Pagi itu berlalu seperti biasa, bangun pagi, mandi, berangkat ke kantor, buka laptop, cek email kantor, buka browser, cek Facebook, Twitter, Tumblr, LinkedIn. Semua saya lahap pagi-pagi karena saya bukan orang yang bisa tertib untuk membuka media sosial sore hari sekitar satu atau setengah jam sebelum jam pulang kantor. Scrolling down salah satu media sosial yang membuat seorang mahasiswa Harvard yang di DO menjadi salah satu laki-laki terkaya di dunia, sampailah saya pada satu artikel yang dibagikan oleh teman media sosial saya; “Wapres Ingin Jam Kerja Pegawai Perempuan Dikurangi Dua Jam.” (Kompas.com, Kamis, 27 November 2014). Saya sadar yang terjadi pada wajah saya saat itu adalah mengerutkan kening sambil tersenyum dengan mengangkat sudut bibir kanan saya. Sinis? Memang. Kebijakan berat sebelah manalagi yang akan ditetapkan oleh negara? Setelah ada tes keperawanan yang menjadi kebijakan internal di Kepolisian, sekarang perempuan harus mau dikurangi jam kerjanya untuk menjadi satu-satunya pihak yang akan disalahkan jika anak salah didik? Banyak hal yang muncul di kepala saya mengenai wacana itu (untung saja ini baru wacana), salah satunya keadilan. Menurut saya, ini bukan hanya diskriminasi antara pegawai perempuan dan laki-laki. Tapi, ini juga tidak adil untuk para perempuan sendiri. Pegawai perempuan yang jam kerjanya dikurangi dua jam adalah perempuan yang sudah memiliki anak pastinya, lalu bagaimana dengan perempuan yang masih single atau yang menikah dan belum memiliki anak? Hal lain yang ada di pikiran saya adalah mengapa tanggung jawab atas pendidikan anak itu hanya dilimpahkan kepada ibu? Dengan konsekuensi jika ada kegagalan disana, perempuan menjadi orang pertama bahkan mungkin satu-satunya pihak yang akan disalahkan. Dalam artikel yang saya sebutkan diatas, tidak ada dituliskan sama sekali bahwa bapak juga memiliki peranan penting dalam hal masa depan dan pendidikan anak. Saya sebagai perempuan, jelas menolak jika wacana tersebut dijadikan kebijakan oleh negara. Tidak perlu ada perbedaan jam kerja hanya karena takut masa depan anak bangsa akan tercecer entah kemana. Ketakutan itu akan lebih baik diatasi dengan memberikan jaminan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak bangsa. Kualitas guru dan sekolah yang diperbaiki, infrastruktur sekolah di kota sampai di pelosok dibenahi dan diperhatikan dengan baik, kurikulum sekolah segera ditetapkan dan meminimalisasi perubahan-perubahan kurikulum (yang selalu menjadikan anak-anak sekolah sebagai kelinci percobaan untuk kurikulum baru) tiap tahunnya. Jika memang masih dirasa jam kerja perlu dikurangi, maka kurangilah jam kerja orang tua, kedua orang tua dan bukan hanya jam kerja ibu. Bagi saya, tidak ada istilah pendidikan dan masa depan anak adalah tanggung jawab ibu seorang, bapak dan ibu memegang peranan yang sama pentingnya untuk anak; memberikan perhatian, pendidikan, menyiapkan masa depan, dan lain sebagainya. Kecuali para ibu sebagai single parent. Dua peran sekaligus yang ia mainkan di dalam keluarga, dan pasti semua akan dia berikan untuk anak tercinta; kenyamanan, rasa aman, pendidikan, masa depan, segalanya. Satu contoh dari sekian banyak ibu single parent hebat di sekitar kita, Rima Novianti, Komisaris PT Multi Terminal Indonesia. Seorang ibu single parent dengan 4 orang anak. Ia tetap bisa meluangkan waktu untuk keempat anaknya, meski dari jam 5 pagi pun ia sudah harus sampai dan mengatur kegiatan di pelabuhan. Orang tua hanya perlu menjadi smart worker disini, bukan untuk didiskriminasi jam kerja atau peranannya dalam keluarga. Dalam sudut pandang saya, saya sebagai perempuan hanya ingin adanya kesetaraan, sama, seimbang dengan laki-laki. Tak perlu muluk untuk ingin melebihi laki-laki, cukup mendapat posisi yang seimbang yang juga didukung oleh pemerintah saja sudah menjadi hal baik untuk perempuan di Indonesia ini. Semoga saja wacana ini akan tetap menjadi wacana semata, dan jika wacana ini dijadikan kebijakan oleh negara maka jelaslah sudah negara kita ini memang negara yang setengah-setengah, seperti meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai butir pertama dalam Pancasila, namun pada praktiknya isu-isu agama yang melanggar hak asasi manusia tidak pernah mencerminkan butir pertama dari Pancasila itu.
Odi
3/12/2014 06:15:13 am
Perjuangan kesetaraan gender adalah cerita panjang dalam sejarah umat manusia, yang seolah nampak seperti sebuah heroisme melawan legitimasi kekuasaan kaum laki-laki, yang merasuki lini-lini kehidupan seperti, budaya, ekonomi, politik, sosial, bahkan religi. Kisah-kisah perjuangan kesetaraan itu hanya akan menjadi sebuah kisah kecil yang siap dilindas oleh narasi besar patrilinealisme dunia, jika tidak ada yang memulai memperbesar kemungkinan dari setiap sudut ketidakmungkinan, untuk sebuah rekonstruksi kesadaran gender melalui segala sudut kehidupan, terutama yang dimulai dari keluarga oleh kedua orangtua secara bersama-sama. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |