Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta) [email protected]d Gagasan awal kehidupan demokrasi adalah pemberian ruang penghargaan atas kedaulatan dan partisipasi rakyat dalam kehidupan politik negara. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan bentuk ruang demokrasi di tingkat lokal. Rakyat mampu berperan dalam proses penentuan “wajah” keterwakilan mereka di tingkat dewan pemerintahan daerah. Pilkada langsung mampu menjadi upaya untuk menghindari praktik oligarki yang sangat kental di zaman orde baru. Oleh karenanya, Pilkada tidak melalui mekanisme DPRD akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada langsung mampu “mendidik” rakyat dalam berpolitik dan mampu memberikan ruang publik demokratis secara lebih luas: pertama, rakyat dilatih untuk berdaulat dan langsung memilih para pemimpinnya. Kedua, pilkada langsung mampu menjadi modal sosial terciptanya habitus dan mentalitas berkewarganegaraan dalam arti yang lebih luas. Ketiga, melalui pilkada langsung rakyat bukan hanya menjadi “massa mengambang” yang mudah disandera dan dibajak oleh telikungan oligarki politik. Masih lekat dalam ingatan kita, Orde Baru mampu menyisakan trauma politik tersendiri bagi rakyat. Tak jarang rakyat merasa enggan untuk terlibat dalam tataran politik negara. Sebagian besar rakyat merasa tidak ingin rumit dan terlibat jauh dalam politik yang sarat dengan intrik. Ya, mereka terepresi secara politik. Bagaimana stigma PKI maupun Gerwani menjadi kontrol negara untuk membatasi ruang gerak politik rakyat di era Orde Baru. Ketakutan menjadi alasan rakyat mundur dari kancah perpolitikan negara. Reformasi, saat itulah udara kebebasan mulai muncul ditandai dengan tumbangnya Orde Baru di tahun 1998. Rakyat mulai terlibat dalam politik. Terciptanya multipartai dan pemilu langsung, memberikan ruang demokrasi bagi rakyat. Perempuanpun memiliki hak yang sama dalam pemilu, satu suara perempuan berarti satu suara rakyat. Pemilu tahun 2009 merupakan pemilu demokratis Indonesia. Ada peran tangan-tangan rakyat didalamnya secara langsung, pun dengan perempuan. Posisi perempuan di parlemen pun menduduki persentase yang cukup menggembirakan. Angka 18% persen menjadi langkah awal geliat perempuan di panggung parlemen. Bahkan hadirnya presiden perempuan pertama di Indonesia, Megawati Soekarnoputri di era reformasi, mampu memberikan geliat harapan dan kebebasan perempuan dalam politik. Beberapa poin ini tentunya mampu memberikan nafas kegigihan baru bagi gerakan perempuan untuk memperjuangkan hak-hak politiknya. Pemilu tahun 2014 merupakan saat dimana perempuan mempunyai harapan terhadap peningkatan keterwakilan politiknya di lembaga legislatif. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hak suara perempuan mencapai 92.791.321 orang sedangkan hak suara laki-laki mencapai 93.086.694. Pada Pemilu 2014 perempuan menyumbang suara hampir 50 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Akan tetapi jumlah suara perempuan belum signifikan menyumbang perolehan suara bagi perempuan yang duduk di kursi parlemen. Dari data pemilu 2014, didapatkan bahwa jumlah perempuan di parlemen hanya sebesar 17%. Bahkan dari data yang diperoleh Jurnal Perempuan pada edisi 82 dapat dilihat bahwa terdapat indikasi peningkatan pencalonan caleg perempuan berbanding terbalik dengan keterpilihan caleg perempuan. Tahun 2009 caleg perempuan tercatat 34,86% dengan jumlah perempuan terpilih sebanyak 18,03%. Pada pemilu 2014, pencalonan perempuan meningkat menjadi 37,27% dengan jumlah perempuan terpilih menurun 17,32%. (Anita Dhewy, Jurnal Perempuan: Vol 19 No.3 Agustus 2014, Hal. 102) Fenomena ini tentunya sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, dengan jumlah hak suara yang “hampir sama” terjadi ketimpangan luar biasa dalam porsi kedudukan perempuan di parlemen. Kedua, begitu banyaknya “wajah” yang dipilih, tentunya perempuan yang mencalonkan/dicalonkan semestinya berupaya agar mampu dikenal baik oleh masyarakat baik dari segi visi misi maupun kiprah perjuangannya kelak di parlemen. Tentunya perjuangan atas keberpihakan. Ketiga, perlu upaya yang sistematis untuk membangun kesadaran politik perempuan. Memilih bukan sekadar hanya “urun suara”, akan tetapi merupakan bentuk upaya kebebasan kaum perempuan untuk berdaulat secara politik. Bagaimana masa depan perempuan pasca Pemilu 2014? Belum kering kegundahan perempuan atas ketimpangan perolehan kursi yang terjadi, tiba-tiba kita dihadapkan pada pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) No.1/2014. UU Pilkada No.1/2014 menjadi agenda pembajakan suara perempuan di ruang politik. Apabila dilihat dari kacamata demokrasi, tentunya pengesahan Undang-undang itu merupakan langkah mundur kehidupan demokrasi itu sendiri. Hiruk pikuk kesetaraan suara rakyat atas partisipasinya dalam kedaulatan politik tentunya hanya akan kembali menjadi wacana. Penerapan UU Pilkada tentu akan kembali menjadi pembajakan demokrasi dan menggoreskan catatan trauma panjang rakyat dalam membangun mimpi publik membentuk negara demokratis pun dalam ruang politik perempuan. Suara perempuan pada pemilu tahun 2014 turut menyumbang proses pergulatan politik negara dan menentukan “sosok terpilih” di parlemen yang diberikan mandat kepercayaan dan harapan untuk memperjuangkan hak perempuan. Harapan itu kemudian ditelikung dengan upaya pembungkaman kebebasan bersuara dalam ruang demokrasi politik lokal, dan ini adalah sebuah awal wajah politik negara. Kekecewaan dan kemarahan itu hadir memunculkan gelombang penolakan dari sebagian besar masyarakat sipil dan menjadi bukti bahwa masyarakat semakin cerdas dan kritis terhadap penetapan sebuah kebijakan politik. Mereka berupaya secara gigih dan serius agar hak politik mereka tidak kembali tersesat dalam kebobrokan oligarki elit. Kemarahan rakyat adalah kemarahan kaum perempuan, karena suara perempuan telah “dibajak” untuk membuat kebijakan politik yang tidak berpihak pada rakyat. Jadi kepalkan tangan kiri kita, tolak UU Pilkada! Referensi: Jurnal Perempuan Vol. 19 No. 3, Agustus 2014, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi di Indonesia, 2013, Kanisius, Yogyakarta
1 Comment
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |