 tahun, sebab perawakannya masih seperti anak-anak (tapi saya tidak menanyakan umurnya). Dia berasal dari Jawa Tengah, kepulangannya karena majikannya tidak baik, bahkan gajinya satu bulan terakhir tidak di bayar. Dik K tidak terlalu banyak ngomong, saat cerita kepada Ibu S mereka berbahasa jawa, saya tidak mengerti. Sementara itu, dua orang lainnya saya tidak mengerti percakapan mereka yang berbahasa jawa.
Sementara Ibu S sendiri mendapatkan majikan yang sangat baik. Menurut pengakuan Ibu S, majikannya perhatian terhadap kesehatannya, dan juga suka mengajak Ibu S rekreasi bersama. Ibu S sudah menjadi TKI di luar negeri saat berumur 16 tahun, ia pertama kali jadi TKI bekerja di Singapura. Selain itu, lebih 10 tahun Ibu S bekerja di Arab Saudi dan saat ini sudah memasuki tahun ke-4 bekerja di Hong Kong. Ibu S mengatakan bahwa biasanya konflik itu terjadi antar buruh migran (sesama warga negara Indonesia) itu yang sulit dihindari. Dibalik senyum ada pula duka yang dialami oleh beberapa buruh migran di Hong Kong, tidak semua orang bernasib beruntung, terlebih mencari untung di negeri orang. Bahkan tak jarang banyak TKI perempuan yang terjerat pidana, dihukum ringan hingga berat; hukuman mati.
Catatan Belakang:
[1] http://www.bps.go.id/LinkTabelStatis/view/id/1808 (diakses tanggal 2 September 2017).
[2] Kasuma, I., dkk. (2011). Sambutlah Kepulangan Kami: Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal Khusus TKI. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.