Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] "Prehistoric times when physical force was very important. Those who’re the strongest had all the rights and power." (The Second Sex, Simone de Beauvoir) Makna Gender Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin dan maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak dari bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini–mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya–secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.[1] Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah, peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia dan latar belakang etnis. Di Inggris abad ke sembilan belas, ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah. Tetapi pandangan yang lebih kemudian menunjukkan bahwa anggapan ini hanya berlaku bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu (servants) bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Kini keadaan serupa juga terdapat di beberapa bagian negara berkembang. Di Bangladesh misalnya, banyak perempuan muslim menganggap tidak pantas untuk terlibat dalam lapangan pekerjaan yang dibayar. Namun ada banyak perempuan muslim lainnya terpaksa bekerja–seringkali sebagai pembantu rumah tangga–sebagai upaya pertahanan ekonomi. Dengan kata lain, kelas (class) nyaris selalu berkaitan dengan urusan memutuskan peran gender yang pantas karena memiliki jenis kelamin (sex) biologis tertentu.[2] Pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan dengan kesetaraan dengan kaum pria. Dalam sejarah telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perjalanan peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki dalam urusan bermasyarakat. Jadi sejak awal sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada wilayah marginal. Peran-peran yang dimainkan perempuan hanya berputar di ranah domestik, seperti dalam kosa kata Jawa “dapur, sumur, kasur”, sementara kaum laki-laki menguasai peran-peran penting didalam masyarakat. Dari situlah muncul ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan dari ranah, publik hingga privat, dari urusan domestik hingga persoalan reproduksi. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarginalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa disebut sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.[3] Salah satu akibat ketidaksetaraan gender adalah marginalisasi, terutama terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah, lembut, halus. Sensitif dan sifat feminim lainnya membuatnya tidak memiliki kesempatan sama dengan laki-laki. Hak-haknya untuk diperlakukan sama dengan laki-laki dipinggirkan, bahkan tergusur dan tidak menjunjung rasa kemanusiaan. Perempuan dianggap warga kelas dua. Seperti yang dituliskan oleh Simone De Beauvoir, The Second Sex, dimana perempuan yang termarginalkan oleh kontruksi sosial menjadikan mereka hanya bergerak di ranah privat dan bahkan sosio-kultural Indonesia saat ini menunjukkan ketidakadilannya dengan hanya memberikan kuota 30% perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, hal itu diatur dalam UU Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD. Mengingat apa yang diperjuangkan oleh feminis bahwa perempuan juga berhak bergerak dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Kehidupan perempuan yang hanya berada di rumah dan keluarga, menjadikannya makhluk yang pasif dan tidak bergerak di ranah public, hal tersebut bukan karena perempuan tidak mampu tetapi lebih karena tidak adanya alternatif lain. Maka perjuangan feminis harus terus didengungkan terutama dengan ikut terlibat dalam bidang politik dan hukum. Karena perempuan juga mampu terjun dalam kehidupan publik layaknya laki-laki, seperti berkontribusi dalam bidang politik dan sosial. Perkembangan kesetaraan gender di negara Jerman bahkan dikenal dengan adanya housema, dengan begitu maka gerak-gerak kepentingan keluarga tidak akan dilingkari pada ibu saja namun juga pada ayah, demikian juga dengan gerak-gerak di ranah publik perempuan dan laki-laki sama-sama dapat dipantaskan. Pengantar Teori Feminis Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Teori ini terpusat pada perempuan dalam tiga hal. Pertama, sasaran utama studinya, titik tolak seluruh penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat. Kedua, dalam proses penelitiannya, perempuan menjadi “sasaran” sentral; artinya, mencoba melihat dunia dengan sudut pandang perempuan. Ketiga, teori feminis dikembangkan oleh pemikir kritis dan aktivis atau pejuang demi kepentingan perempuan, yang mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk perempuan–dan dengan demikian, menurut mereka, untuk kemanusiaan.[4] Feminist Legal Theory (FLT) atau Feminist Jurisprudence telah berpengaruh pada pemikiran hukum selama beberapa dekade terakhir. Hal ini tampak dari selalu diselipkannya pembahasan yang berkaitan dengan FLT dalam sebuah buku, seminar atau diskusi yang membahas tentang teori hukum. Pemikiran awal dari FLT itu sendiri muncul mengikuti gelombang-gelombang pemikiran feminis, khususnya gelombang kedua dari feminis Amerika yang merefleksikan ketertarikan feminis pada bidang hukum, tepatnya pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Hal ini antara lain disebabkan meningkatnya perempuan Amerika yang memilih bidang studi hukum pada masa itu dan dimulainya kritik-kritik mereka pada teori-teori hukum yang tidak memiliki kontribusi pada permasalahan hukum yang ada, yang berkaitan dengan perempuan.[5] Mereka mempertanyakan mengapa kurikulum Fakultas Hukum tidak berisikan materi-materi yang membahas adanya kesenjangan dalam pembayaran upah buruh perempuan, tentang perkosaan, kekerasan terhadap perempuan, aborsi, dan lain-lain. Kenyataannya kemunculan FLT di dunia Barat (Amerika khususnya) memang bersamaan dengan bangkitnya reaksi feminist legilator terhadap masalah-masalah hukum, khusus yang berkaitan dengan perempuan. FLT yang memunculkan suatu metode analisis khas feminis dalam hukum, banyak digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang sangat luas dalam bidang hukum. Pengkajiannya antara lain dengan mengkritisi hukum dari sudut feminis sebagai suatu kajian yang utama. Pembongkaran atau kritik yang diajukan dapat menggunakan antara lain teori dekonstruksi[6] yang mencoba menguraikan atau menginterpretasikan makna hukum dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang feminis. Teori Hukum Feminis Berbicara mengeni ilmu hukum, kita akan berhadapan dengan suatu ilmu dengan sasaran objek yang nyaris tak bertepi. Objek yang bernama hukum itu menjadi begitu luas karena ia bersentuhan dengan sejumlah besar aspek kehidupan manusia, sebut saja: manusia sendiri, masyarakat, negara politik, sosial ekonomi, sejarah, psikologi, filsafat dan aspek-aspek hidup yang lain. Teori Hukum Feminis atau Feminist Legal Theory (FLT) muncul pertama kali pada tahun 1970-an, bersamaan dengan berkembangnya gerakan Critical Legal Studies (CLS) di Amerika. Sebagai sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum, arus utama teori hukum feminis dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan CLS. Karena itu dalam beberapa pembahasan tentang Jurisprudence, teori hukum feminis dimasukkan sebagai salah satu bab di dalam pembahasan CLS.[7] Pihak yang mengemukakan Feminist Legal Theory menyatakan bahwa bahkan CLS sekalipun menyoroti keberlakuan hukum semata dari sudut pandang laki-laki, demikian pula pemikiran-pemikiran Jurisprudence lainnya. Dikatakan bahwa hukum dan legal teori adalah lahan laki-laki, adalah laki-laki yang menyusun hukum dan teori tentang hukum.[8] Selanjutnya, hukum dan hasil putusannya merefleksikan nilai-nilai laki-laki atau nilai-nilai maskulin. Laki-laki yang membangun dunia hukum itulah yang kemudian berdampak kepada kelompok lain yang tidak terwakili dalam nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itu pun sudah sedemikian melekatnya sehingga dianggap nilai yang umum dan absolut dengan meniadakan adanya nilai yang lain.[9] Dalam kaitannya dengan hukum studi feminis lahir untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas, dan studi hukum seharusnya bukan hanya menerapkan asas kepastian tetapi amat terlebih asas keadilan. Bagaimana mencapai tujuan bersama ini, merupakan upaya dan langkah-langkah yang diuji coba puluhan tahun di mancanegara, yang telah memunculkan berbagai aliran. Namun satu hal yang dihadapi bersama adalah kemapanan studi hukum yang telah berusia berabad-abad dan yang sebenarnya juga telah melahirkan berbagai teori dan aliran, sedangkan studi feminis baru muncul dibilang setengah abad lalu.[10] Biasanya para ahli feminisme pada peminatnya untuk belajar berpikir dengan cara feminis, atau yang disebut dengan think like a feminist. Walaupun diantara para pakarnya tidak ada keseragaman metode, namun pada dasarnya mereka mencoba menempatkan perempuan sebagai fokus kajian dan bukan terpinggirkan oleh pengkajian hukum tertentu. Dalam positivisme hukum, kepastian hukum hanya akan terwujud bila hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan otonom dari berbagai persoalan moral, agama, filsafat, politik, sejarah dan semacamnya. Pertanyaan tentang adil, tapi selama dia masih berlaku, maka hukum itu tetap harus dipatuhi. Bagi para penganut positivisme hukum, kepastian hukum akan tercapai bukan hanya karena hukum dibentuk oleh lembaga yang berwenang dengan mengikuti sistem perundang-undangan yang berlaku, tapi juga bila hukum bisa bekerja sama–dalam kerangka ilmiah–dengan berbagai sains positif (ilmu alam dan ilmu sosial yang cara kerjanya didasarkan pada metode ilmu alam) untuk melegitimasi berbagai perilaku yang ada di masyarakat. Margot Stubbs mencatat bahwa positivisme hukum sebenarnya berangkat dari pengandaian liberalisme klasik tentang masyarakat sebagai kumpulan individu yang otonom dan memiliki hak-hak yang sama. Lalu untuk mewujudkan kepentingan bersama, para individu tersebut secara bebas mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara dan hukum. Konsekuensinya, negara dan hukum harus netral, objektif, dan tidak berpihak pada individu manapun:
Penganut teori Positivisme Hukum menganggap hukum sebagai potret dari realitas sosial atau bahkan realitas sosial itu sendiri. Sehingga untuk mengetahui bentuk pembagian kerja secara seksual (pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara pria dan perempuan) pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara pria dan perempuan) yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia, seseorang dianggap cukup membaca misalnya KUHPerdata, UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974, dan KUHPidana. Berbeda dengan para pemikir hukum feminis bahwa hal demikian dianggap peraturan hukum yang memarginalkan perempuan. Penilaian seperti ini hanya mungkin dilakukan karena para feminis melihat kaitan antara hukum dengan relasi kuasa yang tak setara antara perempuan dan pria. Bagi para feminis, hukum yang diyakini netral dan objektif oleh teori Positivisme Hukum sebenarnya tidak mungkin ada. Sebab disadari atau tidak–berbagai hukum tersebut dibuat dalam perspektif patriarki dan dengan demikian lebih melindungi pria daripada perempuan. Bahkan hukum-hukum seperti itu justru membenarkan ketidak-setaraan pria dan perempuan, termasuk berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan itu sendiri. Misalnya, walaupun pasal 139 KUHperdata memungkinkan suami istri mengadakan perjanjian kawin[12] dan dengan demikian memungkinkan istri mandiri secara ekonomi dari suaminya, namun kemandirian ini segera disangkal oleh pasal 140 KUHperdata yang menyatakan “perjanjian kawin” tersebut tidak boleh mengurangi segala hal yang disandarkan kepada suami sebagai suami. Barang tentu yang dimaksud oleh Pasal 140 Kuhperdata dengan “hak yang disandarkan kepada suami sebagai suami” adalah pasal 105 KUHPerdata yang menyatakan “suami adalah kepala persatuan suami istri” dan dengan demikian “suami wajib menjadi wali istrinya untuk mengahadap ke hakim (melakukan perbuatan hukum)”. Selain itu juga dinyatakan, bahwa “suami wajib mengemudikan harta kekayaan milik pribadi istrinya (kecuali dinyatakan lain dalam perjanjian kawin) tapi setiap bentuk pemindahan tangan harta tersebut harus mendapat persetujuan istrinya”. Bahkan suami boleh menjual atau memindah-tangankan persetujuan istrinya. Bahkan suami boleh menjual atau memindah-tangankan harta persatuan (harta yang diperoleh bersama selama perkawinan) tanpa persetujuan istri (pasal 124 KUHperdata) Para feminis mengkritik KUHPidana. Seperti di negara patriarki lainnya, KUHPidana di Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh seksualitas belaka. Hal ini nampak misalnya pada sejumlah pasal dalam KUHPidana. Salah satunya adalah tentang perkosaan (pasal 285) yang mengisyaratkan korban harus bukan isteri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk “hubungan seksual” yang keputusan Hooge Raad (Mahkamah Agung Hindia Belanda) tanggal 5 Februari diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”.[13] Dengan mengutip feminis Catherine MacKinnon, Nursyahbani Katjasungkana menganggap perumusan tersebut sebenarnya didasarkan pada cara pandang pria “heteroseksual” tentang hubungan seks, karena mensyaratkan terjadinya “penetrasi penis ke vagina”.[14] Dengan kata lain, kekerasan seksual terhapad perempuan yang tidak dalam bentuk “penetrasi penis ke vagina” tidak akan dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan, mungkin hanya dianggap sebagai kejahatan biasa.[15] Para feminis yakin bahwa sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah buatan laki-laki tersebut telah menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa, logika dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang laki-laki.[16] Maka begitulah, bagaimana perkosaan dirumuskan dari perspektif pelaku (pria). Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban (perempuan), misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan sudah tercabik-cabik? Hal ini terjadi karena ilmu hukum (yang ditulis dalam perspektif teori Positivisme Hukum) memang tidak mampu dan tidak mau menafsirkan diskriminasi gender–suatu tafsir yang mau mengungkap relasi kuasa yang tidak setara antara perempuan dan pria–yang terjadi di masyarakat.[17] Teori hukum feminis memberi sumbangannya dengan mengidentifikasi nilai-nilai dasar tersebut dalam implementasi hukum. Tove Stang Dahl, yang menekankan pentingnya women-centered-policy-consideration atau pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan, menyebut dua nilai dasar ini diidentifikasin sebagai nilai-nilai dasar yang utama yaitu equality (persamaan/kesetaraan), harkat martabat, integritas, self-determination (menentukan sendiri), dan self-realization. Tove Stang Dahl juga berpendapat bahwa pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan memberikan panduan untuk pengorganisasian bahan hukum, untuk mengevaluasi dan mengadakan perubahan hukum, dan penerapan hukum, bersama-sama dengan pertimbangan kebijakan lainnya, yang semua merupakan dan diakui sebagai sumber hukum. Secara politis, nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah mendasari visi dan prioritas, dan dengan demikian strategi untuk memajukan kepentingan perempuan. Jadi menerapkan perspektif perempuan terhadap ketentuan hukum berarti menelaah ketentuan hukum sambil mengingat pengalaman dan kepentingan perempuan. Tujuan penelaahan ketentuan hukum adalah untuk memahaminya secara total. Memahami atau verstehen dalam bahasa Jerman, merupakan metodologi dalam Humaniora. Memahami ketentuan hukum yang menyebabkan dan mengakibatkan perempuan mengalami ketiadadilan dan diskriminasi, memerlukan studi terhadap hukum dan pengalaman perempuan yang menyeluruh. Artinya kita harus mencari dan mengidentifikasi hubungan-hubungan dalam sistem hukum yang berlaku, dalam sistem sosial yang berlaku, dalam berbagai bidang seperti latar belakang sejarahnya, ekonomi, agama, politik, budaya, psikogi, maupun biologi dan sebagainya.[18] Catatan Belakang: [1] Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 2 [2] Ibid [3] Sri Yuliani, “Pengembangan Karir Perempuan Di Birokrasi Publik; Tinjuan dari Perspektif Gender” (Surakarta: Jurnal Pust Studi Pengembangan Gender UNS Wanodya No. 16 Tahun XIV Tahun 2004) [4] George Ritzer – Douglas J Goodman, 2005, “Teori Sosiologi Modern”, Jakarta : Prenada Media, hal 404 [5] D. Kelly Weisberg, “Feminist Legal Theory”, Temple University Press, Phildelphia, 1993. [6] Teori Dekonstruksi menurut Gayatri Chakravorty Spivak adalah adanya upaya pembongkaran pemikiran, pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan dan upaya untuk memperlihatkan adanya ketidak-koherensian dan ketidakajegan (Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Femini, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003). [7] Niken Savitri, 2008, ”HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP”, Jakarta : Refika Aditama, hlm. 27 [8] Margareth Davies, hlm,. 167 [9] Niken Savitri, 2008, “HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP”, Jakarta : Refika Aditama, hlm. 27 [10] Gandhi Lapian, 2012, “Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender”, Jakarta : Pustaka Obor [11] Margot tubbs, 1993, “Feminism and Legal Positivsm” dalam D. Krlly Weisberg (ed), Feminism Legal Theory, Phildelphia, Temple University Press, hlm 455-456 [12] Perjanjian kawin adalah suatu oerjanjian yang memungkinkan suami istri secara individual mengelola harta kekayaan masing-masing [13] Harkristutu Harkrisnowo, “Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap perempuan” dalam Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tidak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta, Kelompok Kerja Convention Watch dan Pusat Kajian Wanita dan Jender UI, 2000, hlm. 85 [14] Nursyahbani Katjasungkana, 2001, “Aspek Hukum Kekerasan Terhapap Perempuan” dalam Potret Perempuan: Tinjuan Politik, Ekonomi, Hukum di Zaman Orde Baru, Yogyakarta, PSW Umy dan Pustaka Pelajar, hlm 92-93. [15] Sulityowati Irianto, 2006, “Perempuan & Hukum Menuju Hukum yang berperspektif Kesetaraan dan Keadilan”, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 9 [16] Niken Savitri, 2008, “HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP”, Jakarta : Refika Aditama, hlm. 27 [17] Ibid [18] Gandhi Lapian, 2012, “Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender”. Jakarta : Pustaka Obor Indonesia. Hlm 230 Daftar Pustaka: Gandhi Lapian, 2012, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia George Ritzer – Douglas J Goodman, 2005, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prenada Media Julia Cleves Mosse, 2003, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Jakarta : Refika Aditama Ristina Yudhanti, 2014, Perempuan dalam Pusaran Hukum, Yogyakarta : Thafa Media Sulisyowati Irianto, 2006, Perempuan & Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |