
Undang-undang tersebut mengatur ihwal pemilihan kepala daerah yang kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi Undang-undang ini dilakukan dengan harapan mendukung lancarnya pelaksanaan demokrasi di Indonesia karena rakyat bisa memilih sendiri perwakilannya dan kepala daerah tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat. Terdengar indah bukan? Tapi bukan berarti tidak ada masalah. Ketika pemimpin dipilih langsung, maka para calon pemimpin ini berlomba-lomba untuk memasarkan dirinya. Kita bisa melihat baliho yang berisi wajah para calon wakil kita yang terpampang besar-besaran di jalan raya, atau sekadar poster-poster yang dipaku di pohon-pohon dan tiang listrik ketika masa kampanye. Para calon ini berebut simpati. Mereka mencoba menjual diri mereka. Jika pada masa kampanye kita bisa terima, tapi bagaimana jika mereka mempromosikan diri melalui kebijakan setelah menjabat agar dipilih kembali?
Peraturan-Peraturan Aneh
Peraturan Daerah Pembatasan Waktu Kunjung Pacar yang dikeluarkan pemerintah Purwakarta jelas bukan perda aneh yang pertama kita dengar, menurut saya. Masih hangat dalam ingatan kita tentunya usulan tes keperawanan yang diajukan sebagai perda oleh DPRD Jember. Belum lagi Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang diberlakukan di kota Tangerang yang berimplikasi munculnya razia jilbab dan kemudian perempuan yang keluar malam diidentifikasi sebagai PSK (pekerja seks komersial). Tak kurang, Qanun Jinayat di Aceh yang selalu menjadi kontroversi. Mengapa saya katakan aneh? Karena seharusnya suatu kebijakan dibuat dengan memenuhi tiga syarat utama, yakni bersifat cerdas, bijaksana dan memberi harapan. Peraturan daerah diharapkan mengatasi masalah-masalah yang sesuai dengan kultur daerah masing-masing. Kebijakan publik merupakan basis keunggulan bangsa sehingga dalam setiap pengambilan kebijakan seharusnya pemerintah daerah mampu mengeluarkan kebijakan publik yang baik.
Sanksi atas pelanggaran aturan pembatasan waktu kunjung pacar ini adalah kawin paksa. Mari kita lihat implikasinya, pernikahan bukan hal yang mudah, bahkan dapat berujung pada perceraian. Belum lagi apabila yang ketahuan pacaran justru anak-anak berusia di bawah 18 tahun, apa masih akan dinikahkan juga? Tes keperawanan lebih tidak masuk akal lagi, apakah lulus ujian sekolah harus ditentukan dengan keperawanannya? Konsep keperawanan saja masih belum dapat disepakati, lagi pula jika memang terbukti tidak perawan lantas mau apa? Apa berarti perempuan tersebut jadi barang rusak yang tidak lagi (boleh) berfungsi di masyarakat? Juga berbagai peraturan lain yang sangat tidak masuk akal. Peraturan tersebut jelas tidak bersifat universal dan mendiskriminasi pihak tertentu, yakni perempuan.
Perda untuk Siapa?
Sebenarnya untuk siapakah peraturan-peraturan itu dibuat? Peraturan-peraturan tersebut sama sekali tidak menunjukkan keadilan justru mendiksriminasi, tidak satupun dari tiga syarat kebijakan dipenuhi. Peraturan-peraturan tersebut sama sekali tidak cerdas, tidak bijaksana dan tidak sekalipun memberi harapan. Mengapa peraturan-peraturan tersebut terus ada dan untuk siapa sebenarnya peraturan itu dibuat? Kembali pada pemaparan pertama, ketika para calon wakil rakyat ini saling berlomba untuk mempromosikan dirinya, kampanye tidak berhenti pada saat terpilih, kesempatan untuk terpilih lagi masih terbuka. Sehingga keluarlah peraturan-peraturan yang nyeleneh ini. Perda politis dibuat bukan untuk rakyat tapi demi kekuasaan. Para politisi yang “berjualan” ini mengeluarkan perda dengan menjual peraturan yang terlihat baik tanpa melihat implikasi lanjutannya karena memang tujuan perda itu dibuat untuk meningkatkan popularitas si pembuat perda.
Perda ini dibuat memang untuk mencari sensasi. Masih ingat regulasi pelarangan penjualan bir di minimarket dan tokoh yang memperjuangkannya? Perda seperti ini muncul dengan ciri; (1) menjual hal yang dianggap baik, (2) mudah dicerna masyarakat awam yang cenderung apatis pada politik dan biasanya disukai masyarakat awam (3) bermain pada simbol-simbol religius, (4) seksi untuk dibahas media, dan tak lupa, (5) mampu mengundang kontroversi. Sukseslah pembuat Perda. Sekali gebrakan dua-tiga tujuan tercapai. Alhasil peraturan-peraturan aneh ini terus direproduksi.
Kesimpulan
Lantas kita bisa apa? Sebagai warga negara dan pemilih yang baik, seharusnya kita tidak apatis terhadap politik. Demokrasi memang bukan sistem yang terbaik, tapi itu adalah sistem yang paling baik diantara yang lainnya. Tak lama lagi, pemilihan umum tingkat daerah akan berlangsung apakah kita masih mau termakan provokasi dan memilih pemimpin yang menghasilkan perda-perda aneh ini? Kita tidak bisa berada di luar dan hanya mencak-mencak tanpa hasil. Masih ada harapan untuk pemerintahan yang semakin lebih baik esok hari.
Daftar Pustaka
http://www.rappler.com/indonesia/104655-dedi-mulyadi-purwakarta-pacaran
http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/70330-hukum-syariat-islam-aceh-kini-berlaku-untuk-non-muslim-dan-lgbt
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151002_indonesia_purwakarta_pacaran
http://kabar24.bisnis.com/read/20150430/15/428377/328-perda-diskriminatif-terhadap-perempuan-dan-minoritas
http://www.teropongsenayan.com/14310-mengatur-perda-yang-aneh
http://www.bangsaonline.com/berita/8317/anggota-dprd-jember-gagas-perda-keperawanan
http://news.okezone.com/read/2015/02/11/337/1104436/wacanakan-tes-keperawanan-dprd-jember-dianggap-ngaco