Hari ke-21 dalam bulan April adalah hari dimana Kartini bangkit kembali. Kebangkitan Kartini disertai dengan ritus-ritus pemanggilan arwah Kartini pada tanggal sakral tersebut. Perempuan Indonesia mengenakan kebaya dan menggulung rambutnya (serupa) Kartini. Sedangkan kebiasaan pemanggilan arwah sering dilakukan oleh masyarakat adat untuk berbagai alasan seperti, meminta rekomendasi tanggal baik untuk pernikahan, meminta kesuburan dan keselamatan untuk tanah mereka. Upacara pemanggilan arwah ini dilakukan keluarga, Mereka mendatangi makam leluhur yang berada diatas bukit, di makan itu mereka membakar rumput dan menyebar sesaji. Seringkali kita menganggap masyarakat adat yang kental dengan tradisi pemanggilan arwah masih terkungkung dalam dunia imajiner. Kemudian pertanyaan adalah, perayaan Hari Kartini setiap tanggal 21 April sesungguhnya berisi harapan seperti apa? Raden Ajeng Kartini lahir tahun 1880. Ayahnya Bupati Jepara, seorang bangsawan progresif yang mengirim anaknya sekolah ke Belanda supaya mereka bisa mencicipi pendidikan modern, kebijakan pendidikan kolonial Belanda pada waktu itu sangat kaku, sesuai dengan kebijakan kolonial Belanda yang memang rasis: hanya Bangsawan tinggi Jawa yang boleh berbicara menggunakan bahasa Belanda kepada pejabat tinggi kolonial Belanda. Seperti yang digambarkan Pramoedya dalam Novel Gadis Pantai, Priyayi sangat pandai dan mengajari anak-anaknya dalam ilmu umum terutama pandai dalam bahasa Belanda serta disekolahkan dan setiap hari tetap belajar dengan rajin. Pada sistem Jawa masa priyayi cenderung bersifat feodalis kepada masyarakat bawah dan masyarakat bawah cenderung mentalitas berorientasi kepada atasan, hanya menunggu perintah atasan, patuh dan loyal secara berlebihan hingga merendahkan diri. Kartini yang dilahirkan sebagai anak seorang priyayi pun harus menuruti kemauan orangtuanya untuk menjalani ritual pingitan dan akhirnya menikah dengan bupati Rembang. Kartini meninggal waktu melahirkan anak pertamanya, tahun 1904. Kartini mempunyai cita-cita untuk membangun sekolah pondokan untuk anak perempuan seperti dia, dan ia ingin mengambil ijasah guru di Belanda, namun hingga akhir hayatnya impian tersebut belum dapat ia wujudkan. Soekarno dalam bukunya yang berjudul Sarinah pernah mengatakan bahwa feodalisme membuat perempuan seperti perpaduan antara seorang dewi dan seorang tolol. Perempuan dirumahkan karena dianggap mutiara yang harus dijaga dan mereka (Laki-laki) bisa menguasai ruang publik dengan bebas. Selama itu Kartini menulis surat kepada teman-temannya di Belanda. Surat-surat Kartini yang emosional, penuh pembrontakan, cerdas, dan hidupnya yang tragis terus membakar semangat perempuan-perempuan Indonesia untuk (berpenampilan) seperti dia. Kini namanya menjadi milik publik. Kartini bukan hanya menyumbangkan pemikirannya namun juga namanya yang dibesarkan oleh tulisan-tulisannya. Arwah Kartini dalam Teks Surat-surat Kartini memiliki kekuatan tersendiri disamping dengan adanya intervensi politik dari pemerintah untuk memasukkan dalam silabus pelajaran di tingkat sekolah dasar. Surat-surat Kartini yang dikirmkannya kepada sahabat penanya Zeehandelaar, Ovink-Soer, Abendanon, de Booij, J.M.P Van Kol-Porey berisi pergulatan batinnya sebagai kaum priyayi, sebagai perempuan dan sebagai orang yang terdidik. Menulis adalah senjata yang kuat untuk mengubah nasib perempuan dalam tradisi patriarki. Helene Cixous mengatakan bahwa perempuan harus menulis, perempuan harus memasukkan dirinya kedalam teks, kedalam dunia dan kedalam sejarah. Kartini telah melakukannya sejak masih kanak-kanak, Ketika kata "emansipasi" belum ada bunyinya. Teori-teori emansipasi tergantung pada suatu keyakinan bahwa posisi perempuan bias berubah dalam kerangka masyarakat yang ada, dimana teori-teori pembebasan mencakup transformasi kerangka social itu sendiri. Konsep emansipasi merupakan konsep sentral pada gelombang awal dan pertama feminisme dalam kampanya-kampanye mereka untuk memperjuangkan hak yang sama[1] Pada tingkat gagasan, Kartini sangat ideal. Ide-ide pembebasan dan kesetaraan telah ia kemukakan. Namun ternyata kita hari ini belum berhasil menerjemahkan gagasan tersebut dalam praktik bernegara dan bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena sejarah sosiologi kita adalah sejarah feodalisme. Para pengambil keputusan masih banyak yang cenderung memakai referensi nilai kebudayaan yang bias gender. Qasim Amin dalam bukunya Sejarah Penindasan Perempuan mendefinisikan kemerdekaan sebagai sebuah independensi pemikirian, kehendak, dan tingkah laku, selama tidak melebihi batas keabsahan dan mampu memelihara standar moral masyarakat.[2] Hal itu berarti kemerdekaan tidak melebihi batas dan standar moral masyarakat (patriarki). Padahal akar masalah dari kesenjangan relasi gender berpusat di lingkungan. Lingkungan melakukan jutifikasi atas tindakan-tindakan perempuan yang mereka anggap telah menyalahi standar moral masyarakat. Begitu juga Kartini yang selama hidupnya dikurung dalam sangkar emas tradisi priyayi Jawa. Ketika tingkah laku dan kehendak tidak bisa merdeka, Kartini mencoba mengisi ruang-ruang kosong dengan pemikiran-pemikirannya melalui teks. Model perjuangan para pahlwan tidak harus serupa. Tjoet Nja’ Dhien harus berperang mengangkat senjata karena kondisi dan kompetensi Tjoet Nja’ Dhien memungkinkan mengambil tindakan perang. Lain hal dengan Dewi Sartika yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri, Dewi Sartika mendapat dukungan dari pamannya Bupati Martanagara yang mempunyai cita-cita yang sama. Kemudian Kartini menulis, bercerita, dan bahkan melampiaskan kemarahannya dengan pena. Pemikirannya menjadi senjata Kartini dan teks menjadi temannya selama hidup. Keinginan Kebebasan dan Kemerdekaan Kartini tuangkan kedalam teks. Akhirnya melalui teks, Pengalaman Kartini (Perempuan) dilegitimasi sebagai sebuah Pengetahuan dan didokumentasikan dalam sebuah judul besar “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Perjuangan kartini melalui gagasan-gagasanya ini mengingatkan saya pada sosok fisikawan yang sangat berjasa dalam dunia sains, Stephen Hawking. Stephen menderita penyakit amyotrophic lateral sclerosis yang menyerang sel saraf sehingga menyebabkan kelumpuhan. Tubuh Hawking lumpuh tapi tidak dengan otaknya. Dalam tubuh yang terpenjara oleh penyakit, Hawking tetap berfikir bebas dan revolusioner dalam bidang sains kemudian mendokumentasikannya dalam buku “A Brief History of Time”. Itulah mengapa gagasan menjadi sebuah penting bagi kemaslahatan umat. Perjuangan Pendidikan Belum Usai “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.[3] Isi surat-surat Kartini tentu bukan sekedar deskripsi situasi di lingkungannya pada zaman itu. Surat-surat kartini memiliki kekuatan isi mengenai ide pendidikan untuk perempuan yang menjadi hutang peradaban. “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan”[4] Pendidikan bagi Kartini bukan hanya sebatas pendidikan formal dari Sekolah Dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Pembangunan sumber daya manusia kini menjadi sangat penting untuk menghadapi tantangan kemajuan teknologi. Namun lagi-lagi peradaban (laki-laki) mempunyai sumbangsih besar terhadap ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan. Perempuan hebat lainnya kini hadir di tengah-tengah ketertinggalan 6,2 Juta perempuan yang buta aksara. Seperti Butet Manurung yang mengabdikan dirinya untuk mendidik anak-anak di rimba, Jambi. Kemudian turut hadir juga institusi formal yang memfasilitasi perempuan dibidang keahlian dasar untuk modal agar perempuan bisa survive. Contohnya adalah Sekolah Perempuan adalah sekolah alternatif bagi perempuan yang didirikan oleh Institut Mosintuwu sejak tahun 2010, Institut KAPAL (Lingkaran Pendidikan Alternatif) Perempuan dan masih banyak lainnya. Mengutip dari pernyataan Anies Baswedan bahwa “Mendidik adalah tugas orang terdidik” yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar & Menengah dan Kebudayaan Kabinet Kerja Jokowi-JK. Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan gender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP. Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan gender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki.[5] Hasil wawancara Jurnal Perempuan dengan Prof. Dr. Fasli Jalal PhD, Wakil Menteri Pendidikan Nasional periode 2009-2014, Fasli Jalal mengatakan bahwa hasil dari penelitian menujukkan bahwa 72% dari alasan perempuan tidak sekolah disebabkan faktor ekonomi. Kemudian 8% karena kawin muda, dan 12% karena sekolah tidak ada atau jauh terpencil.[6] Tradisi menikahkan anak perempuan di usia kanak-kanak masih sering terjadi. Kecenderungan perempuan untuk menghentikan karirinya demi menikah juga bisa ditelusuri dari pandangan misoginis yang melihat perempuan sebagai penyebab dosa (the original sin of being female) atau “Dosa asal semenjak ia dilahirkan”. Melalui kaca mata sosiologi, terdapat banyak pendapat yang mengatakan bagi kebanyakan perempuan, menjadi seorang ibu dan istri adalah hal terpenting dalam hidup mereka. Seperti Anne Wilson Achaef dalam bukunya Women’s Reality: An emerging Female System in A White Society. Menurutnya the perfect marriage atau perkawinan yang sempurna adalah dambaan bagi semua perempuan.[7] Konsep ini terlahir dari proses pembelajaran yang diterima perempuan sejak kecil dari lingkungan. Apakah pendidikan cukup untuk mengangkat martabat perempuan? Dalam konteks masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh ideologi patriarki, proses pembongkaran kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hal yang mudah. Hegemoni perayaan hari Kartini setiap tahun belum relevan dengan cita-cita luhur kartini. Feodalisme masih berlaku dengan wujud yang berbeda. Kesenjangan pendidikan terawat dengan baik. Tidaklah heran jika Arwah Kartini masih menghantui dunia pendidikan Indonesia. Catatan Belakang: [1] Humm, Maggie. Ensiklopedia Feminisme, Fajar Pustaka Baru.2002 [2] Leli Nurohmah, Mendefinisikan Kemerdekaan bagi Perempuan, Swara Rahima, No. 19 Th. VI Agustus 2006 [3] Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901 [4] Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902. [5] Lembar Fakta Pendidikan untuk Anak Perempuan di Indonesia. [6] Wawancara, “Minimnya Kesadaran Pendidikan untuk Perempuan”. Jurnal Perempuan No.70 Th. 2011. [7] Wafiroh, Nihayatul. “Menikah atau Kuliah?”. Swara Rahima No. 22 Th. VII Agustus 2007. Daftar Pustaka: R.A Kartini. 2014. Emansipasi: surat-surat Kartini Kepada Bangsanya 1899-1904. Jalasutra Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Cetakan ketiga. Jakarta: lentera Dipantara. Soekarno. 1963. Sarinah. Cetakan Pertama. Panitia Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Soekarno. Lembar Fakta Pendidikan untuk Anak Perempuan di Indonesia. Diakses di http://www.unicef.org/indonesia/id/Facts_Sheet_on_Girls_Education_IND_.pdf. pada 20 April 2015 pukul 15.00 28/7/2015 02:27:20 am
<a href=http://jellygamattradisional.com/>obat tradisional jelly gamat</a> 21/4/2017 12:52:12 am
nice article for you, i very happy in here your web. Regards success always for you. 28/5/2017 11:58:23 pm
saya senang sekali bisa membaca apa yang telah anda utarakan. 16/6/2017 10:04:08 pm
Wow, amazing blog layout! How long have you been blogging for? you made blogging look easy. The overall look of your website is fantastic, as well as the content! 10/9/2017 04:43:36 pm
<a href="http://kapsulgamatemaswalatra.com">Kapsul Gamat Emas Walatra</a> Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |