Objektifikasi Perempuan oleh Media: Pembakuan Identitas Perempuan dan Dominasi Kekuasaan Laki-laki4/3/2015
Pencitraan Perempuan oleh Media: Eksploitasi Tubuh Perempuan sebagai Objek Kepuasan Lelaki Media massa, sebagai sumber informasi dan rekreasi, telah menjadi bagian penting dalam kehidupan di era teknologi. Manusia hidup bersama dengan media dan dalam prosesnya juga dibombardir berbagai hal dan informasi oleh media. Media sanggup memberikan berbagai macam hal baru bagi para penggunanya, bahkan dalam beberapa fenomena, media juga dapat mengubah serta mengarahkan situasi sosial dari masyarakat penggunanya. McQuail (2004) menyebutkan[1] “Mass communication brings about or facilitates the existence of mass audiences, consensus on opinions and beliefs, mass consumer behavior, mass politics and other features of the so-called mass society.” Jadi, media mampu menimbulkan adanya audiens atau konsumen dalam jumlah banyak, serta mampu menyamakan opini dan kepercayaan serta sikap dari penggunanya. Dalam hubungannya dengan kehidupan sosial manusia, pengaruh media massa juga terasa pada kehidupan sosial perempuan. Stigma dan stereotip yang terbentuk di masyarakat mengenai perempuan sedikit banyak dipengaruhi oleh media. Media menyajikan citra perempuan secara arbitrer atau sewenang-wenang, seringkali tanpa memikirkan dampak yang bisa timbul dari citra yang dibangun tersebut. Citra perempuan yang dibangun dalam media disesuaikan dengan kebutuhan para pelaku bisnis dan industri yang berada di belakang layar. Seringkali perempuan dijadikan objek agar tujuan industri tercapai, misalnya rating yang tinggi. Perempuan dijadikan sebagai objek melalui cara yang bervariasi. Cara yang paling ampuh dan paling sering digunakan adalah dengan melakukan eksploitasi berlebihan terhadap tubuh perempuan. Menurut Sharma (2012), “Although the media has played an important role in highlighting women’s issues, it has also had negative impact, in terms of perpetrating violence against women through pornography and images of women as a female body that can be bought and sold.” Eksploitasi tubuh perempuan yang divisualisasikan dalam bentuk konten media seolah-olah menjadikan tubuh perempuan sebagai alat tukar dengan keuntungan pelaku industri. Tubuh perempuan yang diekspos oleh media menjadikan perempuan sebagai objek yang bisa diperjualbelikan, dengan timbal balik berupa rating, laba industri, peningkatan pengguna media massa dan seterusnya. Fredrickson dan Roberts (1997) membuat sebuah teori yang bernama Objectification Theory. Asumsi pusat dari teori ini adalah “...that women exist in a culture which their bodies are ‘looked at, evaluated, and always potentially objectified”. Kultur di dalam masyarakat yang kemudian sampai kepada media dan segala alur konten di dalamnya—juga sebaliknya, penggambaran dari media yang sampai kepada masyarakat—selalu menempatkan tubuh perempuan sebagai salah satu hal yang bisa ditangkap oleh mata dan kemudian dijadikan objek. Identitas perempuan dan laki-laki juga seringkali dibedakan dalam kemunculan mereka di media. Terlihat perbedaan dalam ditampilkannya citra laki-laki dan perempuan oleh media. Laki-laki biasa berperan sebagai subjek, yang memiliki kendali dan hasrat terhadap perempuan, sedangkan perempuan berperan sebagai objek, terlebih objek fantasi laki-laki, yang mempertontonkan bagian tubuhnya agar laki-laki mendapatkan kepuasan. Situasi ini yang digambarkan dalam banyak iklan, film, gambar, suara dan jenis-jenis bentuk visual maupun auditori lainnya dalam media massa. Contoh iklan yang menunjukkan adanya perbedaan situasi tersebut adalah iklan parfum laki-laki, Axe. Dalam iklan-iklan Axe, storyline iklan adalah seorang laki-laki yang sedang menyemprotkan parfum ke tubuhnya, dan tidak beberapa lama berselang, beberapa perempuan berpakaian minim dengan kostum bersayap jatuh dari langit-langit ruangan tempat dimana laki-laki tersebut berada. Setelahnya, perempuan-perempuan tersebut mulai menempelkan tubuh mereka pada tubuh si laki-laki dan ekspresi wajah si laki-laki kemudian berubah menjadi senang. Hal lain yang menunjukkan bahwa perempuan dijadikan objek dalam industri dan media adalah ketika perempuan banyak sekali muncul dengan pose vulgar dan pakaian yang seksi dalam iklan-iklan mobil mewah. Selama ini dalam media mobil mewah diasosiasikan sebagai salah satu bentuk maskulinitas, salah satu produk milik lelaki. Namun dalam iklan komersial mobil-mobil mewah tersebut banyak ditonjolkan visual perempuan yang seksi, biasanya digambarkan sedang duduk di atas kap mobil atau di dalam mobil. Selain itu, biasanya dalam iklan, para perempuan akan mulai mendekati lelaki ketika lelaki tersebut sedang membawa mobil mewahnya. Situasi seperti ini menunjukkan bahwa perempuan adalah “sesuatu” yang dapat dibeli atau dibuat mendekat dengan cara yang mematenkan maskulinitas lelaki, salah satunya dengan jalan mempunyai mobil mewah. Lelaki seolah mempunyai kekuasaan terhadap perempuan karena mampu membuat perempuan “tunduk” dihadapannya. Iklan lain yang sangat menonjolkan ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan adalah iklan “obat kuat” atau stimulan seksual. Dalam iklan stimulan seksual, biasanya perempuan digambarkan sebagai pribadi yang tunduk, kalah dan harus melayani lelaki. Laki-laki digambarkan memiliki kontrol seksual terhadap perempuan ketika ia sudah mengonsumsi stimulan seksual tersebut, dan perempuan hanya bisa pasrah terhadap kontrol tersebut. Perempuan harus memenuhi apa yang menjadi keinginan lelaki, dan perempuan harus melayani keinginan tersebut. Ada juga contoh film yang menjadikan tubuh perempuan sebagai objek dan sarana untuk dieksploitasi. Misalnya, di ranah Hollywood, film yang menunjukkan bahwa perempuan adalah sumber kepuasan bagi laki-laki adalah film Don Jon (2013) yang menceritakan kisah mengenai seorang laki-laki bernama Jon yang adalah pecandu film porno dan pecandu hubungan seks bebas dengan perempuan. Perempuan-perempuan yang ada di dalam film ini ditunjukkan mengenakan pakaian seksi dan dengan sukarela menjadi “teman tidur” bagi Jon. Berulang kali ditunjukkan di dalam film ini adegan Jon sedang melakukan masturbasi saat menonton video porno di internet. Adegan di dalam video porno yang sedang ditonton oleh Jon juga ditunjukkan dan dijelaskan bahwa Jon lebih suka menonton video porno ketika hanya ada tokoh perempuan saja yang memerankan, tanpa ada tokoh laki-laki. Ia merasa sangat terpuaskan dengan menonton video porno dengan pemeran perempuan, sementara ia merasa terganggu jika ada laki-laki yang berperan sebagai pasangan seks si perempuan dalam video tersebut. Di ranah film Indonesia, film-film yang mengobjektifikasi perempuan biasanya adalah film-film setengah horor setengah porno yang mulai dari tahun 2010 sampai saat ini banyak dibuat di Indonesia. Judul-judul yang diberikan oleh para pembuat film biasanya judul yang kontroversial dan vulgar, seperti misalnya Rintihan Kuntilanak Perawan (2010), Hantu Puncak Datang Bulan (2010) Pelukan Janda Hantu Gerondong (2011), Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011), dan Pacar Hantu Perawan (2011). Semua sutradara dari kelima film yang disebutkan di atas adalah laki-laki. Dari judul-judul tersebut, dapat dilihat bahwa pemilihan kata-kata yang ada hubungannya dengan perempuan seperti “perawan”, “datang bulan”, “janda”, “goyang pinggul” digunakan oleh para pembuat film dengan maksud dan tujuan tertentu. Bisa jadi maksudnya adalah untuk mendongkrak jumlah penonton dengan cara membuat judul yang dapat membangkitkan rasa penasaran seksual dari orang-orang yang menonton, khususnya laki-laki. Selain peninjauan dari segi judul, peninjauan sebuah film tentu saja lebih krusial jika dilihat dari konten dan pesan moral di dalam alur ceritanya. Namun seringkali, film-film horor bertendensi porno seperti judul-judul film tersebut memiliki alur cerita yang sangat minim dengan pesan moral. Adegan yang seringkali ditunjukkan adalah adegan perempuan yang sedang mandi dengan sudut ambil kamera diletakkan lebih tinggi dari si pemeran perempuan sehingga bagian tubuh seperti payudara dan bagian belakang tubuh terlihat, atau adegan perempuan-perempuan berpakaian seksi atau tidak berpakaian sama sekali sedang melakukan suatu kegiatan. Sisi porno film seolah menjadi inti cerita, sedangkan horornya sendiri terkesan hanya menjadi bumbu cerita. Adegan-adegan yang seringkali memperlihatkan tubuh perempuan sebagai objek menunjukkan bahwa perempuan diposisikan sebagai pemuas keingintahuan dan nafsu penonton akan seksualitas. Eksploitasi tubuh perempuan tidak hanya digunakan dalam iklan dan film saja, namun juga game online yang ada di internet. Sebuah game bernama Undress a Girl dalam situs www.flash-game.net adalah permainan dimana si pemain bisa melucuti pakaian perempuan ketika ia berhasil menangkap dua puluh bir yang jatuh dengan cara mengklik mouse pada bir-bir tersebut. Game lain yang bernama World Racing 2 juga menunjukkan animasi visual seorang perempuan yang berdiri di depan sebuah mobil dengan pose yang vulgar dengan pakaian yang minim pula sedang memegang bendera yang dipakai dalam permainan balap tersebut. Banyaknya penggambaran perempuan di media massa sedikit banyak memengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat terhadap perempuan. Meskipun penentuan identitas secara arbitrer tersebut belum tentu benar dan tidak bisa digeneralisasi, media tidak dapat dipungkiri menjadi sumber kultivasi besar dalam pembentukan persepsi masyarakat mengenai identitas perempuan. Selain itu, dalam penggambaran mengenai perempuan oleh media dapat dilihat adanya dominasi dari laki-laki kepada perempuan, dengan cara menjadikan perempuan sebagai objek kepuasan seksual laki-laki. Laki-laki digambarkan memiliki kekuasaan terhadap perempuan dalam apa yang dipaparkan oleh media. Penggambaran mengenai identitas dan degree of power yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan dapat memengaruhi realitas kehidupan sosial dan hubungan antara laki-laki dan perempuan di dunia nyata. Perempuan dalam Media, Filsafat Identitas dan Filsafat Kekuasaan Kesadaran kognitif seseorang mengenai identitasnya dapat memengaruhi perilakunya dalam kehidupan sosial. Jika laki-laki dan perempuan sama-sama memahami identitasnya berdasarkan apa yang selama ini tersedia dalam media, maka perilaku laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial juga akan menjadi seperti apa yang digambarkan secara implisit oleh media, yakni laki-laki sebagai pemegang kekuasaan terhadap perempuan dan perempuan sebagai pihak yang didominasi oleh laki-laki. Akhirnya timbul hierarki identitas antara laki-laki dan perempuan, dipisahkan oleh perbedaan degree of power (derajat kekuasaan) yang mereka miliki. Karena itulah, fenomena penggambaran perempuan oleh media dalam artikel ini akan ditinjau dari segi filsafat identitas dan filsafat kekuasaan. Filsafat Mengkaji Identitas: Beyond Media’s Content Manusia, sebagai seorang individu yang juga adalah bagian dari masyarakat, memiliki identitasnya sendiri. Identitas yang dimiliki oleh manusia tidak hanya sekadar meliputi status dan perannya dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial, namun sesuatu yang lebih dalam daripada hanya sekadar apa yang tampak secara jelas dan apa yang dapat dilihat oleh lingkungan sekitar dan masyarakat. Hal inilah yang salah satunya dibahas dalam filsafat. Filsafat adalah ilmu yang mengajarkan kepada manusia agar tidak berhenti bertanya, agar selalu mempertanyakan segala sesuatu sampai kepada penemuan-penemuan baru yang semakin mendekati realitas. Dalam hubungannya dengan identitas manusia, manusia berfilsafat atau mempertanyakan secara lebih esensial dan lebih mendalam mengenai identitasnya. Identitas yang selama ini ia “kira” ia miliki, dipertanyakan ulang, apakah benar demikian keadaannya. Identitas yang dimiliki manusia tentunya berbeda-beda satu dengan yang lain. Ada beberapa hal dalam diri manusia yang dapat memengaruhi identitas manusia. Grayson (2012) menyebutkan bahwa, “One intrinsically ‘owns’ a few things about oneself, such as physical characteristics, and possesses a few, such as knowledge or skills. None of these by themselves, however, constitute an identity. They are characteristics: often unique and always inherent in the person. So, although they may be unique themselves, it is wrong to suggest that DNA or fingerprints or speech patterns are an identity. The DNA profile is an identifying characteristic; similarly, fingerprints and specific professional accreditations are not identities, but identifiers.” Grayson menjelaskan bahwa manusia memiliki banyak karakteristik dalam dirinya yang menjadi ciri khas sebagai ke-aku-annya, namun karakteristik manusia berbeda dengan identitas, meskipun karakteristik tersebut digunakan sebagai sesuatu yang dapat mengacu kepada identitas seseorang. Grayson selanjutnya menyatakan, “Identifying characteristics are given power as contributory parts of an identity only after they are recognized by others. Thus identity, for our purpose, does not inhere within us; it is a social construct and granted by others.” Manusia memang memiliki “identifying characters” atau karakter yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dirinya, namun karakter tersebut hanyalah sebagian dari identitasnya yang sebenarnya. Identitas yang dimiliki oleh seseorang dibuat menjadi identitasnya ketika orang lain mengakui bahwa ia memang memiliki identitas tersebut. Manusia tidak menentukan identitasnya sendiri, karena lingkungan tempat dimana ia menunjukkan perilaku sosialnya yang akan menentukan identitasnya. Namun, bukan berarti manusia tidak bisa memandang ke dalam dirinya sendiri untuk mengetahui identitasnya yang sesungguhnya. Hanya saja, manusia memandang dirinya dari gambaran atau asumsinya mengenai gambaran orang lain terhadap dirinya. Jadi, manusia dapat memandang dan menentukan identitasnya sendiri, namun identitas tersebut tetap saja kembali lagi pada apa yang dipikirkan orang lain mengenai dirinya. Manusia tidak menentukan identitasnya sendiri, karena ia tidak memiliki kapabilitas dan ruang untuk hal tersebut. Situasi unik inilah yang dijabarkan oleh Cooley dengan teorinya, yakni teori Looking-glass Self. Prinsip dasar dari teori ini adalah: 1) The imagination of our appearance to the other person 2) The imagination of the other person’s judgments on that appearance 3) Some sort of self-feeling, such as pride or mortification. Dari teori ini dapat dilihat dengan lebih jelas bahwa identitas manusia dipengaruhi oleh apa yang ia pikir merupakan pandangan orang lain terhadap dirinya. Pada akhirnya, ia akan menghadapi perasaan tertentu dari apa yang ia kira orang lain pikirkan tentangnya, baik itu kepuasan maupun ketidaknyamanan. Kesadaran kognitif manusia mengenai apa yang dipandang orang lain terhadapnya kemudian menjadi refleksi dari identitasnya sebagai seorang manusia, sebagai seorang being, sebagai seorang person, sebagaimana yang dijelaskan oleh John Locke bahwa person adalah “a thinking intelligent being, that has reason and reflection, and can consider itself as itself, the same thinking thing, the different times and places”. Manusia dikatakan sebagai manusia yang memiliki identitas ketika ia mampu memandang dirinya sebagai dirinya, dengan alasan tertentu dan dengan kemampuan merefleksikan dirinya di lingkungan sekitarnya. Hubungan timbal balik antara manusia dan masyarakat di sekitarnya dapat membantu manusia menangkap refleksi tentang dirinya, yakni berdasarkan apa yang diberikan masyarakat kepadanya sebagai feedback atas tingkah lakunya. Cara masyarakat memperlakukan seorang individu, cara masyarakat berinteraksi dengan individu, dan cara masyarakat berkomunikasi dengan individu berbeda-beda, dan perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor identitas individu tersebut di masyarakat. Individu akan menangkap cara perilaku masyarakat terhadapnya dan dari hal inilah dia kemudian akan mengetahui dan menyadari identitasnya di mata masyarakat. Dalam hubungannya dengan media dan penggambaran perempuan di dalam media, filsafat identitas berusaha mendalami mengenai apa yang terjadi di balik penggambaran dan pemberian identitas perempuan oleh media. Filsafat identitas mempertanyakan perbedaan identitas perempuan dan laki-laki seperti apa yang coba ditanamkan oleh media kepada masyarakat. Filsafat identitas berusaha menggali lebih dalam mengapa media secara sewenang-wenang mempresentasikan identitas perempuan sebagai objek dan mengapa perempuan diberi identitas sebagai pihak yang diseksualisasikan dalam media. Filsafat Mengkaji Kekuasaan: Degree of Power Between Men and Women Kekuasaan dalam filsafat seringkali dikaji melalui lensa politik. Kekuasaan diasosiasikan dengan politik, karena dalam politik, kekuasaan diperebutkan dan diperjuangkan. Namun, konsep dasar dari kekuasaan yang ditinjau dari segi filsafat tetap memiliki substansi yang sama dengan kekuasaan yang dibahas di ranah lain selain ranah politik. Dalam hal ini, kekuasaan yang dibahas adalah kekuasaan dalam ranah sosial, yaitu perbedaan derajat kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Max Weber (1983) mendefinisikan kekuasaan sebagai “the probability the actor within a social relationship will be in position to carry out his own will despite resistance, regardless of the basis on which this probability rests”. Weber menyatakan bahwa seorang pelaku dalam kehidupan sosial akan selalu berada dalam posisi siap untuk memberlakukan kehendaknya sendiri, meskipun ada perlawanan dari pihak lain. Manusia berusaha memberlakukan kehendaknya, termasuk terhadap orang-orang lain di sekitarnya, karena manusia adalah makhluk yang pada dasarnya tidak akan pernah puas. Jika ia tidak mendapatkan kekuasaan, ia akan berusaha mencari kekuasaan. Jika ia sudah mendapatkan sedikit kekuasaan, maka ia akan berusaha memperbesar derajat kekuasaannya tersebut. Kekuasaan dalam kehidupan manusia, baik disadari maupun tidak disadari, ternyata salah satu hal yang paling diminati dan dipikirkan oleh banyak orang. Goldman (1992) menyatakan bahwa “Power has, of course, been much-desired object throughout human history and thought.” Selanjutnya, Goldman menyatakan bahwa “Life is grounded on a will to power, on “a will to overcome, a will to throw down, a will to become master, a thirst for enemies and resistances and triumphs.” Hidup manusia dikuasai oleh keinginan untuk berkuasa. Manusia memiliki kemauan untuk menguasai, untuk menjadi penguasa, untuk menang dan untuk membuat takluk orang lain. Kekuasaan menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia, karena dengan kekuasaan, manusia mampu memaksakan keinginan dan kehendaknya terhadap orang lain. Manusia mampu membuat orang lain melakukan apa yang ia inginkan, entah orang tersebut sebenarnya ingin melakukannya atau tidak. Nietzche mengatakan, “the fundamental instinct of life ... aims at the expansion of power.” dan “Above all something living wants to discharge its strength—life itself is a will to power.” Pernyataan Nietzche yang lebih ekstrim tersebut menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya sekadar penting dalam kehidupan manusia, namun kehidupan sendiri adalah keinginan untuk menguasai. Bahkan ekspansi kekuasaan dianggap sebagai suatu insting fundamental milik manusia. Kekuasaan memampukan manusia mengatur dunianya, tidak hanya dirinya sendiri namun juga lingkungan sekitarnya. Kekuasaan mampu mengubah apa yang dianggap oleh seseorang sebagai hal yang tidak stabil dan mengganggu dalam sistem kehidupannya menjadi sesuatu yang stabil. Dalam hubungannya dengan media, filsafat membantu menjelaskan lebih dalam mengenai kekuasaan yang dipatenkan dalam media, yakni kekuasaan laki-laki. Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dibuat seolah-olah benar, bisa diterima secara wajar dan memang seharusnya demikian adanya. Filsafat kekuasaan menjelaskan akibat adanya degree of power atau perbedaan derajat kekuasaan yang membuat perempuan diperlakukan sebagai pihak subordinat dalam media. Kekuasaan yang disadari melalui pemahaman mengenai identitas laki-laki yang dipaparkan dalam media mampu membuat laki-laki memegang kendali atas perempuan, mampu menjadikan perempuan menjadi objek demi pemenuhan hasrat laki-laki, dan mampu melebarkan kesenjangan antara identitas laki-laki dan perempuan. Filsafat kekuasaan juga memandang usaha sebagian gender laki-laki untuk berkuasa terhadap sebagian gender perempuan dan mendominasi gender perempuan, serta mengapa hal tersebut bisa terjadi. Identitas, Kekuasaan dan Visualisasinya dalam Komunikasi Melalui Media Media secara masif dan arbitrer menampilkan citra mengenai perempuan kepada khayalak ramai. Jangkauan media yang luas memampukan media menyebarkan citra yang sama mengenai perempuan ke banyak tempat dan pada akhirnya menyebabkan kesamaan pandangan dan konsensus masyarakat mengenai identitas perempuan. Identitas perempuan dan laki-laki dalam konten yang disajikan media digambarkan sangat berbeda. Laki-laki digambarkan sebagai pemegang kendali atas perempuan, sebagai penentu tingkah laku perempuan, sebagai pribadi yang agresif dan dominan, sedangkan perempuan digambarkan sebagai pribadi yang berada di bawah kendali, submissive, mudah didominasi, dan objek pelampiasan hasrat lelaki. American Psychological Association (APA) pada tahun 2007 merilis sebuah laporan berjudul APA Task Force on the Sexualization of Girls yang berisi pemaparan mengenai fenomena seksualisasi terhadap perempuan yang terjadi di Amerika. Laporan ini menjelaskan bagaimana seksualisasi terhadap perempuan terjadi, apa saja yang menjadi faktor terjadinya seksualisasi dan siapa saja yang ikut berperan dalam melakukan seksualisasi terhadap perempuan. Dalam laporan tersebut, APA menjelaskan kontribusi terhadap seksualisasi perempuan diberikan secara kultural, yakni melalui media. Media seperti televisi, video musik, lirik lagu, film, kartun dan animasi, majalah, media olahraga, game komputer, internet, dan iklan komersial memberikan andil besar dalam seksualisasi. Mengenai televisi, misalnya, APA menyebutkan bahwa:
“...presenting oneself as sexually desirable and thereby gaining the attention of men is that presenting oneself as sexually desirable and thereby gaining the attention of men is and should be the focal goal for women. Girls and young women are repeatedly encouraged to look and dress in specific ways to look sexy for men, a phenomenon labeled “costuming for seduction” (M. Duffy & Gotcher, 1996), and to use certain products in order to be more attractive and desired by males.” “...the content of these magazines encouraged young women to think of themselves as sexual objects whose lives were not complete unless sexually connected with a man.” Dari deskripsi mengenai penggambaran perempuan dalam media yang diamati oleh APA, dapat dilihat bahwa perempuan “diberikan” sebuah konsep yang seolah-olah hanya dapat mereka terima dan tidak dapat mereka tolak mengenai identitas perempuan. Dalam visualisasi mengenai perempuan yang selama ini ada di media, media seolah menjadi sarana “pemutlakan” identitas perempuan sebagai alat pemuas bagi laki-laki. Perempuan digambarkan berpakaian atraktif dan provokatif dalam media, sehingga laki-laki “berhak” memberikan komentar-komentar yang negatif dan melecehkan, biasanya terhadap tubuh perempuan. Majalah-majalah yang pasar pembacanya adalah perempuan dan remaja perempuan seperti Teen, Seventeen, Glamour dan sebagainya justru sering mengekspos konten-konten yang isinya mendukung perempuan sebagai objek sesual lelaki dan mendorong perempuan untuk berani berpakaian lebih atraktif sehingga mampu menarik perhatian lelaki dan “diinginkan” oleh lelaki. Hidup perempuan dibuat seolah-olah belum sempurna jika ia tidak diinginkan secara seksual oleh laki-laki. Aspek-aspek lain dalam diri perempuan, dari segi intelektualitas, pekerjaan, hobi dan kekuatan atau kelebihan lain sangat jarang ditonjolkan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa manusia mengetahui identitasnya berdasarkan apa yang diberikan oleh orang lain sebagai “label identitas” kepadanya. Media memberikan label identitas kepada perempuan secara sewenang-wenang. Media memberitahukan dengan frekuensi tinggi secara implisit bahwa identitas perempuan adalah sebagai makhluk yang dapat menjadi sarana kepuasan bagi lelaki, yang tugasnya adalah menjadi objek bagi lelaki dan menjadi pribadi yang diinginkan secara seksual oleh laki-laki. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa identitas seseorang diketahui dari apa yang orang lain pandang tentang dirinya, begitu pula yang terjadi pada identitas perempuan yang berada di dalam media. Ketika perempuan berfilsafat akan identitasnya sebagai seorang manusia yang eksis, ia mempertanyakan siapa “aku” yang sebenarnya. “Aku” yang dimaksud adalah ke-aku-an bagi diri sendiri, bagi keluarga dan teman-teman, juga lebih luas lagi bagi masyarakat. Perempuan akan terus berusaha mencari tahu identitasnya yang mana yang paling mendekati relitas. Jika ia menganggap identitas yang tepat dan “ideal” untuknya adalah dari apa yang dipresentasikan oleh media, kemudian bisa saja hal tersebut memengaruhi kesadaran identitas perempuan akan dirinya sendiri. Karena yang ia lihat di media adalah demikian, ia menganggap bahwa situasi tersebut adalah refleksi yang sebenarnya dari nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, lalu ia jadi menganggap bahwa dirinya memang diperuntukkan bagi kepuasan laki-laki seperti apa yang ditanamkan oleh media kepada masyarakat. Pembentukan identitas perempuan secara sewenang-wenang ini besar pengaruhnya di kehidupan perempuan sehari-hari, baik dari segi kehidupan perempuan sebagai ibu rumah tangga, sebagai pekerja, sebagai seorang intelektual dan segala profesi sosialnya yang lain. Perilaku yang ia terima dari masyarakat di sekitarnya terbentuk dari apa yang dikonstruksikan mengenai identitas perempuan dalam media. Termasuk dalam bidang-bidang pekerjaan dimana nantinya perempuan akan ikut berkontribusi. Di dalam media digambarkan bahwa dalam lingkungan pekerjaan dimana juga terdapat laki-laki di sana, biasanya laki-laki digambarkan memiliki kekuasaan secara seksual terhadap perempuan yang jabatannya lebih rendah. Misalnya saja, banyak kisah di sinetron dan telenovela mengenai seorang bos yang menjalin affair dengan sekretaris perempuannya. Karena banyaknya gambaran seperti ini, maka kejadian-kejadian seperti ini juga dianggap wajar saja oleh masyarakat, karena sudah sering terjadi dalam media dan dianggap merefleksikan kehidupan nyata. Padahal sesungguhnya, banyak fenomena sosial yang sangat kontekstual dan tidak bisa digeneralisasikan, meskipun banyak dipaparkan dalam media massa. Identitas perempuan yang seolah-olah diperuntukkan bagi kepentingan, kesenangan dan keuntungan lelaki dapat dilihat juga pada sebuah perkataan yang “ditujukan” untuk lelaki, yakni “Harta, Tahta, Wanita”. Dari perkataan ini, perempuan disejajarkan dengan harta dan tahta, dijadikan sebuah “kebanggaan” bagi lelaki. Lelaki akan lebih menjadi lelaki yang sejati ketika ia memiliki ketiga hal tersebut, lelaki sudah biasa memperebutkan dan bertengkar karena ketiga hal tersebut. Perkataan ini tersebar dalam media dan ketika masyarakat mendengarnya, perkataan ini seolah-olah wajar saja karena memang sudah seringkali terdengar dan perkataan ini tidak dianggap salah atau mengandung sesuatu yang aneh. Media massa mampu memengaruhi opini publik, serta mampu membuat konsensus di mata masyarakat mengenai suatu hal tertentu. Jika media terus-menerus membombardir masyarakat dengan pencitraan antara perempuan dan laki-laki yang jauh berbeda dan tidak seimbang, maka perlahan di masyarakat akan terbentuk konsensus mengenai hal tersebut. Kesamaan pandangan di mata masyarakat mengenai hak laki-laki untuk menjadikan perempuan sebagai objek seksual bisa menjadi seolah-olah benar karena dibenarkan oleh media. Filsafat identitas, sebagaimana pula yang telah dijelaskan sebelumnya, berusaha mengetahui identitas macam apa yang ingin ditampilkan oleh media kepada masyarakat mengenai laki-laki dan perempuan, serta apa yang menjadi penyebabnya. Salah satu penyebab dari mengapa media secara sewenang-wenang memberi identitas kepada kedua jenis kelamin yang berbeda dan lebih bertendensi merugikan perempuan adalah karena faktanya, sebagian besar yang bekerja dan memiliki kendali atas media adalah laki-laki. Berikut adalah beberapa fakta mengenai persentase lelaki dan perempuan di dalam media:
Dari fenomena ini, dapat dilihat bahwa identitas dan kekuasaan saling berhubungan dan memengaruhi dalam penggambaran perempuan dalam media. Identitas perempuan yang terkesan berada di bawah laki-laki, terkesan sebagai objek kepuasan laki-laki, dan direlasikan dengan seksualitas bisa sampai terbentuk karena ada peran besar laki-laki di dalamnya. Identitas laki-laki sebagai sosok yang berada di atas perempuan, bisa secara mudah menjadikan perempuan sebagai objek dan mampu membuat perempuan memenuhi keinginan tersebut terbentuk karena laki-laki mendominasi perempuan di dalam media. Dominasi kekuasaan laki-laki tidak hanya terlihat di dalam konten yang ditampilkan lewat media, namun juga di belakang layar, yakni dalam pengaturan konten media itu sendiri. Seperti dalam pembahasan mengenai filsafat kekuasaan bahwa pada hakikatnya manusia dalam hidupnya akan selalu berusaha agar mampu mendapatkan kekuasaan, mampu menguasai orang lain dan mampu melakukan ekspansi terhadap kekuasaannya. Di dalam media, laki-laki dalam konteks sebagai tipe jenis kelamin atau gender—yang segala yang berhubungan dengannya sudah terpengaruh oleh konstruksi dari masyarakat—melakukan ekspansi kekuasaan dengan cara menguasai tipe jenis kelamin yang lain, yakni perempuan. Hal ini dirasa perlu dilakukan, jika ditinjau dari segi kekuasaan secara filosofis, untuk mematenkan dominasi kekuasaan laki-laki, untuk memastikan bahwa laki-laki sebagai gender yang unggul mampu menguasai gender yang lain (perempuan), sebagai sebuah reassurance bahwa gender laki-laki memang memiliki power untuk membuat gender perempuan tunduk kepadanya. Kekuasaan ini ditunjukkan dengan cara memberikan gambaran mengenai perempuan di dalam media yang mudah mematuhi atau memenuhi keinginan laki-laki, biasanya secara seksual. Dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan sangat kental di dalam media. Misalnya, perempuan diasosiasikan dengan barang-barang yang penting oleh laki-laki atau diinginkan oleh laki-laki, misalnya mobil mewah. Perempuan dianggap sejajar dan tidak lebih dari barang yang setiap laki-laki wajib miliki sebagai simbol maskulinitas dan harga diri. Kekuasaan tersebut semakin mengalami ekspansi tiap harinya, karena kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang dilanggengkan oleh media telah menyebar luas dan diterima sebagai suatu pemahaman di masyarakat dan dianggap merupakan hal yang benar dan sudah sepantasnya. Kekuasaan yang timpang antara gender perempuan dan laki-laki dalam media menyebabkan munculnya kesenjangan identitas antara laki-laki dan perempuan. Padahal pada hakikatnya, setiap manusia terlahir sejajar dan sama, tidak ada jenjang hierarkis pada esensi awal manusia. Yang berbeda adalah kemampuan adaptasi tiap manusia setelah ia lahir dan berbagai hal yang dibangun oleh adanya sistem sosial, misalnya status sosial, ekonomi, politik dan seterusnya. Identitas yang dibangun oleh lingkungan sosial sepanjang perjalanan hidup inilah yang kemudian menjadi identitas yang dianggap benar dan digunakan dalam mengidentifikasi tiap individu. Dari yang tadinya tidak berjenjang, lambat laun identitas manusia masuk ke dalam kategori-kategori yang ordinal, yang memiliki jenjang. Adanya jenjang dapat dimungkinkan ketika ada kelas yang lebih tinggi dari kelas lain, baik anggota kelas tersebut yang merasa kelasnya memang lebih tinggi dan mengupayakan agar terjadi demikian, atau ketika orang lain menempatkan kelas tersebut sebagai kelas yang lebih tinggi. Identitas gender perempuan dan laki-laki, yang seharusnya sama rata, sekarang menjadi berbeda dengan adanya jenjang. Laki-laki seolah-olah menjadi nomor urut satu dalam media dan perempuan menjadi kelas dua. Karena merupakan gender yang lebih tinggi secara hierarkis, maka laki-laki mempunyai kekuasaan lebih daripada perempuan. Adanya kekuasaan lebih dari laki-laki menyebabkan ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dan perempuan dianggap berhak lebih sedikit mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Maka dari itu, gender laki-laki mendominasi gender perempuan dan gender perempuan berada dalam bayang-bayang gender laki-laki, terutama secara seksual. Penutup Sejauh ini, ternyata media mampu menjadi jurang yang memisahkan antara identitas manusia yang terlahir sama, yakni perempuan dan laki-laki. Jika berbicara mengenai media, tentunya yang dimaksud adalah media sebagai sarana, dengan pelaku-pelaku industri media di belakangnya. Media membantu memisahkan identitas laki-laki dan perempuan, bukan hanya ke dalam kategori tertentu namun ke dalam jenjang hierarkis, atas dan bawah. Media tidak hanya memunculkan adanya stigma mengenai ketidakseimbangan gender di dalam masyarakat, namun juga membantu melanggengkan hal tersebut. Bahkan media mampu menciptakan kesamaan pandangan di masyarakat luas mengenai identitas perempuan yang berada di bawah lelaki. Media juga digunakan sebagai sarana pelanggengan kekuasaan lelaki oleh oknum-oknum dibalik industri media, yang kebanyakan adalah lelaki. Karena perempuan tidak banyak berkecimpung dalam dunia industri media, maka suara perempuan yang memprotes penggambaran identitas mereka di media tidak terdengar. Hal ini semakin mematenkan dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dalam industri media, baik dalam hal regulasi konten maupun visualisasi konten ke masyarakat. Adanya identitas dan kekuasaan yang berbeda dan timpang antara laki-laki dan perempuan mampu melahirkan konsensus di mata masyarakat dan konsensus tersebut menjadi seolah-olah benar karena dibenarkan oleh media. Kemampuan media yang sedemikian besar haruslah dipahami dengan baik dan digunakan dengan hati-hati. Salah satu kunci memperbaiki keadaan yang ada sekarang, dimana perempuan dijadikan objek secara seksual dan dianggap dapat memenuhi kebutuhan industri dengan pembentukan identitas sedemikian rupa dalam hal “keperempuanan” adalah dengan pembagian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang bekerja dalam industri media. Jika perempuan lebih banyak bekerja dalam media, maka dominasi kekuasaan laki-laki bisa mulai digeser dan diganti dengan keseimbangan dan kesejajaran. Suara perempuan di media pun bisa lebih terdengar, karena tidak menjadi minoritas secara jumlah. Perempuan perlu memahami identitasnya yang sesungguhnya, yang ia anggap benar dan baik untuk dirinya meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa identitasnya berjalan beriringan dengan pendapat masyarakat tentang identitasnya. Walaupun begitu, ia tetap harus dapat membedakan mana identitas dirinya yang sebenarnya dan mana yang sudah dikonstruksikan dan dimodifikasi oleh media. Media massa memang merupakan sumber kultivasi yang besar terhadap ide-ide tertentu, namun apa yang diperlihatkan media kepada masyarakat yang mengonsumsi belum tentu valid dan tidak bisa digeneralisasi atau diimplementasikan secara sembarangan. Disinilah filsafat menemukan celah dan membantu mengkaji ulang fenomena ini, yakni dengan mempertanyakan kembali identitas perempuan sebagai objek kepuasan laki-laki, apakah memang benar demikian keadaannya atau ada oknum-oknum tertentu yang ingin melanggengkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan sehingga mengkonstruksi identitas perempuan secara merugikan terhadap perempuan. Filsafat mencari tahu apakah perempuan memang dilahirkan memiliki derajat kekuasan yang lebih rendah daripada laki-laki, atau ketimpangan kekuasaan ini bisa terjadi karena adanya usaha ekspansi kekuasaan dari pihak lain, dalam hal ini laki-laki. Filsafat, yang dalam konteks kajian media menggunakan filsafat komunikasi, mengkaji dibalik situasi pencitraan dan visualisasi perempuan dan laki-laki di dalam media. Filsafat komunikasi mencari kebenaran fungsi media, memandang media tidak hanya sebagai media dalam hubungannya dengan informasi dan rekreasi saja, melainkan mencari tahu apa yang berada di balik usaha pencitraan atau imaging mengenai sesuatu—dalam hal ini mengenai perempuan—dalam media. Filsafat komunikasi berusaha membahas mengenai fenomena identitas dan kekuasaan dalam media dengan sudut pandang kritis, karena melihat adanya ketidakseimbangan yang ditonjolkan oleh media. Filsafat komunikasi tidak hanya menerima adanya ketimpangan dalam media, namun berusaha menjelaskan mengapa hal tersebut bisa sampai terjadi. Filsafat tidak hanya melihat pada faktor individu, namun juga kelompok, masyarakat, organisasi dan sistem yang ada. Pada akhirnya, filsafat, berjalan beriringan dengan ilmu komunikasi, selalu berusaha membantu memahami lebih dalam hubungan rumit antara manusia dan salah satu faktor pembentuk kehidupan manusia yang paling berpengaruh, yakni media. Daftar Pustaka Buku Goldman, Harvey. Politic, Death, and the Devil: Self and Power in Max Weber and Thomas Mann. California: University of California Press, 1992. Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Jackson, Ronald L., II, ed. Encyclopedia of Identity. London: SAGE Publications Ltd, 2010. John Perry, ed. Personal Identity. California: University of California Press, 2008 Kronman, Anthony T. Max Weber: Jurists: Profiles in Legal Theory. California: Stanford University Press, 1983. McQuail, Denis, ed. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: SAGE Publications Ltd, 2004. Jurnal Aubrey, J.S. “Effects of Sexually Objectifying Media on Self-Objectification and Body Surveillance in Undergraduates: Results of a 2-Year Panel Study”. Journal of Communicaton 56 (2006): 368-369. Grayson, Timothy R. D. “Philosophy of Identity”. Identity Planet 1:1(2012): 2. Sharma, Arpita. “Portrayal of Women in Mass Media”. Media Watch 4:1(2012): 2. Laporan Lembaga American Psychological Association. Report of the APA Task Force on the Sexualization of Girls. By Zurbriggen, et al. Mar 2007. 7 June 2014 <http://www.apa.org/pi/women/programs/girls/report-full.pdf>. Women’s Media Center. The Status of Women in U.S. Media 2014. By Women’s Media Center. February 2014. 8 June 2014 <http://www.womensmediacenter.com/pages/the-problem>. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |