Selama beberapa hari kemarin media sesak oleh pemberitaan muktamar baik NU maupun Muhammadiyah. Wajar saja, dua Ormas besar Islam ini sejak didirikan memang selalu mewarnai kontestasi sosial dan politik nasional, menjadi bagian dari pelopor kemerdekaan Indonesia melalui para dedengkotnya. Saya kira telah banyak yang memberi ulasan (yang terkesan kompetitif) dari masing-masing simpatisan maupun kader mengenai teduh atau gaduhnya muktamar yang kesemuanya lumayan membuat jenuh. Diskursus Islam Nusantara versus Islam Berkemajuan seperti sebelumnya pun ramai menguap begitu saja ketika muktamar tengah berlangsung. Hal yang paling membuat saya gatal adalah karena seluruh pemberitaan juga ulasan ternyata belum ada yang membubuhi analisis gender dalam perhelatan muktamar kali ini. Seolah-olah muktamar berjalan normal sedemikian adanya, jikapun ada celah kecacatan yang diwacanakan, pastilah terkait mekanisme jalannya acara atau unsur politis yang terjadi di dalamnya. Meskipun demikian, ternyata ada sedikit media online yang mereproduksi suara-suara kader perempuan di masing-masing Ormas ini dalam pemberitaannya. Norma Sari (ketua umum PP Nasyiatul Aisyiyah) beberapa hari lalu mencoba menyentil isu keanggotaan formatur dalam muktamar Muhammadiyah dan dimuat oleh beberapa media online. Kemudian kader Muslimat NU, Hj. Nihayatul Wafiroh menyinggung tentang persoalan-persoalan gender yang diharapkan bisa hadir dalam pembahasan muktamar kemarin. Jika diamati, sejak perhelatan tema muktamar digulirkan melalui diskursus Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan rata-rata opini yang bergulir didominasi oleh kader laki-lakinya. Masing-masing saling mengkritik dengan semanis mungkin terkait tema yang ditawarkan, muaranya sebenarnya satu, yaitu menuju pada “Respon Peradaban Global” saat ini. Bagaimana masing-masing dari keduanya menawarkan konsep ber-Islam yang mampu bersinergi sekaligus menjawab tantangan globalisasi. Ada juga yang gencar mewacanakan akan merancang blue print tentang konsep Ekonomi Islam, hal ini relevan karena kita akan bergelut dengan AEC di penghujung nanti. Mengacu pada road map ASEAN Community, setidaknya ada tiga aspek yang menjadi penting untuk dihadapi yakni masalah keamanan, ekonomi dan budaya. Dalam persoalan budaya sendiri terdapat salah satu agenda penting yang harusnya senantiasa dirawat, yakni keadilan gender! Namun, menjadi paradoks ketika ormas-ormas yang kian progresif tersebut ternyata tidak satupun melibatkan perempuan dalam calon formaturnya. NU menetapkan 9 orang formatur yang tentu saja semuanya adalah para ulama laki-laki, demikian pun Muhammadiyah memilih dan menetapkan 13 calon formatur yang seluruhnya adalah kader laki-laki, meskipun dalam bakal calon formatur sebelumnya terlibat empat kader perempuan. Dimanakah kader-kader perempuan mereka? Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke muktamar jika sekadar ingin mengamati betapa masih keringnya kesetaraan gender di dalam ormas. Lihatlah pada struktur kepengurusan dari masing-masing Ormas, hampir tidak ada perempuan dalam struktural pimpinannya. Di Muhammadiyah misalnya, hanya terdapat satu perempuan yang secara ex-officio diwakili oleh ketua umum PP Aisyiyah, itu pun di bagian pemberdayaan perempuan dan anak, dan satu lagi di dalam unsur pembantu, yakni majelis DIKTInya. Biasanya konter dari isu tidak adanya keterwakilan dalam anggota tetap formatur di Muktamar ini berupa penyataan sudah adanya ruang tersendiri untuk mewadahinya. Misalnya pendapat Norma Sari yang dijawab oleh ketua umum Muhammadiyah, Din Syamsudin (dimuat di media online yang sama) yakni perempuan telah terwadahi di Aisyiyah. Dalih bahwa perempuan telah disediakan ruang di organisasi atau badan otonomnya ini justru mengindikasikan bahwa Ormas islam yang merancang agenda dakwahnya sesuai konteks perkembangan zaman ini diam-diam masih mengenderkan sebuah “ruang”. Bahwa ada wilayah laki-laki dan wilayah perempuan. Lebih menggelikan lagi ialah ketika pola yang dibangun di dalamnya membentuk suatu struktur layaknya pola keluarga. Misalnya, Muhamamdiyah berperan sebagai ayah, sementara Aisyiyah sebagai ibu yang kemudian melahirkan Pemuda Muhammadiyah sebagai anak laki-laki dan Nasyiatul Aisyiyah sebagai anak perempuan. Kemudian contoh lain adalah NU sebagai ayah, Muslimat NU sebagai ibu yang kemudian melahirkan GP Ansor (Gerakan Pemuda Ansor) sebagai anak laki-laki dan Fatayat NU sebagai anak perempuan. Jika demikian, kita lalu bisa mengidentifikasi lebih lanjut jenis relasi seperti apa yang terjalin diantara mereka, meminjam tawaran Scanzoni, apakah (1) Property Owner (2) Head Complement (3) Senior-Junior Complement, ataukah (4) Equal partnership. Untuk mengukurnya kita pun bisa melihat aktivitas dakwah politik dan kulturalnya. Mungkin kita akan sepakat bahwa memang peran ayahlah yang terlalu dominan di kancah struktural maupun kultural, dialah yang berperan sebagai kepala keluarga. Dengan begitu relasi yang dibangun masihlah lebih kepada Senior-Junior Complement. Sementara istri dibatasi pada isu-isu perempuan, celakanya lagi ketika gender masih diyakini sebagai ranah perempuan (semata). Sebenarnya bukannya tidak pernah ada perbincangan terkait perihal gender di masing-masing Ormas maha penting ini. NU dalam Munas di NTB tahun 1997 pernah menghadirkan perdebatan ini, PB NU yang sekarang menjabat adalah salah satu yang berada di pihak kepeloporan perempuan, sementara masih ada yang bersikeras meruangkan wilayah antara perempuan dan laki-laki, setidaknya ketika berlangsungnya forum itu terdapat (beberapa) perwakilan dari Muslimat dan Fatayat yang dengan tegas menjelaskan betapa butuhnya suara mereka didengar dalam perkumpulan yang luhur tersebut. Berkat Gus Dur yang mendorong keras ulama-ulama NU waktu itu akhirnya persoalan kepemimpinan perempuan dapat diterima sebagai keputusan yang didokumentasikan dalam Makanah Al-Mar’ah Fil Islam (Kedudukan Perempuan dalam Islam). Begitu pun Muhammadiyah, sejak 1975 pernah mengangkat isu gender dan lebih spesifiknya lagi tentang kepemimpinan perempuan dalam muktamarnya. Tidak berbeda jauh dengan NU, pro dan kontra masih menyelimuti forum tersebut dan karena panjangnya perdebatan tersebut, akhirnya baru di tahun 2010 saat muktamar di Malang ada keputusan tentang diperbolehkannya kepemimpinan perempuan, dan terbitlah buku Adabul Mar’ah fil Islam (Adab Perempuan dalam Islam) yang mana topik didalamnya adalah hasil perhelatan muktamar tahun 1975. Sayang sekali, masih terdapat bias yang disajikan dalam dokumen-dokumen tersebut baik Makanah Al Mar’ah Fil Islam maupun Adabul Mar’ah Fil Islam. Meskipun demikian, telah ada lompatan besar dalam perihal kesetaraan gender di masing-masing Ormas ini, yakni terbukanya peluang perempuan untuk terjun ke ranah struktural. Melalui muktamar tahun ini, kita akhirnya dapat melihat bahwa Ormas islam masihlah dalam tahap ingin menampilkan sosok perempuan pemimpin namun belum ingin mengakui kepemimpinan perempuan. Padahal Ormas sebesar NU dan Muhammadiyah yang visi misinya mendorong penuh kemajuan bangsa, tentu saja dalam program-program dakwahnya memerlukan perspektif gender, apalagi pengaruh globalisasi yang demikian masifnya hari ini membuat urusan perempuan tidak dapat diruangkan secara khusus dan masih dibatasi dengan nomenklatur “Pemberdayaan Perempuan” karena seluruh faktor dalam kehidupan dan kultur sosial kita memerlukan perspektif feminis kaum perempuan. Bukan hal mudah mendorong Ormas keagamaan untuk mengaplikasikan (bukan sekadar mewacanakan) prinsip kesetaraan itu, bukan karena tidak ada kader dengan semangat pembaharuan di dalam keduanya, namun individu-individu yang masih terjerat tafsir agama konservatif juga kultur dalam Ormas itu sendiri menjadi tameng yang tak kalah kokoh. Betapa pun revolusionernya pesan Alquran dan As Sunnah (yang menjadi instrumen utama dalam sumber hukum islam) dalam menjunjung nilai kesetaraan gender hanya akan ditepis dengan kuatnya keyakinan literal dalam interpretasi ayat. Hal ini seperti yang terjadi pada gerakan-gerakan perempuan yang berbasis keagamaan pada masa orde lama dimana mereka berada di garis keras menentang kelompok perempuan progresif seperti Gerwani, karena Gerwani (sebelum terkooptasi oleh kepentingan politik) mengusung wacana-wacana progresif yang menurut mereka membelot terhadap teks Alquran dan As sunnah, salah satunya yang paling gencar saat itu ialah poligami. Aisyiyah, Muslimat NU dan juga beberapa gerakan perempuan berbasis agama lainnya, menentang usulan Gerwani terkait aturan monogami, meskipun secara individu beberapa dari mereka mendukung. Pakem bahwa perempuan yang indah ialah yang menurut, dan telah menjadi kodrat perempuan untuk menjadi pendamping (jika bukan pengekor) laki-laki adalah pedoman yang tak bisa dilanggar. Kalaupun ingin berjuang cukuplah di ranah-ranah kultural dan privat, itulah wanita muslim yang sejati, calon bidadari surga. Setidak-tidaknya dari seluruh pemberitaan atau yang lebih mirip membanding-bandingkan antara satu sama lain, kini kita menemukan sebuah persinggungan antara keduanya, yakni baik NU maupun Muhammadiyah masihlah belum usai dalam urusan menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Anggaplah muktamar kali ini sebagai penanda (lagi) untuk kader-kader perempuan persyarikatan agar lebih giat memproklamirkan eksistensinya. Di sinilah energi dari kader-kader muda memiliki potensi lebih dalam memutus kultur patriarkat tersebut. Daftar Pustaka: Dr. Jamal Ma’mur, MA. 2015. Rezim Gender Di NU. Pustaka Pelajar. Ruhaini Dzuhayatin, Siti. 2015. “Rezim Gender dan Implikasinya Terhadap Perempuan Di Muhammadiyah”. Disampaikam dalam diskusi publik “Pandangan Muhammadiyah terhadap Perempuan” 4-7 April 2015 di UIN Sunan Kalijaga. PP Muhammadiyah. 2010. Adabul Mar'ah Fil Islam. Suara Muhammadiyah. Wieringa, Saskia. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI. Yogyakarta: Galang Press. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/02/078688518/tak-ada-calon-pimpinan-perempuan-aisyiyah-meradang http://www.antaranews.com/berita/510959/din-keterwakilan-perempuan-muhammadiyah-di-aisyiyah http://islamnesia.com/2015/08/aktivis-perempuan-nu-berharap-isu-gennder-diangkat-di-muktamar/ Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |