Khairul Hasni, MA Direktur Jari Aceh (Jaringan Perempuan untuk Keadilan) Lhokseumawe [email protected] Pendahuluan Kedaulatan budaya perempuan dalam konteks kebudayaan besar Indonesia, mencakup kebudayaan leluhur bangsa Indonesia yang berakar dari tradisi dan budaya suku-suku peninggalan terdahulu budaya nusantara yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Secara umum budaya masyarakat di dunia menempatkan laki-laki pada hierarki teratas, sedangkan perempuan menjadi nomor dua. Edward B. Taylor mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.[1] Dalam beberapa tatanan budaya masyarakat Indonesia, terdapat realitas bahwa perempuan berada pada posisi kedua dan terpinggirkan. Kondisi ini menjadi bagian dari hidup perempuan dan laki-laki yang disosialisasikan secara turun-temurun, hingga pada masa sekarang perempuan masih menjadi kaum marginal. Melihat konstruksi sosial pada zaman dulu dalam kehidupan rumah tangga, perempuan bekerja mengurus rumah tangga sedang laki-laki bekerja di luar rumah. Ini kemudian menjadi suatu kebiasaan dan dipandang sebagai adat istiadat dimanapun keberadaan perempuan di dunia. Namun seiring kemajuan zaman, perempuan kemudian memilih berkarier di luar rumah untuk mencukupi keuangan serta kebutuhan lainnya. Kita bisa mengacu pada perjuangan yang dilakukan Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) dalam memperjuangkan konvensi hak-hak perempuan tahun 1848 di Seneca Falls dan mendukung hak suara kaum perempuan di Amerika Serikat (Hadiz, 1998), dimana baru seratus tahun kemudian PBB/UN (Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nation) secara resmi menyampaikan deklarasi tentang hak asasi manusia termasuk hak perempuan dan laki-laki.[2] Dari sini kita dapat melihat bahwa perjuangan perempuan tidaklah mudah apalagi dalam lingkungan masyarakat yang sangat beragam seperti Indonesia. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda, terdapat perbedaan organ reproduksi dan konstruksi tubuh pada kedua jenis kelamin, namun dalam konteks budaya peran yang diemban keduanya memiliki kesetaraan. Akan tetapi, budaya telah memberikan keistimewaan pada kaum laki-laki. Dan realitas budaya tidak mengakomodasi kesetaraan dan keseimbangan. Dalam sebuah budaya seorang perempuan hanya sebagai alat untuk melengkapi. Budaya patriarki telah memengaruhi hubungan perempuan dan laki-laki serta menimbulkan subordinasi. Terbelenggunya Perempuan dalam Budaya Kebudayaan Indonesia yang memarginalkan peran perempuan berpengaruh pada pembentukan karakter bangsa. Sebagai contoh dalam perspektif perempuan, pelanggaran norma seperti yang diatas perlu disosialisasikan dan dikuatkan saat ini, yakni fenomena kekerasan berbasis komunitas atas nama adat dan syariat. Sebuah adat dapat saja berfungsi sebagai wujud kearifan lokal yang memiliki sanksi sosial bila dilihat ancaman kekerasan atas nama aturan adat. Sebagai contoh wilayah Aceh, aturan adat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang menjaga nilai dan norma masyarakat menjadi bagian dari pola pikir dan perilaku masyarakat yang dikuatkan dengan syariat Islam. Tantangan menjadi berat ketika perubahan sosial terjadi dalam kurun waktu yang tidak dapat diantisipasi oleh masyarakat yang masih dalam transisi pasca konflik/MoU Helsinki. Pelanggaran Syariat Islam memberikan ruang multi interprestasi dan menimbulkan interaksi masyarakat dengan penegak hukum Syariat Islam. Wacana HAM sepertinya menawarkan lingkup terbesar dalam penerimaan pluralisme gender. Wacana HAM adalah isu pertarungan yang sengit di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan di atas dengan adanya kelompok-kelompok Muslim yang menyediakan interpretasi mengenai hak.[3] Ini juga berkaitan dengan persoalan pemberlakuan syariat Islam di Aceh dalam hukuman cambuk, yang masih menimbulkan dua pandangan yang berbeda. Menurut dosen Universitas Unsyiah Banda Aceh, Syaipuddin Bantasyam, ada hal yang harus dipilah-pilah dalam melihat keberadaan hukum dan HAM, yang termasuk dalam pelanggaran HAM adalah jelas pentingnya atas hak universal manusia, penerapan Qanun Jinayah di Aceh yang tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manuasia (HAM) dan juga tidak bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan kalau dipelajari lebih jauh.[4] Namun ada sebagian lembaga dan kelompok perempuan berpendapat bahwa hukum cambuk telah melanggar HAM. Salah satu poin dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia adalah setiap manusia dijamin atas hak kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agama yang dimilikinya. Hal ini juga dipertegas oleh hukum di Indonesia yaitu UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, sehingga pelaksanaan Syariat Islam di Aceh secara legal formal telah diamanahkan oleh Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia.[5] Menurut Amnesty Internasional sehubungan dengan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan meminta hukuman cambuk di cabut, ini harus dapat melihat kembali karena tidak bertentangan dengan HAM.[6] Solusi adalah melengkapi hukum syariat sebagai aturan yang sifatnya preventif, maka revitalitasi adat diharapkan lebih spesifik mencakup perspektif penghormatan terhadap HAM yang meliputi kebutuhan untuk melindungi perempuan. Karena persoalan perempuan dalam setiap individu, tafsir agama, dan negara, upaya penegakan keadilan gender dapat menggugat privilege yang dapat dinikmati sebagai kelompok masyarakat termasuk perempuan.[7] Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan (gender inequality) baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi ketidakadilan yang sudah menjadi budaya masyarakat. Usaha untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan praktis gender (pratical gender needs). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek dan mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias gender harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga sampai pada kebijakan pemerintah dan negara, penafsiran agama serta epistemologi ilmu pengetahuan. Karena itu diperlukan berbagai aksi melalui kampanye, pendidikan kritis, advokasi untuk mengubah kebijakan, tafsir ulang terhadap aturan keagamaan serta memberi ruang epistemologi berperspekti feminis untuk memberikan makna terhadap realitas yang terjadi yang tidak sesuai. Merujuk pada Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, dalam strategi ini upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender didorong melalui proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi seluruh sektor pembangunan, oleh sebab itu proses tersebut akan dapat berjalan baik dengan melihat kuantitas perempuan sehingga keadilan gender atas gender budgeting dapat berjalan dengan baik. Terkait hal ini pemerintah juga telah masuk terus dengan melanjutkannya dalam program Analisis Pathway (GAP) yakni salah satu metode analisis untuk mengkaji kondisi perempuan dan laki-laki, mengidentifikasikan masalah, menemukan faktor kesenjangan dan penyebabnya, ini termasuk berbagai analisis gender dalam berbagai program, budaya, kebijakan dan kegiatan.[8] Dengan berbagai upaya yang terjadi di daerah secara nasional seharusnya pemerintah dapat menjawab persoalan ini dan kondisi perempuan Indonesia dapat terjadi perubahan pada tahun 2015. Realitas Kebangkitan Perempuan Sampai saat ini berbagai instrumen yuridis nasional dan internasional telah dibuat untuk mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender (KKG) di Indonesia (KemNeg PP dan BPS, 2006). Komitmen pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga sangat tinggi. Perjuangan gerakan perempuan telah dilakukan melalui Kongres Perempuan pertama yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928, sekaligus sebagai upaya konsolidasi berbagai organisasi perempuan di Indonesia. Saat ini, jenis gerakan perempuan semakin berkembang dan semakin terbuka wawasannya dalam melakukan pembelaan terhadap perempuan. Pada periode sebelumnya, ruang lingkup kegiatan hampir semua organisasi perempuan hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan perempuan lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai perempuan. Namun saat ini, perempuan terus meningkatkan diri terlibat dalam menyusun kebijakan dan meningkatkan kualitas perempuan, sehingga regulasi-regulasi baru terus lahir di Indonesia juga ratifikasi atas Konvensi Internasional yang mendukung perempuan. Indikator untuk tujuan kesetaraan gender yang berdiri sendiri post 2015 agenda pembangunan dan integrasi HAM perempuan dalam hal lainnya, ini tujuannya harus diselesaikan dalam kepatuhan terhadap CEDAW dan manusia dalam ruang lingkup Internasional dalam standar hak asasi.[9] Tantangan yang dialami dapat lebih bekerja sebagai global solidarity secara sistematis dan dengan cara yang sinergis dengan didukung oleh mekanisme internasional, Convention on the Rights of the Child (CRC), Beijing Platform for Action, Millennium Development Goals (MDGs) atau Beijing+20, Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW).[10] Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui UU RI No. 7 tahun 1984. Ketertinggalan perempuan sebagai akibat dari relasi hubungan sosial dan politik yang tidak adil, disadari bahwa terdapat fenomena ketidakadilan dan diskriminasi gender. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil yang dialami oleh laki-laki dan perempuan akibat dari sistem dan struktur sosial yang telah berakar dalam sejarah, adat maupun norma (BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA, 2005). Peningkatan pemberdayaan perempuan pada tahun 2000 konferensi UN menghasilkan MDGs yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Dep. Kehutanan, 2005). Upaya aturan Internasional dalam membela dan memajukan perempuan, untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Perjuangan perempuan yang berat untuk mencapai suatu kedudukan, disebabkan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang masih menganut paham patriarki, sehingga menghasilkan keputusan dan sikap yang bias gender. Keadaan ini menjadi lebih parah dengan adanya penafsiran yang salah dari hukum agama yang mempertajam keadaan bias gender. Pada masa mantan Prisiden Suharto, gerakan dan LSM yang bekerja untuk masyarakat masih sedikit, namun seiring dengan perjalanan persoalan perempuan, dan tahun 2015 berjumlah 1469 lembaga Ormas/LSM yang concern terhadap permasalahan kaum perempuan itu semakin tumbuh dan berkembang bekerja untuk kepentingan masyarakat.[11] Mereka banyak yang berangkat dari kalangan agamawan, akademisi dan para aktivis mahasiswa, ikut mengembangkan kesetaraan gender (gender equality). Bagi kaum agamawan, langkah ini dimulai dengan upaya untuk menafsirkan kitab suci dan ajaran agama dengan sudut pandang yang lebih ramah terhadap perempuan, sehingga diharapkan transformasi sosial bisa dimulai dari masyarakat religius yang memiliki sensitivitas gender.[12] Melihat kenyataan kebangkitan perempuan sangat menggembira terutama bagi kaum perempuan itu sendiri. Namun ketertinggalan kaum perempuan masih menjadi permasalahan belum dapat teratasi dengan baik. Jumlah penduduk perempuan adalah 118.010.413 orang data tahun 2010.[13] Pembangunan Indonesia yang lambat selama hampir 70 tahun dikarenakan kaum perempuan kurang berperan atau tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik nasional maupun intenasional. Persoalan ini dapat merugikan perempuan serta pembangunan dalam berbagai sektor. Dalam melaksanakan program pembangunan, dibutuhkan perempuan yang mempunyai kualitas hidup yang optimal, sehingga perempuan akan dapat bekerjasama dengan baik sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan. Dalam persolan ini diperlukan motivator untuk mendorong kaum perempuan untuk lebih berprestasi. Sehingga dapat tercapai visi pembangunan pemberdayaan perempuan, keadilan dan kesetaraan gender dalam keluarga, masyarakat dan negara. Salah satu upaya yang harus dicapai dan urgent adalah meningkatkan kualitas hidup perempuan serta perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan. Perkembangan globalisasi secara nyata berhadapan dengan bnayak tantangan dan hambatan, dan reformasi dan kehidupan yang demokratis dalam melaksanakan women group empowering di masa-masa mendatang harus terus dilakukan. Dan kini, secara objektif kendala di lapangan tampak semakin jelas dan telah menunjukkan kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan walaupun kemajuan dan pengaruh global telah bereaksi.[14] Hal ini ditandai dengan kebijakan publik yang masih sering mengabaikan perempuan, dan lemahnya sosialisasi atas kebijakan perempuan. Ini dapat dilihat dengan banyak persoalan yang disebabkan oleh konsep gender yang belum banyak dipahami oleh berbagai pihak. Sejarah perempuan Aceh, dari dulu sudah diakui baik tingkat nasional dan internasional. Peran perempuan dulu dapat dijadikan tonggak pergerakan perempuan baik masa lalu maupun sekarang. Kiprah yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu harus menjadi perbandingan dan proses pembelajaran bahwa perempuan tidak hanya menjadi pendamping. Ini telah terbukti di kerajaan Aceh Darussalam yang menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[15] Saat ini menjadi hal yang sangat sulit dan tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk memberikan kepercayaan laki-laki mengakui nilai-nilai feminisme keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor. Dalam hal ini dibutuhkan suatu transformasi budaya yang mendukung kesetaraan gender. Suatu budaya dinyatakan sebagai budaya ketika hal tersebut telah dilakukan selama bertahun-tahun dan turun temurun. Dalam era gobalisasi untuk membuat suatu budaya baru, walaupun adanya peraturan perundangan akan mempermudah jalannya menjadi suatu kebiasaan, namun masih membutuhkan waktu yang lama dan perjuangan yang berat. Dan secara luas diyakini bahwa bentuk saat ini hukum Syariah dan cara itu diterapkan di Aceh telah seimbang baik secara praktis dan konseptual. Namun lebih parah lagi ketika kebijakan selalu diperuntukkan bagi perempuan baik dari pakaian, naik sepeda motor dengan usulan draf “duduk ngangkang” dan hal lain yang dianggap sebagian kelompok atas kesalahan perempuan. Dan ini sangat disayangkan bila memengaruhi masyarakat yang kurang kuat pemahaman dari masyarakat, khususnya orang-orang miskin dan perempuan. Merujuk dari pengalaman perempuan dalam melihat kasus-kasus yang terjadi gerakan perempuan harus bekerja keras atas dampak kebijakan yang tidak menguntungkan perempuan. Kesimpulan Relasi gender tidak hanya lahir dari kesadaran individu, tetapi juga sangat tergantung pada faktor budaya, ekonomi, sosial dan lingkungan. Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki dan perempuan, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk tantangan yang dihadapi dalam bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesejahteraan bersama. Konsep gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab atas kesetaraan dan keadilan. Program Pemberdayaan Perempuan bersifat sentralistik bahwa program yang dilakukan hanya turunan dari kebijakan pusat yang tidak sensitif terhadap lokalitas dan tidak pada Program Responsive Gender. Kita bisa merujuk pada kenyataan dan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan Aceh atas kasus-kasus kebijakan lokal yang telah menempatkan perempuan pada level yang sangat rendah atau tidak berkeadilan gender. Kesetaraan dan keadilan gender yang telah diperjuangkan berpuluh-puluh tahun belum mencapai hasil seperti yang diharapkan, meskipun berbagai instrumen yuridis telah disusun pemerintah untuk pencapaian target program. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap masih tingginya ketimpangan gender di masyarakat. Ketimpangan gender ini masih ditemui dalam berbagai bidang termasuk budaya, kebijakan dan lainnya. Kondisi ini dapat dilihat dari rendahnya alokasi dana yang dianggarkan birokrasi publik untuk pemberdayaan perempuan yang belum menyeluruh dan tepat sasaran. Referensi Asia Pasific Cso Forum On Beijing+20, Bangkok Thailand, Final Report: Asia Pacific Cso Forum On Beijing Plus 20 By Apwldadmin · January 14, 2015 Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Perdagangan, 2010 Analisa Gender Transpormasi Sosial oleh Mansour Fakih, edisi 2008 Amnesty Internasional Minta Hukuman Cambuk di Aceh Dicabut, http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/05/22/lll3uo-amnesty-internasional-minta-hukuman-cambuk-di-aceh-dicabut BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA, 2005, Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender, Jakarta: Deputi Bidang PUG Kemneg PP RI. Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Khairul Hasni, MA. Studi Penelitian “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak di Tinjau dari Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia, 2002. Perkembangan Studi Perempuan, Kritik, Dan Gagasan Sebuah Perspektif Untuk Studi Gender Ke Depan, Oleh A. A. I. N. Marhaeni vFakultas Ekonomi Universitas Udayana. Seri Perempuan dan Hukum: Studi Tentang Hak Peremuan dalam konsep HAM. Perempuan di daerah konflik dan pasca Konflik. Kasus NAD dan NTB Saipuddin Bantasyam, Dosen Universitas Unsyiah. Saskia E. Wieringa, Keanekaragaman Gender di Asia: Pertarungan Diskursif dan Implikasi Lega, Jurnal Gandrung Vol. 1 No. 2 Desember 2010 Silawati, Hartian,2006, Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Undang Undang. Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) Website 1. http://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Burnett_Tylor 2. Hukuman Cambuk di Aceh Muslihat dan Manusiawi, http://aceh.tribunnews.com/2014/10/17/hukuman-cambuk-di-aceh-muslihat-dan-manusiawi 3. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, http://bakesbangpoldki.jakarta.go.id/index2.php?halaman=dataormas 4. Jumlah Laki-Laki dan Perempuan Hampir Seimbang Sekretariat Negara Republik Indonesia Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia, http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2260 Catatan Belakang: [1] http://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Burnett_Tylor [2] Perkembangan Studi Perempuan, Kritik, Dan Gagasan Sebuah Perspektif Untuk Studi Gender Ke Depan, Oleh A. A. I. N. Marhaeni, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana [3] Saskia E. Wieringa, Keanekaragaman Gender di Asia: Pertarungan Diskursif dan Implikasi Lega, Jurnal Gandrung Vol. 1 No. 2 Desember 2010. [4] Saipuddin Bantasyam, Dosen Universitas Unsyiah. [5] Amnesty Internasional Minta Hukuman Cambuk di Aceh Dicabut, http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/05/22/lll3uo-amnesty-internasional-minta-hukuman-cambuk-di-aceh-dicabut [6] Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi [7] Analisa Gender Transpormasi Sosial oleh Mansour Fakih, edisi 2008, [8] Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Perdagangan, 2010 [9] Asia Pasific Cso Forum On Beijing+20, Bangkok Thailand, Final Report: Asia Pacific Cso Forum On Beijing Plus 20 By Apwldadmin · January 14, 2015. [10] Asia Pasific Cso Forum On Beijing+20, Bangkok Thailand, Final Report: Asia Pacific CSO Forum On Beijing Plus 20 By Apwldadmin · January 14, 2015 [11] Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, http://bakesbangpoldki.jakarta.go.id/index2.php?halaman=dataormas [12] Khairul Hasni, MA. Studi Penelitian “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak di Tinjau dari Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia, 2002 [13] http://www.tempo.co/read/news/2013/04/26/058476142/Jumlah-Laki-Laki-dan-Perempuan-Hampir-Seimbang. Tempo.com Politik [14] Jumlah Laki-Laki dan Perempuan Hampir Seimbang Sekretariat Negara Republik Indonesia Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia, http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2260 [15] Khairul Hasni, MA. Studi Penelitian “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak di Tinjau dari Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia, 2002. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |