“Throughout the world, more than 51 million girls below the age of 18 are currently married, even though it is outlawed in many developing countries and international agreements forbid the practice. The harmful traditional practice of child marriage spans continents, language, religion and caste.”[i] Pada tahun 2011, saya sempat membaca majalah National Geographic Indonesia yang membahas tentang pernikahan anak. Ketika saya mencoba mencari artikel tersebut secara online, saya menemukan artikel yang sama pada laman website National Geographic dan sebuah link yang merujuk pada sinema pendek yang rupanya membahas mengenai pernikahan anak pula. Video yang dibuat oleh Stephanie Sinclair, seorang fotografer dokumenter, tersebut berjudul Too Young To Wed: The Secret World of Child Brides. Video ini berisi testimoni dari perempuan-perempuan yang dinikahkan pada usia muda (8-14 tahun) di berbagai negara berkembang seperti India, Etiopia, Afganistan, dan lainnya. Ada dua fokus dalam video tersebut yang sekiranya sama dengan fokus yang ingin saya bahas di dalam tulisan ini yaitu anak perempuan sebagai korban terbesar dari pernikahan anak dan korelasi antara pernikahan anak dengan “tradisi” serta pendidikan. Pertama-tama, mengapa perempuan disebutkan sebagai korban terbesar dari pernikahan anak? Ada beberapa akibat dari pernikahan anak terhadap perempuan. Pertama, ketika perempuan dinikahkan saat masih berusia belasan tahun, organ reproduksi perempuan belum sepenuhnya siap berfungsi. Hal ini kemudian bisa berakibat pada kematian Ibu. Kedua, pernikahan anak mengancam ketertinggalan pendidikan bagi perempuan. Biasanya perempuan yang menikah di usia dini harus meninggalkan sekolah karena berbagai alasan (hamil, rasa malu, keterikatan pada rumah tangga, dan sebagainya). Ketiga, dalam pernikahan anak, anak perempuan rentan menjadi korban kekerasan. Keempat, kesehatan psikologis baik anak perempuan ataupun anak laki-laki menjadi rentan karena ketidaksiapan mereka dalam membina rumah tangga, seksualitas, dan lainnya. Pada pertengahan tahun 2015 ini, Mahkamah Konstitusi menolak untuk mengabulkan tuntutan revisi usia layak nikah. Seperti tertera dalam Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974, usia minimum bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun dan 19 tahun bagi laki-laki. Ketentuan ini telah dibiarkan sedemikian rupa selama hampir 41 tahun tanpa terusik meski banyak negara tetangga yang justru sibuk membahas mengenai usia layak nikah selama tahun-tahun tersebut. Ambillah India sebagai contohnya. Setidaknya, pada tahun 1978, India mengamandemen Child Marriage Restraint Act, 1929. Peraturan yang dirumuskan pada tahun 1929 ini pada awalnya mengatur usia pernikahan 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Setelah diamandemen pada tahun 1978, secara spesifik disebutkan di dalam peraturan ini bahwa definisi dari anak adalah laki-laki yang belum berumur 21 tahun dan perempuan yang belum berumur 18 tahun (peraturan ini kemudian diperbaharui dan dilengkapi pada tahun 2006 dengan nama Prohibition of Child Marriage). Oleh karenanya pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang yang belum mencapai ketentuan umur tersebut merupakan sebuah pelanggaran hukum. Meskipun demikian memang kita tak dapat menutup mata pada fakta bahwa angka pernikahan anak di India sebenarnya masih tinggi. Sekitar 47% anak perempuan yang berada di India menikah sebelum genap berumur 18 tahun. Walaupun begitu, bukan berarti kondisi Indonesia dapat dikatakan sudah baik dan dengan begitu sebuah payung hukum untuk melarang pernikahan anak tidak lagi diperlukan. Pada dasarnya pernikahan anak memang masih menjadi salah satu perjuangan di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India. Ada beberapa sebab dari sulitnya memerangi pernikahan anak seperti tidak adanya larangan yang jelas mengenai pernikahan anak dalam beberapa agama, pendidikan (kesehatan reproduksi, gender, dan pendidikan secara umumnya) yang belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat, dan juga kentalnya tradisi. Kembali pada Indonesia, pada masa kolonial pernikahan anak adalah suatu hal yang dianggap biasa dan terjadi di hampir semua lapisan sosial masyarakat Hindia Belanda. Ruang lingkupnya pun tidak terbatas di Jawa tetapi juga terjadi di pulau lainnya. Alasan di balik pernikahan anak bermacam-macam misalnya, orang tua ingin agar anak-anak mereka dapat membentuk keluarga secepatnya demi terjaminnya hari tua, orang tua pihak mempelai laki-laki berpikir bahwa menantu perempuan akan lebih mudah “dibentuk” menjadi sosok menantu dan istri yang ideal menurut keluarga mempelai laki-laki jika dinikahkan sedari muda, orang tua takut jika anak-anak perempuan mereka tidak segera dinikahkan maka anak perempuan mereka akan dipandang “terlalu tua” dan pada akhirnya tidak akan mendapatkan pasangan, dan banyak alasan lainnya. Suara-suara pertama yang menentang pernikahan anak muncul pada awal abad ke-20 dan berasal dari kaum terpelajar perempuan. Para perempuan, mayoritas dari kalangan priyayi, yang sudah mengenyam pendidikan Barat ini melihat kenyataan pahit dari pernikahan anak. Anak-anak perempuan berusia 12-14 tahun diberhentikan dari sekolah untuk dinikahkan. Di zaman yang lebih modern, ketika semakin banyak masyarakat yang sudah mampu mengakses pendidikan dibandingkan pada masa kolonial, tingkat pernikahan anak di daerah urban mulai mengalami penurunan. Tetapi cerita tidak sama di daerah-daerah pedesaan di seluruh Indonesia. Salah satu contoh adalah desa-desa di Sumba, Nusa Tenggara Timur yang masih menerapkan tradisi dan adat istiadat yang kental dengan patrilineal dan masih bersifat feodal dengan adanya stratifikasi sosial. Dalam bukunya yang berjudul Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Jacqueline A.C. Vel seorang antropolog, menyinggung mengenai suatu “tradisi” penculikan yang terjadi di Sumba bagian Barat. Ia menceritakan bahwa pasar adalah salah satu tempat bersosialisasi bagi masyarakat Sumba, khususnya bagi kaum muda mudi. Selain sebagai tempat bersosialisasi, pasar juga menjadi lokasi strategis bagi aksi penculikan. Aksi ini dilakukan oleh pemuda yang lamarannya ditolak atau mungkin tidak dapat membayar mahar namun tetap berniat untuk menikahi perempuan yang diinginkannya. Korban dari penculikan ini biasanya adalah perempuan muda yang bahkan banyak yang belum memasuki usia layak menikah. Masyarakat di sana mengetahui kebiasaan tersebut namun tidak melakukan apa-apa dan keluarga yang memiliki anak perempuan hanya bisa berharap anak mereka kembali dengan selamat dari pasar. Di berbagai suku tradisi penculikan terkadang menjadi bagian dari upacara pernikahan berdasarkan adat suku mereka tetapi tentu tradisi semacam ini (yang sudah disetujui oleh orang tua kedua mempelai) berbeda dengan praktik penculikan yang dimaksud di atas. Pendidikan sedianya merupakan salah satu solusi untuk menumpas penikahan anak. Pendidikan yang dimaksudkan tentu tidak terbatas dalam lingkup pendidikan formal tetapi juga pendidikan non-formal dan soft-skill. Penting bagi anak perempuan, remaja perempuan, maupun para ibu untuk mendapatkan bekal pendidikan yang baik karena melalui pendidikanlah mereka dapat memutus rantai tradisi pernikahan anak yang dipaksakan pada mereka. Entah kemudian pendidikan itu dapat digunakan untuk memutuskan masa depannya sendiri atau digunakan untuk memberikan pendidikan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya untuk menghentikan pernikahan anak, yang jelas pendidikan dapat menjadi gerbang bagi perempuan untuk menjadi agen sosial yang melawan pernikahan anak. Sebagai contoh, pada survei kinerja Kabinet Kerja 2015, salah satu menteri perempuan yaitu Susi Pudjiastuti menjadi menteri yang mendapat persentase kepuasan tertinggi yaitu sebesar 71,9%. Kemungkinan hampir semua warga negara Indonesia tahu bahwa dari segi pendidikan formal, Susi Pudjiastuti hanya memegang ijazah SMP namun tidak ada yang dapat memungkiri bahwa kemampuannya dalam mengembangkan bisnis dan pengetahuannya mengenai kelautan dapat mendukung kinerjanya sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan dalam Kabinet Kerja. Susi Pudjiastuti adalah satu contoh nyata dari bagaimana pendidikan, apapun bentuknya, bernilai penting bagi anak perempuan dan juga bagi kemajuan masyarakat luas karena pada dasarnya potensi yang dimiliki anak perempuan dan anak laki-laki sama besarnya dalam hampir segala aspek. Susi Pudjiastuti hanyalah satu contoh dari sekian banyak perempuan yang memiliki prestasi dalam bidang mereka masing-masing. Masih di tahun ini, UNICEF Indonesia mengumumkan bahwa satu dari enam perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun yang berarti ada 340.000 perempuan di bawah umur yang menikah tiap tahunnya dan bahkan 50.000 dari jumlah tersebut menikah sebelum berumur 15 tahun. Mereka yang menikah pada usia muda ini hampir semuanya terpaksa berhenti dari sekolah. Sungguh jumlah yang besar dan sangat patut disesalkan karena sesungguhnya negara ini kehilangan calon-calon tokoh besar yang dapat membawa kemajuan bagi Indonesia namun terhalang aksesnya pada pendidikan dikarenakan masa mudanya terenggut akibat pernikahan anak. Pada akhirnya, dirumuskannya sebuah peraturan atau undang-undang memang tidak dapat menjadi jaminan bahwa suatu tindakan kriminal akan hilang dalam sekejap. Child Marriage Restraint Act, 1929 yang nyatanya diberlakukan pula di Bangladesh ternyata belum berhasil memberi dampak berarti pada tingginya angka pernikahan anak di sana. Namun, adanya sebuah peraturan seperti undang-undang yang mengatur usia layak nikah dengan benar adalah langkah awal dari upaya menghapuskan pernikahan anak. Peraturan dibuat agar warga negara memiliki payung hukum yang melindungi mereka serta menjamin agar mereka mendapatkan pertanggungjawaban jika hak-hak mereka dilanggar. Di sisi lain, peraturan pun seharusnya membuat oknum-oknum dengan niatan untuk berbuat kriminal berpikir dua kali dan menyadari bahwa ada sanksi atau konsekuensi dari perbuatan kriminal. Tetapi tidak berhenti pada digolkannya sebuah peraturan, pendekatan dan penyebaran informasi yang tepat perlu dilakukan pada semua lapisan masyarakat (khususnya pada setiap warga dari suku yang masih mengizinkan pernikahan anak). Upaya-upaya ini tentu membutuhkan tenaga, waktu, dan materi yang tidak sedikit. Oleh karenanya sudah seharusnya upaya menghentikan pernikahan anak tidak hanya menjadi tugas LSM, aktivis, atau masyarakat saja tetapi juga menjadi tugas bagi Mahkamah Konstitusi dan pemerintah untuk lebih memperhatikan isu ini dan bukannya menjadi promotor dari pernikahan anak. Catatan Belakang: [i] http://pulitzercenter.org/projects/child-brides-child-marriage-too-young-to-wed Daftar Pustaka Blackburn, Susan dan Sharon Bessell. 1997. Marriageable Age: Political Debates on Early Marriage in Twentieth-Century Indonesia. Indonesia, No. 63 (April 1997). Southeast Asia Program Publications at Cornell University. A.C. Vel, Jacqueline. 2008. Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006. Leiden: KITLV Press http://pulitzercenter.org/projects/child-brides-child-marriage-too-young-to-wed http://unicefindonesia.blogspot.co.id/2015/08/child-marriage-takes-centre-stage-at.html http://wcd.nic.in/cmr1929.htm http://www.theguardian.com/global-development/2015/may/27/india-child-marriage-annulment-brides-go-to-court http://www.girlsnotbrides.org/child-marriage/bangladesh http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/08/078707824/survei-menteri-susi-paling-memuaskan-menteri-puan
yani
31/10/2015 10:46:49 am
Saya sangat berterimakasih banyak kepada
yani
31/10/2015 10:48:12 am
Saya sangat berterimakasih banyak kepada Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |