Endang Kusniati (Mahasiswi Islam dan Kajian Gender (IKG), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) [email protected] Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang, dengan perkembangannya itu pula banyak isu-isu atau kasus yang menarik perhatian banyak kalangan, seperti halnya para tokoh agama, politik, masyarakat, akademisi, dan lain sebagainya. Hal ini ada kaitannya dengan keadaan nyata yang ada di Indonesia, sebut saja salah satunya adalah isu tentang UU Pornografi (UUP) yang menjadi salah satu isu nasional. Undang-undang Pornografi ini menuai kontroversi, karena sebenarnya bukan mengatur hukum industri pornografi, tetapi mengatur tubuh seseorang—yang kemudian banyak disuguhkan di media massa berbau dengan komodifikasi politik pada tubuh perempuan yang menjadi salah satu pusat perhatian khalayak luas. Komodifikasi tubuh yang diekspos di media, hal ini memang masih tidak terlihat secara terang dan jelas jika didalamnya mengandung unsur pornografi yang berada di dalam dunia industri pasar, karena sudah membaur dan sudah menjadi konsumsi masyarakat dalam kesehariannya, sehingga ia tidak sadar akan hal tersebut. Berbeda dengan trafficking yang sudah jelas terlihat pelanggarannya dan bukti langsung transaksinya. Terkait dengan isu UUP yang karena memang hanya dijadikan topeng belaka. Perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral dan pendapat yang menempatkan seksualitas, erotika dan pornografi dalam tataran seni tidak pernah habis dibahas. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang baru namun karena sifatnya yang timbul lalu tenggelam dan timbul kembali, maka tema perbincangan ini seolah tidak pernah berakhir, seperti halnya kisah yang terus berkelanjutan. Hal ini sangatlah bergantung pada fokus dan lokus dimana unsur erotika, seksualitas dan pornografi itu muncul dalam tampilan yang beragam mulai dari iklan sabun yang seronok, video clip artis yang terlalu vulgar, beredarnya VCD porno mahasiswa atau siswa SMU, pelajar, pameran foto-foto nudis beberapa artis sampai aksi panggung artis dangdut yang dipandang terlalu mengeksploitasi unsur sensualitas tubuhnya. Hasil kajian tim PSW Institut Agama Islam Negeri Mataram, kaitannya pornografi dalam media dan perlakuannya di dunia industri, seolah menjadi ladang penghasil pundi-pundi kemewahan. Sehingga tubuh perempuan tidak berdaya, walaupun dalam pandangan feminis liberal perempuan memiliki hak akan tubuhnya dalam mengekspresikan dirinya. Dalam sebuah tabloid misalnya, tubuh perempuan sering kali menjadi bahasan yang menarik. Karena jika di dalam media seperti tabloid, majalah, koran hingga pada media elektronik, yang dimuat dengan gambar atau tampilan tubuh perempuan yang menarik, cantik, seksi serta berbau pornografi memang laris di dunia hiburan, sehingga dunia perindustrian akan terus langgeng jika keadaan seperti ini yang terjadi, dan bisa pastinya banyak perusahaan bisa meraup keuntungan langsung dari penjual per eksemplarnya. Walaupun menurut kacamata feminis liberal dalam konteks gerakan feminis, wacana pornografi seolah menjadi titik pembelah antara kelompok liberal yang menganggap bahwa pornografi merupakan hak perempuan untuk mengekspresikan diri secara bebas. Sedangkan berbeda dengan kelompok radikal yang menganggap pornografi sebagai bentuk dehumanisasi. Lalu bagaimana feminis radikal dalam memandang pornografi tersebut bandingannya dengan cara pandang feminis liberal terhadap pornografi? Dalam tulisan ini memang secara langsung memiliki tujuan tersendiri, yaitu untuk mengetahui cara pandang feminis radikal terhadap modifikasi tubuh perempuan dalam media massa yang berlanjut pada jaringan akses pornografi dengan menampilkan bentuk lekuk tubuh perempuan yang dirasa mampu menjadi salah satu icon penting atau pusat perhatian. Kemudian memberikan cara pandang kepada perempuan agar tidak begitu mengeksplor dirinya terlalu vulgar, walaupun hal itu adalah hak privat individu, tapi secara tidak sadar tubuh perempuan telah dijadikan objek yang tersubordinat. Cara pandang yang dimiliki perempuan tentang hal demikian memang harus diubah. Selain itu juga, melalui tulisan ini secara langsung untuk memberitahukan kepada seluruh kalangan masyarakat, bahwa ternyata industri pornografi itu mengandung unsur seksualitas yang tidak disadari oleh mereka, perempuan hanya dijadikan objek, laki-laki lebih dominan, padahal semestinya tidak demikian, yang diinginkan adalah perempuan dan laki-laki bisa bekerjasama satu sama lain, tanpa memandang perempuan itu inferior dan laki-laki superior. Pornografi sebenarnya bukanlah hal yang asing lagi dikalangan akademisi, aktivis bahkan sampai pada kalangan masyarakat. Pornografi dapat diartikan sebagai penggambaran tegas perendahan perempuan secara seksual melalui gambar dan atau perkataan, termasuk di dalamnya perempuan yang didehumanisasi serta diobjekkan, sebagai seseorang sedang menikmati kesakitan, perendahan martabat, maupun perkosaan dalam konteks yang membuat kondisi-kondisi ini menjadi seksual. Kita tahu betapa pornografi sudah menjamur saat ini di Indonesia. seolah tak ada lagi ruang-ruang kebajikan bagi para pejuang. Pornografi menjadi salah satu isu yang terus berkembang di negara ini, sehingga hal tersebut menjadi salah satu hal yang menarik untuk menjadi bahan kajian dengan kegelisahan-kegelisahan penulis terkait dengan komodifikasi tubuh perempuan dalam media. Menurut R. Ogien dalam (Haryatmoko, 2007: 93), pornografi dapat diartikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik. Sedangkan Industri, merupakan sebuah kegiatan atau usaha yang dikelola guna mendapatkan keuntungan dan nilai guna. Perlu diketahui juga, hasil dalam sebuah industri juga bukan hanya pada komoditi barang namun juga pada jasa. Kaitannya perempuan, media, dan pornografi dalam pandangan Thelma McCormack, ialah bahwa banyak studi yang sangat bias dan berfokus pada perspektif laki-laki yakni dalam fungsinya bagi konsumen laki-laki. Menurutnya pornografi dipandang sebagai ketidaksetaraan seksual dimana perempuan hanya dijadikan sebagai obyek untuk menumbuhkan keinginan seksual laki-laki (Zoonen Van, 1994:18). Menurut hemat penulis, ternyata teori ini dekat sekali dengan kedaan realitas yang terjadi saat ini, perempuan memang dijadikan objek utama, walaupun sekarang laki-laki, anak-anak juga sudah mulai ada yang dijadikan sebagia salah satu sasaran atau objek pornografi. Pornografi sebagai representasi proses dehumanisasi perempuan yang diposisikan sebagai obyek, benda, dan komoditi seksual. Penghinaan, kekerasan, dan pelecehan sering hadir dalam skenario-skenario yang merusak seperti perbudakan, pelukaan, perkosaan, dan sebagainya. Pornografi dilihat sebagai salah satu bentuk eksploitasi dan penindasan terhadap perempuan dalam sistem global kapitalis yang bernama the second sex. Pornografi bukan sesuatu yang netral tetapi sarat dengan kepentingan ideologi dominasi. Metode kesenangan di bawah kekuasaan patriarki, dimana perempuan hanya dijadikan manusia kedua dalam segala hal, termasuk dalam konteks seksualitas. Namun, dalam kacamata pendekatan progresif maka apapun itu, baik seksualitas sekalipun semuanya sama-sama memiliki peran, kesempatan dan keputusan yang sama. Perempuan pun berhak menolak jika memang dirinya tidak menghendaki. Dalam hal metode kesenangan patriarki perempuan hanya dijadikan sebagai objek oleh laki-laki. Padahal jika demikian jelas bahwa budaya patriarki berperan dan berpengaruh sekali. Patriarki erat juga kaitannya dengan kuasa akan tubuh perempuan. Tubuh-tubuh perempuan memang sepantasnya untuk dipatuhkan agar tidak melampaui batas otoritas laki-laki terhadap kekuasaannya, itu jika dalam sistem partriarki. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Walby terkait dengan budaya patriarki diranah privat dan publik. Perempuan identik senang, bahagia dan bangga ketika ia sudah terkenal melalui media massa elektronik maupun cetak, yang dirasa tidak sadar oleh dirinya bahwa itu adalah bentuk dari pada kepatuhan tubuh melalui media dengan skandal dasar kuasa pada setiap tubuh perempuan yang mengandung unsur pornografi. Walaupun perempuan berada diranah publik tapi disana tetap ada perpanjangan atau keikutsertaan kuasa laki-laki didalamnya. Karena keterlibatan budaya petriarki bukan hanya pada ranah privat namun juga pada ranah publik, seperti apa yang dikemukakan oleh Walby.
Disiplin otoritas adalah untuk membentuk suatu tubuh yang patuh dan dapat ditundukkan, dimanfaatkan, ditrasnformasikan, diperbaiki, dan dapat ditingkatkan gunanya. Tubuh yang patuh ini juga merupakan tubuh yang produktif. Maksudnya ialah agar tubuh yang terkontrol tetap mampu mengekspresikan dirinya tanpa harus dikekang atau dilarang, bentuk pengawasan yang dimaksudkan Foucault adalah pengawasan yang menguasai juga memberikan rasa perlindungan pada setiap warga, masyarakat, dan tubuh-tubuh perempuan. Sesuai dengan teori kuasa akan tubuh (seksualitas) atau biopolitik oleh Foucault sebagaimana disebutkan, bahwa kekuasaan membentang atas suatu jumlah yang besar, sejumlah sesuatu yang besar seperti individu yang bergerak, bergerak dari satu titik ke titik yang lain, ia adalah kekuasaan yang memberi dan mengorbankan sebuah kekuasaan individualistik (Carrette, 2011:176). Penulis berusaha mengandaikan dalam sebuah analogi misalnya, ada seorang gembala kambing yang baik tentu saja ia harus memastikan keselamatan kawanan hewan ternak yang ia gembala. Walaupun sang penggembala adalah orang yang memiliki kekuasaan penuh akan hak kepemilikan hewan tersebut. Penggembala yang baik ia memang mengawasi, mengatur secara khusus satu per satu, tapi ini bukanlah kekuasaan global yang harus mengekang bagaimana hewan itu makan, beradaptasi dengan lingkungan, dan jenis hewan lainnya. Tapi mengawasinya demi menjaga keselamatan hewan tersebut. Begitupun dengan Raja atau kepada derah, walikota dan lain sebagainya, haruslah menganggap setiap warga masyarakat, baik laki-laki ataupun perempuan dalam satu tubuh yang sama, maksudnya perempuan dan laki-laki memiliki hak dan juga peran yang sama untuk dilindungi dan mampu mengaktualisasikan dirinya tanpa harus dikekang atau dikuasaai secara menyeluruh akan tubuh yang ia milikinya. Teori yang dikemukakan di atas juga tidak serta merta berjalan dengan sendirinya, hal itu terjadi juga karena adanya prospek atau kebutuhan pasaran yang menjanjikan. Sehingga membuat dunia hiburan berlomba-lomba untuk menaikan rating masing-masing dengan memproduksi produk yang mudah laku dipasaran. Seksualitas dalam Industri Pornografi Dalam masyarakat industri kapitalis, pornografi dikemas dengan begitu sedemikian rupa dan dipasarkan secara massal, tentu saja hal itu tujuannya adalah untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Bagi para penentang pornografi, perempuan dalam industri ditempatkan sebagai komoditi yang dieksploitasi untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memuaskan hasrat seksual laki-laki (Junaidi, 2012:37). Adanya hubungan yang mendasar antara pandangan dunia dualistik dan objektivikasi perempuan telah menjadi prinsip utama di dalam teori feminis selama 30 tahun silam ini. Dalam beberapa terkhir ini para feminis telah melakukan beberapa penelitiannya terkait dengan objektivikasi perempuan terhadap ciri-ciri yang ada, khususnya terkait dengan seksualitas perempuan. Sebagian besar studi ini tidak semuanya telah dilaksanakan dalam rangka menganalisis ciri-ciri dan implikasi pornografi. Sehingga dalam analisis ini muncul sebuah pemahaman tentang pornografi sebagai suatu penggambaran sekaligus suatu alat untuk mempertahankan dominasi laki-laki atas seksualitas perempuan (Russell, 2004:91). Lebih Jauh, MacKinnon menjelaskan, dalam masyarakat Industri kontemporer, pornografi menjadi produksi masal yang menggunakan perempuan demi keuntungan laki-laki, mengeksploitasi dan menjual perempuan untuk kesenangan seksual laki-laki. Hal ini bisa dikatakan sebagai salah satu jembatan sebagai perdagangan perempuan melalui teknologi cangih (MacKinnon, 1987:184). Menurut analisis penulis, dalam sebuah industri tidaklah mungkin dilandasi tanpa adanya motif atau kepentingan didalamnya, mustahil hal itu terjadi tanpa ada sebab. Begitu juga dengan produk yang ingin dipasarkan, tidak mungkin jika tidak ada motif profit atau keuntungan yang diinginkan. Sehingga dengan keinginan meraup keuntungan maka produksi pasar disesuaikan dengan permintaan pasar, sehingga insudustri dalam sebuah berita, iklan, film, ataupun produk lainnya ia akan mengklasifikasikan (mengelompokkan) dengan jenis-jenis yang berbeda. Seperti misalnya tentang kepentingan industri di dalamnya yang menklasifikasikan dalam sebuah industri pornografi seperti black woman, asian woman, latin woman, pregnant women, old woman, fat woman dan lain-lain. Hal tersebut telah menempatkan perempuan lebih rendah dari binatang dan benda. Selain dalam hal tersebut ada hak untuk mencitrakan dirinya sebagai keibuan, atletik, feminis, dan lain-lain. Sehingga wajar jika di dalam sebuah pornografi ada unsur seksualitas. Jadi sebenarnya yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah membuat peraturan undang-undang pada industri pornografi, sehingga akan memudahkan negara untuk mengontrol adanya eksploitasi pada perempuan yang selalu menjadi objek utama dalam komoditi pornografi. Sehingga tidak akan terjadi transaksi tubuh pada para penguasa. Objektifikasi Tubuh Perempuan dalam Pornografi Obyek pornografi pada saat sekarang tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki, anak-anak, dan juga waria. Sementara itu material pornografi telah meluas melampaui bentuk tulisan, goresan, atau lukisan, bahkan media. Para feminis memang telah membahas tentang ciri-ciri dan dampak objektifikasi perempuan dalam bentuk pornografi masa kini. Sekalipun dalam mencerminkan pandangan seksualitas perempuan yang berlaku dalam sejarah Israel pada masa sebelum adanya penulisan kitab. Adapun ciri dari pada objektifikasi pada perempuan bisa mudah dikenali, jika adanya sebuah seksualitas perempuan yang digambarkan sebagai hal yang negatif dalam kaitannya dengan standar laki-laki yang positif dan netral, perempuan direndahkan dan dihina di depan umum, dan seksualitas perempuan digambarkan sebagai objek pemilikan dan kendali laki-laki, termasuk penggambaran perempuan sebagai hal yang beranalogi dengan alam secara umum dan tanah secara khusus, teristimewa dalam hubungannya dengan gambaran penaklukkan dan dominasi (Russell, 2004:91). Media Mengekspos, Perempuan Tertindas! Benarkah demikian? Sebenarnya ketika kita melihat dan membaca hendaklah kita juga mampu dalam menganalisis media tersebut. Karena latar belakang media juga ternayata mempengaruhi isi, informasi dan bentuk dari pada hasil berita tersebut. Latar belakang yang dimaksud seperti siapa pemilik penerbitan media, baik cetak maupun elektronik, yang dilihat melalui visi, misi serta tujuan yang ingin dicapai baik melalui tujuan profit, sasaran pembaca. Karena bagaimanapun sebuah berita tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan profil penerbit media cetak itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pornografi, rendahnya kualitas jurnalisme yang dipengaruhi budaya patriarki serta sedikitnya jurnalis perempuan dipercaya menyumbang pada hasil karya jurnalistik yang merendahkan perempuan, dalam hal ini tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang mendekati pornografi dan eksploitasi perempuan. Media massa memang berperan penting dalam pembentukan opini publik. Media massa dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, juga pesan-pesan dalam kaitannya dengan isu pornografi dan kebebasan berekspresi. Nama media massa juga merupakan cermin opini sebagian masyarakat. Sehingga apa yang dimuat di media itulah yang dipercayaai oleh masyarakat pada umumnya, tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi dibelakangnya. Selain itu, media memang memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh besar, terutama dalam dunia industri, demi melancarkan visi dan misi dari pada kelompok ataupun golongan bahkan individu. Banyak pihak yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam meraup keuntungan dengan cara meletakkan atau mengekspos tubuh-tubuh perempuan yang sensual di dinding-dinding media. Mengapa perempuan? Tubuh perempuan memang sangat menarik dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hal itulah yang menjadi salah satu faktor membuat para pemilik modal dengan mudah untuk menjadikan perempuan seksi, berparas cantik dan bisa dijadikan sebagai objek iklan, film, dan lain-lain. Media massa banyak dianggap mengeksploitasi seksualitas perempuan demi kepuasan seksual pembaca saja. Perlakuan bias pada perempaun tersebut membuat perempuan terlihat tersubordinat melalui media itu sendiri (Junaidi, 2012:37). Dunia perindustrian, secara materi memang memenuhi kebutuhan, tapi tidak secara nurani. Pribadi terkenal dengan kedaan tubuh yang ditundukkan membuat perempuan tertekan dengan segala peraturan-peraturan yang harus diikutinya. Secara psikologi pasti ia akan mengalami kegelisahan, kebahagiaan sesaat, panik. Itu jika ia menyadari kalau tubuhnya telah banyak dinikmati oleh publik. Keadaan inilah yang membuat tubuh perempuan secara tidak langsung telah berada pada titik subordinat (rendah). Dikalangan masyarakat masih banyak yang beranggapan, jika masuk koran, tabloid, majalah, televisi dan media lainnya, ia akan merasa bangga dengan penampilan bentuk tubuhnya yang seksi dan menarik perhatian. Padahal itu adalah salah satu perdagangan masal tubuh perempuan yang mengandung unsur seksualitas pornografi pada tubuh perempuan yang dituangkan di media massa, alasannya agar menjadi terkenal dan dikenal banyak orang. Sedarhana tapi menindas. Pornografi Menurut Cara Pandang Feminis Liberal dan Radikal Dalam kacamata feminis liberal dan feminis radikal terkait dengan pornografi ini memanglah sangat berbeda, seolah salah satunya mendukung dan salah satunya menolak. Keadaan ini tidaklah wajar jika terus menerus dibiarkan bekelanjutan. Kata radical secara bahasa berarti down to the roots atau kembali ke akar permasalahan. Aliran feminisme radikal terbentuk untuk menggali akar-akar permasalahan munculnya ketidakseimbangan power antara perempuan dan laki-laki. Pada dasarnya, aliran ini berpendapat bahwa pembenahan sistem ketidakadilan antara dua jenis kelamin tidak bisa dilakukan hanya dalam tataran struktural atau reformasi hukum sebagaimana yang diusung oleh feminisme liberal, tetapi harus dilakukan pada tataran kultural dan perempuan yang kemudian harus memulainya (Lorber, 2001:77). Walaupun terkesan bertentangan dengan feminisme liberal, feminisme radikal, dalam batas tertentu, sebenarnya muncul untuk menambah analisis feminisme liberal. Dalam pandangan feminisme liberal, kesetaraan perempuan dan laki-laki diupayakan dengan menciptakan gender neutral world (dunia yang netral gender), memfokuskan isu dunia patriarki pada lingkungan keluarga, dan pembenahan struktural (aturan hukum). Bagi aliran ini, menciptakan gender neutral world adalah sebuah pengingkaran terhadap sifat keunikan baik laki-laki maupun perempuan. Masing-masing laki-laki dan perempuan memang berbeda walaupun perbedaan itu tidak lalu menjadi alasan untuk menerima ketidakadilan. Pada golongan feminisme radikal tidak setuju, jika pendekatan yang dipakai oleh para pejuang feminisme lebih difokuskan pada tataran legal-formal saja. Aliran feminis radikal ini beranggapan bahwa hukum apapun adalah produk dari kepentingan pihak yang berkuasa. Selama dunia ini masih dipegang kendalinya oleh pihak penguasa, laki-laki, maka hukum pun pasti akan mewakili kepentingan laki-laki. Seperti apa yang dikemukakan oleh Audre Lorde, salah seorang tokoh aliran feminis radikal, bahwa: “the master’s tools will never dismantle the master’s house.” (senjatanya seorang tuan tidak akan pernah menghancurkan rumah sang tuan itu sendiri). Dalam artian hal ini, mengurai tentang sebuah ketidaksetujuan, menurut hemat penulis, bukan berarti penolakan. Aliran ini hanya menyangsikan jika hukum atau pendekatan politis saja bisa berbuat banyak untuk menciptakan dunia yang lebih berkeadilan bagi perempuan, ketika cara pandang dunia patriarki sudah begitu kuat berakar tidak hanya pada tataran politik-struktural, tetapi juga individual-kultural. Bagi penulis, munculnya aliran ini yang notabene setelah kehadiran feminisme liberal tentu menentukan bagaimana corak analisis aliran ini. Sebagai sebuah aliran yang muncul kemudian, tentu mereka tidak mungkin memunculkan corak yang sama dengan feminisme liberal yang merupakan pendahulunya. Mereka perlu menunjukkan karakterisitik khusus perjuangan mereka sendiri dengan mengusulkan pendekatan kultural. Daftar Pustaka: Carrette, Jeremy R. (ed), 2011, Agama, Seksualitas, dan Budaya: Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault, Yogyakarta: Jalasutera. Junaidi, Ahmad, 2012, Porno: Feminisme, Seksualitas, dan Pornografi di Media, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Liesbet, Zoonen Van, 1994, Feminist Media Studies, London: Sage. Lorde, Audre, 1983, “The Master's Tools Will Never Dismantle the Master's House,” dalam This Bridge Called My Back: Writings by Radical Women of Color, ed. Cherrie Moraga dan Gloria Anzaldua, New York: Kitchen Table/Women of Color Press. Lorber, Judith, 2001, Gender Inequality: Feminist Theories and Practice, California: Roxbury Publishing Company. Mackinnon A, Chatarine, 1987, Feminism Unmodified: Discourse on Life and Law, Cambridge: Harvad University Press. MacKinnon, Catherine A., 1989, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge: Harvard University Press. Russell, Letty M., 2004, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, Jakarta: Kanisius. Tim PSW Institut Agama Islam Negeri Mataram, 2007, Menolak Subrdinasi, Menyeimbangkan Relasi, Lombok: PSW Institut Agama Islam Negeri Mataram. Walby, Sylvia, 2014, Teorisasi Patriarki, Yogyakarta: Jalasutra. Weisberg, D. Kelly, 1997, “Introduction” dalam Feminist Legal Theory: Foundations, Philadelphia: Temple University Press. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |