Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki catatan kelam mengenai tingginya angka pernikahan anak. Sebenarnya jika ditilik lebih dalam, pernikahan anak dapat menimbulkan berbagai dampak yang serius bagi anak itu sendiri maupun bagi hubungan sosial. Apakah rahim seorang anak sudah siap untuk melakukan reproduksi? Bukankah masih rentan dan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit. Sebenarnya apakah gadis di bawah umur itu sudah siap secara mental? Bukankah di usia antara 14 tahun sampai 18 tahun seorang remaja masih ingin mencari jati diri yang sesungguhnya, emosi yang masih labil akan berpengaruh terhadap pola asuh yang mereka tanamkan pada anak-anak hasil pernikahan ini. Tuntutan sosial yang tinggi mungkin akan mengeruhkan problem ini, masyarakat berkespektasi bahwa seseorang jika sudah menikah berarti memiliki tingkat kedewasaan secara pemikiran untuk menjalani kehidupan, apakah semua itu terbukti? Tidak. Banyak pasangan muda yang stres kemudian menelantarkan bayi mereka, meningkatnya kasus KDRT dll. Kita semua tahu bahwa menikah muda bagi sebagian masyarakat Indonesia bukan merupakan suatu hal yang tabu. Jika wanita sudah menstruasi, kemudian sudah bisa melakukan pekerjaan domestik, dan sudah dirasa mampu untuk menjadi seorang ibu, usia seakan bukan sebagai masalah untuk menjalin suatu kontrak sosial ini. Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030 mendatang. Pernikahan anak dapat mengambil hak pendidikan dan hak kesehatan reproduksi perempuan. Pernikahan anak juga berdampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia dan memunculkan masalah kependudukan. Ini merupakan suatu temuan yang sangat mencengangkan. Apakah kita sebagai masyarakat yang peduli terhadap bangsa ini hanya akan berpangku tangan? Ini bukan sebuah prestasi namun sebuah ironi. Dimana letak keseriusan pemerintah dalam mengatasi problem ini? Dengan angka sebesar itu, bagaimana nasib pendidikan mereka? Bukankah relitasnya akan sangat sulit bagi mereka untuk melanjutkan pendidikanya, mereka akan sibuk untuk mengurus rumah tangga, mengurus urusan domestik dll. Walaupun ada opsi untuk melanjutkan pendidikan dengan program kejar paket A, B atau C, Itu seakan menjadi suatu harapan yang utopis. Menurut saya yang mendorong tingginya angka pernikahan anak di usia dini adalah faktor ekonomi, kebanyakan mereka berasal dari latar belakang keluarga dengan tingkat perekonomian yang rendah, mereka berasumsi jika seorang anak perempuan sudah menikah setidaknya beban keluarga akan semakin berkurang karena akan ditanggung oleh suami mereka. Namun pada kenyataannya apakah seperti itu, malah bisa jadi menambah permasalahan baru ketika pasangan muda ini belum mapan secara ekonomi dan akhirnya dapat mengakibatkan berbagai konflik baru muncul. Jika direnungi lebih mendalam, hal ini disebabkan ketika subordinasi perempuan ditopang melalui hegemoni maskulinitas yang beroperasi di tataran keluarga sebagai unit ekonomi. Sedangkan dalam kasus pernikahan anak peran keluarga sangat dominan, represi dari kepala keluarga--yang biasanya adalah kaum laki-laki--sebagai penentu kebijakan dalam skala rumah tangga sangat kuat--dalam pengambilan keputusan untuk menikahkan anaknya di usia yang masih belia, dengan harapan supaya cepat meringankan beban ekonomi keluarga. Bahkan realitasnya di berbagai daerah hal ini bisa ditentukan oleh suatu otoritas yang berupa aturan aturan adat atau sabda dari kepala suku yang menganjurkan untuk segera menikah. Jadi segalanya tidak dapat dilepaskan dari adanya kontrol otoritas baik berupa power dari pihak yang memiliki kuasa maupun karena faktor ekonomi. Hal ini menjadi faktor penentu atau struktur kunci yang menentukan posisi perempuan bersifat sosio-ekonomi, dikarenakan adanya semacam stigma bahwa perempuan merupakan individu yang selalu bergantung terhadap laki-laki. Tidak hanya itu, persepsi bahwa rumah itu identik dengan perempuan dan dunia tempat bekerja itu identik dengan laki-laki, hal ini semakin mendukung tesis awal saya, jika seorang wanita sudah bisa menjalankan fungsi domestiknya maka sudah layak untuk menikah walaupun usianya belum memadai. Bila kita analogikan menggunakan pemikiran Michael Foucault, ini semua tidak bisa lepas dari kontrol otoritas yang berupa uang. Ketika relasi kekuasaan ini berasal dari ekonomi, kemudian akan menjalar kepada relasi kekuasaan yang menyetuh ranah tubuh, dan dibumbui akan hubungan seksual yang terjalin. Jika kita hubungkan dengan seks bisa diartikan sebagai hubungan ekonomi, karena sudah memberi nafkah lahir, maka timbal baliknya suatu kewajiban untuk memberikan nafkah batin berupa seks. Ketika hubungan seks sudah masuk dalam tataran ekonomi seperti diatas, dapat kita analogikan bahwa satu-satunya yang dapat dipertukarkan hanya tubuh itu sendiri, tubuh perempuan dijadikan sebagai komoditi, atau benda, bahkan sebagai mesin; mesin reproduksi, mesin hasrat yang identik dengan pekerja, sedangkan laki-laki sebagai pasar, atau permintaan, dan perempuan sebagai penyedia. Nah, problem pernikahan anak ini tidak bisa kita lepaskan dari problem power berupa ekonomi kemudian berimbas juga terhadap status kepemilikan tubuh perempuan itu sendiri. Mungkin bisa saja analogi ini berlaku pada mereka yang menjadi aktor dalam pernikahan anak. Kita harus menguatkan genggaman untuk bersatu memperjuangkan permasalahan ini, karena ini bukan sekadar permasalahan hukum, namun ini sebuah permasalahan kemanusiaan yang dibentengi oleh sosial, ekonomi dan kultural. Dibutuhkan usaha ekstra untuk merobohkan hegemoni besar yang telah menempel kuat pada masyarakat Indonesia, sehingga angka pernikahan anak di indonesia dapat menurun. Daftar Pustaka: http://print.kompas.com/baca/2015/06/20/Pernikahan-Dini-Memicu-Masalah (Diakses pada Senin, 16 November 2015, pukul 14:37)
HERMANTO
19/11/2015 07:13:48 pm
,,.,KISAH NYATA ,
Saya Atas nama PAK YAYAT ingin berbagi cerita kepada anda semua bahwa saya yg dulunya cuma seorang TKW di MALAYSIA jadi buru sawit yg gajinya tidak mencukupi keluarga di kampun,jadi TKW itu sangat menderita dan di suatu hari saya duduk2 buka internet dan tidak di sengaja saya melihat komentar orang tentan AKI SOLEH dan katanya bisa membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di malaysia,akhirnya saya coba untuk menhubungi AKI SOLEH dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg di berikan AKI SOLEH 100% tembus MAGNUM(4D) <<< 4 0 1 1 >>> saya menang togel (185,juta) meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan AKI SOLEH kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik AKI SOLEH sekali lagi makasih yaa AKI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja AKI SOLEH DI 082-313-336-747- insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW trimah kasih banyak atas bantuang nomor togel nya AKI wassalam.
Diana TKW Malaysia
26/11/2015 09:14:25 am
Terima Kasih K.H.Lukman Jaya yg Telah membantu saya lewat pesugihan TUYUL..Saya yg dulunya seorang TKI di Malaysia..Sekarang saya udah punya segalanya berkat TUYUL yg di kontrakkan kepada saya..Bagi sobat yg ingin merasakan hal seperti saya silahkan kunjungi Blog http://ramalanghaib.wordpress.com atau Hubungi K.H.Lukman Jaya di +6285211199918 ..Terima Kasih..Wassalam..!!!! 15/5/2016 11:57:35 am
,,.,KISAH NYATA , Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |