Robertus Robet (Dosen Sosiologi FIS Universitas Negeri Jakarta) A. PARADOKS POLITIK Politik kontemporer, dalam prakteknya, oleh kebanyakan orang telah dipahami dalam ambivalensi: dikutuk tapi sekaligus diharapkan. Di satu sisi, politik rutin sehari-hari makin dimaknai sebagai cela ketimbang keluhuran. Politik dianggap sebagai arena dan asal-muasal kericuhan, dagang sapi, identik dengan perilaku tamak, licik, munafik dan tidak mengamankan prinsip. Politik dimengerti sebagai prilaku buruk kolektif yang secara hukum terlembagakan dan termaklumkan. Keadaan ini menciptakan dugaan bahwa seakan-akan politik memiliki dua muka yang terpisah; yang pertama adalah sisi di mana politik terjadi sebegitu saja dalam rutinitas kelembagaan dan prilaku aktor-aktornya. Ini politik yang tadi dianggap busuk dan cela: politik dalam presentasinya yang konkret dan partikular Yang kedua adalah politik yang diharapkan, yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi: politik sebagaimana yang diharapkan, yang ditekan di bawah instansi ketaksadaran. Yang dimaknai sebagai yang cela dan busuk disodorkan permukaan sementara politik yang agung dan yang diharapkan tersembunyi di bawah kesadaran dan harapan. Gejala ambivalensi dalam politik ini sebenarnya telah menarik minat banyak filsuf kontemporer, pada tahun 1965, sebagai reaksi terhadap kejatuhan revolusi Hongaria, Paul Ricoeur menulis sebuah esai berjudul The Political Paradox. Dalam artikel itu ia mengatakan bahwa ‘politics only exist in great moments in ‘crisis’. Pandangan itu diajukannnya dengan basis bahwa politik menurutnya memiliki asal-muasal ganda: politik yang rasional dan politik yang durjana (a specifically political rationality and a specifically political evil). Dengan pemisahan ini Ricour bermaksud hendak mengukuhkan kembali aspek ‘otonomi yang relatif’ di dalam politik. Di sinilah Ricour memperkenalkan pemisahan antara ‘the political’ atau ‘Yang Politis’ dengan ‘politics atau politik –atau dalam istilah Lefort antara le politique (the political) dan la politique (politics). Dengan pemisahan ini dan upaya otonomisasi ini, Yang Politis dalam Ricoeur dipandang sebagai realisasi dari relasi manusia yang tidak dapat direduksi ke dalam konflik kelas dan berbagai kepentingan. Sementara dengan politik yang dimaksudkannya adalah segala bentuk kedurjanaan dan permainan dalam kekuasaan[1]. Dengan demikian di dalam pembedaan yang dilakukan Ricouer adalah menegaskan kembali demarkasi antara wahana ideal dari Yang Politis yang ditandai oleh rasionalitas tertentu dengan wahana kekuasaan. Namun demikian, pembedaan Ricouer ini tidak dapat ditafsirkan dalam suatu kerangka ‘normatif’ a la Habermasian karena –sebagaimana yang diungkapkan oleh Marchart- Ricoers sendiri menganggap bahwa Yang Politis selain memiliki sifat yang khusus: ia melampaui politik tapi sekaligus bereasi dengannya sehingga antara Yang Politis dan politik berada dalam suatu relasi yang bersifat paradoksal, keduanya berbeda namun berada dalam suatu pergualatan yang sama. Di sini Ricouer mau menekankan bahwa Yang Politis sebenarnya selalu berada dalam ketegangan karena mesti berelasi dan berkonradiksi secara permnanen dengan politik. Itu sebabnya kemudian ia menamakan proses ini dengan istilah Political Paradox, karena persis di dalamnya ada gerak pemisahan sekaligus gerak penyatuan yang tiada habis-habisnya.[2] Sebelum Ricouer, pada dasarnya hubungan paradoks dalam politik ini memiliki akar yang cukup dalam filsafat politik. Di titik ini setidaknya kita dapat mengacu kembali pada Machiavelli.[3] B. MORAL POLITIK MACHIAVELLIAN 1: MACHIAVELLI SANG PANGERAN Di dalam The Prince Machiavelli mengatakan bahwa virtue (kebajikan) dihayati secara berbeda antara dua golongan masyarakat: bagi warga biasa dan bagi kaum elit atau Sang Pangeran. Bagi warga biasa, virtue dipraktekkan sebagai aktivitas kewargaan yang baik dalam rangka memelihara hukum-hukum dan tujuan republik. Sementara bagi Sang Pangeran atau elit, virtue dipahami secara berbeda sebagai keberanian untuk mengambil sikap tegas, determinan penuh subyektifitas. Mengapa deteminasi subyektifitas ini diperlukan?
Yang jauh lebih penting untuk dipahami dari teks ini adalah bahwa di sini Machiavelli menegaskan tindakan politis selalu bergerak di antara dua ketegangan yakni antara kondisi-kondisi yang telah dipastikan (virtu) dan kondisi-kondisi yang tak pasti atau kondisi ketakmungkinan (fortuna atau fortune). Sang Pangeran adalah ia yang bertindak dengan penuh determinasi dalam ketegangan antara yang pasti dan yang tak pasti[6]. Dengan demikian, di satu posisi, politik dengan demikian bagi Machiavelli, bukanlah soal bagaimana menerapkan prinsip-prinsip metafisik melainkan bertindak melampaui yang tak pasti dan yang tak mungkin dengan segala resiko yang harus diambil. Hal kedua yang juga hendak diungkap di sini adalah, Machiavelli menegaskan bahwa antara ‘Sang Pangeran’ dengan rakyat di bawahnya terdapat konflik yang tak terdamaikan: bagi Sang Pangeran, hiburan terbesar buatnya adalah memerintah dan menindas sementara bagi rakyat hasrat teritngginya adalah kebebasan. Keadaan ini yang oleh Claude Lefort kemudian ditafsirkan bahwa Machiavelli mengawali pendasaran bagi pemahaman mengenai Yang Politis (le politique/ the political) yakni politik baik dalam pengertian momen antara virtu dan fortuna yang tak berdasar maupun dalam arti proses antagonisme yang tak terdamaikan dan mendasari semua bentuk politik. Pandangan Machiavelli inlah yang di dalam Lefort –dengan meminjam istilah Pocock- disebut sebagai momen Machiavelli yakni politik sebagai momen dalam arti kejadian yang melampaui kenyataan dan praktek rutin prosedural sehari-hari.[7] Di sinilah kemudian politik diartikan sebagai Yang Politik, ia hanya tampil dalam segi dan karakter yang istimewa. Momen Machiavelli ini yang juga kemudian secara unik diulang dan ditegaskan kembali oleh pandangan kontemporer dari Laclau ketika ia menegaskan secara tidak langsung bahwa:
Dengan posisi di atas, Lacalu menjelaskan bahwa Yang Politis berakar dalam ketakmungkinan totalitas dalam struktur sosial secara umum, sementara politik sehari-hari: politik dalam arti praktek rutin berikut segala jenis perlatan institusional di dalamnya bukan lain hanya bentuk-bentuk dari sedimentasi hasil dari berbagai bentuk signifikasi dari ketakmungkinan itu. Dengan demikian di sini, politik adalah residu saja dari Yang Politis. Politi adalah ‘ampas’ yang tersisa setelah ketakmungkinan dalam Yang Politik itu dikenai proses simbolisasi tindakan aktor-aktornya. Posisi ini ditegaskan kembali secara lebih formulatif oleh Mouffe, ketika ia mengatakan bahwa:
Melalui pemisahan di atas Mouffe dan Laclau secara tidak langsung membentuk garis demarkasi antara politik sehari-hari dengan politik dalam pengertian yang esensial. Ini yang pada tahap lanjut, digunakan oleh keduanya untuk memisahkan antara ilmu-politik (political-science) yakni pendekatan yang membatasi diri pada domain empirik dari kegiatan politik dengan teori-politik yang merupakan domain mengenai esensi dari kepolitikan. Domain yang pertama adalah domain dari ilmuwan politik sementara pada kedua adalah domain yang hanya bisa dijelajahi oleh para filsuf. Di dalam Badiou, demarkasi semacam ini dibentuk secara lebih halus melalui kategori ‘kejadian’ dan kebenaran. Ketika Badiou mengatakan bahwa kebenaran tidak dapat diobyektifikasikan dan hanya dapat dimengerti serta terungkap kepada mereka yang memiliki fidelitas terhadap kejadian, maka Badiou secara tidak langsung menegaskan dimensi metafisik dalam kejadian. Ini yang kemudian mendorongnya mengambil sikap yang lebih radikal dengan mengatakan bahwa seluruh instalasi demokrasi kontemporer pada dasarnya bukanlah cerminan dari “Yang Politik” karena truth-event tidak mengada di dalam situs-situs yang telah terinstitusionalisasi dan mengalami rutinisasi. Yang Politik tidak pernah berada dalam prosedur institusional melainkan berada dalam keyakinan akan kejadian yang tak dapat diperediksi dan dikualifikasikan dengan perhitungan apapun.Artinya, Yang Politis hanya dapat kita alami dengan menerimanya dan meyakininya sebegitu saja. Di sinilah kemudian baginya, Yang Politis sekaligus juga bersifat meta-politik. Pada titik ini, kita jadi mengerti apabila kemudian Badiou juga melancarkan kritik terhadap ‘filsafat politik’ yakni filsafat politik dalam artian konvensional yang mengajarkan norma dan etika institusional-prosedural –dalam hal ini yang ia maksud adalah yang berakar pada Kant. Baginya, filsafat terhadap politik hanya dapat dimulai dengan menempatkan aspek ontologis dari Yang Politis itu sendirin yankni segi transendental dari kejadian.[10] Dengan demikian, dari penelusuruan dan penegasan ringkas ini dapat kita temukan sejumlah pandangan yakni bahwa di dalam segi-segi yang empirik, institusional dari politik, terdapat segi yang tak ternamai dan tak bisa diobyektifikasi. Pada Machiavelli segi yang tak dapat diobyktifikasikan dan dikuantifikasikan itu ditempatkan dalam ketegangan antara ‘virtu dan fortuna’, pada Laclau dan Mouffe ia ditempatkan pada konsep antagonisme dan ‘empty signifier’, pada Badiou ia ditempatkan dalam misteri kejadian. Unsur ini yang menjadi substansi dasar dari Yang Politik. III. MACHIAVELLI DALAM LIVY Dalam pemahaman konvensional, Machiavelli hanya dikenal sebagai penganjur ‘Machiavellianisme’: menghalalkan segala cara (the ends justify the means, membuang moral dari politik sehingga dengan demikian dianggap tidak bermoral. Itu adalah pandangan keliru. Bagi pembaca yang kurang paham, Machiavelli memang mudah disalahpahami, terutama atas tulisan-tulisannya yang dianggap penuh kontroversi yang ditulis dalam The Prince- ditulis sekitar tahun 1513. Orang lupa bahwa The Prince ditulis sebagai anjuran bagi pemimpin dalam suatu konteks historis yang spesifik yakni suatu negara republik yang sedang berada dalam ancaman kejatuhan akibat berbagai rongrongan: ancaman penjajahan dari Spanyol, Perancis, invasi kaum ‘barbar’, intrik dalam kekuasaan Gereja, intrik dan kebusukan kekuasaan para bangsawan dan korupsi yang merajalela. Selain itu, orang juga lupa bahwa selain The Prince, Machiavelli juga menulis sebuah karya lagi yang sama-sama fundamental yakni The Discourse (Discorsi). Dalam The Discourse –ditujukan kepad Livy- Machiavelli tampil sebagai seorang moralis republikan yang sama sekali berbeda dengan The Prince. (Bondanella dan Mark Musa, 21). Oleh karenanya, sungguh tidak tepat apabila kita menilai Machiavelli hanya berdasarkan karyanya The Prince tanpa membaca The Discourse dan tanpa memahami konteks penulisannya. Alasan kedua bisa kita temukan dalam tulisan Machiavelli yang legendaris mengenai bagaimana mempertahankan‘republikanisme di negara yang korup’ yang ada dalam The Discourse :
Dalam sebuah republik yang secara parah dijangkiti korupsi, kehidupan kewargaan yang sehat musnah, segala norma dan kebenaran dengan mudah dijungkarbalikkan. Dalam situasi ini hukum apapun tidak berjalan.
Machiavelli berpandangan bahwa apabila korupsi telah merajalela dalam republik, maka hukum yang terbaik sekalipun tidak akan bermafaat. Korupsi adalah penyakit yang menyerang sendi terdalam kehidupan kolektif yang menghancurkan prilaku dan menghancurkan kemampuan pertimbangan baik dan buruk dari setiap warga. Dalam kondisi demikian, the rule of law mesti berhenti, sebagi gantinya dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat atau ‘the rule of man’. Menurut Machiavelli, politik dan warga yang paling agung adalah politik sebagai upaya untuk tetap mengokohkan dan mempertahankan kebebasan, dignitas institusi politik dan konstitusi dalam situasi yang paling korup. Menurut Machiavelli: “If a man is trully eager to acquire eternal glory, he should ask God to allow him to live in a corrupt city in order to have chance to reform it.” (Machiavelli dalam Skinner, 1990:170) Dari argumen mengenai korupsi, kita juga dapat melihat kekhasan ideal republikan dalam Machiavelli, korupsi baginya bukanlah pertama jahat karena ia melawan hukum atau merugikan negara, atau secara moral keliru. Korupsi bersifat jahat persis karena ia menghancurkan ‘yang publik’ atau perasaan kolektifitas, perasaan kebersamaan dalam republik. Dengan demikian bagi Machiavelli kerusakan terbesar yang diakibatkan oleh korupsi bukanlah pertama-tama pada hukum melainkan pada common good (kebaikan bersama).[11] Korupsi menghancurkan esensi utama dari republik karena merusak common good.. Bagi Machiavelli, begitu common good rontok, maka seluruh atmosfir kepolitikan yang sehat dan baik juga runtuh, hubungan kewargaan hancur, politik menjadi tidak memiliki pendasarannya lagi. Oleh karena rasa kebersamaan hilang maka perasaan bertanah air pun menjadi lemah. Dari sini kita masuk ke dalam segi yang lebih esensial dalam pandangan republikanisme Machiavelli yakni tentang apa itu patriotisme atau apa itu cinta tanah air. Menurut Machiavelli, patriotisme tidak identik dengan heroisme dan militerisme. Ukuran patriotisme adalah kebaikan bersama. Oleh karena itu, baginya patriotisme tidak bergantung pada jabatan seorang, apakah seorang raja, ataukah seorang penyusun hukum dan seorang warga biasa atau seorang kapten dalam militer, melainkan pada sikap virtous terhadap common good. Dalam The Discourse ia mengatakan bahwa: rasa cinta tanah air adalah sebuah kekuatan moral yang mendorong setiap warga mengejar pencapaian kebaikan bersama (common good). Dengan demikian sebagaimana kebanyakan republikan (termasuk Aristotelianisme), Machiavelli senantiasa menganggap bahwa cinta tanah air atau patriotisme adalah hasrat untuk mendahulukan kebaikan bersama ketimbang kepentingan privat. Pada buku yang sama, Machiavelli sering juga menempatkan cinta tanah air sebagai lawan bagi tirani. Pikiran Machiavelli inilah yang mendasari salah satu kualitas terpenting dari ideal kewargaan republikasnime. IV. KESIMPULAN Machiavelli memang memisahkan ‘moral dari politik’ dalam arti bahwa ia yang pertama kali secara keras menetapkan batas-batas agama dalam politik: sekularisasi politik. Baginya politik adalah urusan akal dan pikiran manusia bukan urusan keilahian. (Honohan, 2002). Dengan ini –sesuai dengan semangat jaman Renaissance dan humanisme- ada kepercayaan yang sangat besar akan kemampuan manusia untuk menyelesaikan sendiri urusan-urusan kemaslahatannya tanpa campur tangan kekuasaan transenden. Politik dalam Machiavelli adalah vivere politico, politik yang hidup dalam praktik dan pikiran manusia. Jadi penolakan Machiavelli atas ‘moral’ adalah penolakan Machiavelli atas kuasa dan klaim transenden dalam politik. Lebih daripada itu, dari ajaran-ajaran Machiavelli di dalam The Prince, pandangannya mengenai politik serta kekuatirannya mengenai kejatuhan ‘kota-kota’ republik, menunjukkan bahwa seluruh pandangan politiknya dibasiskan pada satu tujuan yakni menetapkan pentingnya kebebasan. Kebebasan, menurut Machiavelli, merupakan nilai yang paling tinggi dan paling berharga. Menurutnya, seorang disebut bebas apabila mereka tidak tergantung (dependent) kepada seorang tiran atau seorang oligark yang mempraktikan kekuasaan sewenang-wenang. Prinsip yang sama juga berlaku bagi negara atau kota, sebuah negara disebut bebas apabila negara independen dari kehendak kota/negara lain. Kebebasan dalam Machiavelli identik dengan otonomi. Di sini, ia memberikan dasar yang khas republikan dalam kebebasan yakni kebebasan sebagai non-dominasi bukan kebebasan sebagai kondisi tanpa-paksa. Kebebasan hilang atau berkurang bukan karena adanya paksaan atau ancaman (interference). Ada kondisi di mana meskipun tidak ada paksaan, orang tetap bisa hilang kebebasaanya. Seorang budak, yang bekerja pada tuan yang baik misalnya, tidak mengalami paksaan tapi tetap tidak memiliki kebebasan. Namun yang lebih penting lagi, Machiavelli juga menegaskan bahwa, kebebasan sebagai keadaan non-dominasi itu hanya bisa dinikmati dalam sebuah republik. Kebebasan tidak cocok dalam sistem monarki karena warga tidak dapat terlibat dalam ‘sovreign-deliberation’ dan penentuan ‘magistrates’ (perwakilan). (Viroli, 2008, 77) Selain menekankan pentingnya tindakan/keputusan antara virtu dan fortuna, yang juga penting dari republikanisme Machiavelli adalah pandangannya mengenai politik dan kepemimpinan yang khas. Sebuah republik menurutnya bisa berada dalam regangan antara ‘the rule of law’ dan ‘the rule of man”: dua sistem yang bertolak belakang dalam satu republik. Bagaimana mungkin? Dalam The Discourse Machiavelli menjadi seorang republikan penganjur the rule of law, negara hukum untuk sebuah republik yang damai dan kokoh. Sementara dalam The Prince Machiavelli menjadi penganjur the rule of man, juga dengan maksud mempertahankan kebebasan dalam republik dari ancaman kejatuhannya. Akibat menganjurkan dua sistem yang bertentangan ini, para pengamat dan pembaca yang kurang teliti, akan dengan gampang menuduhnya sebagai seorang hipokrit yang tidak konsisten dalam mengemukakan gagasannya. Bagi Machiavelli the rule of law dan the rule of man mesti dimiliki oleh suatu pemerintahan republik yang kuat. Mengapa? Terdapat dua alasan. Pertama, Machiavelli mengakui dua elemen pokok dalam politik yakni virtù dan fortuna. Virtù (sifat maskulin) adalah kualitas manusiawi yang membentuk kepastian, sementara fortuna (sifat feminin) adalah seluruh aspek ketakpastian dalam semesta. Politik atau kepemimpinan bagi Machiavelli adalah mereka yang melampaui antara virtù dan fortuna: seorang yang berani mengambil keputusan sehingga memimpin secara tunggal.[12] Catatan Akhir: [1] Ricouer, Paul, (1965), The Political Paradox, dalam Jurnal History and Truth, (Evanston: Northwestern University Press), hlm. 261. [2] Untuk ini lihat dalam uraian Marchart, Oliver (2007), Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy, Lefort, Badiou and Laclau, (Edinburgh: Edinburgh University Press), hlm 37-38. [3] Pengaruh Machiavellli dalam pemikiran politik Marxisme Eropa sebelumnya salah satunya dapat dijumpai dalam pemikiran Antonia Gramsci, yakni dalam konsepsi Gramsci mengenai apa yang disebutnya dengan istilah “modern Prince” untuk menyebut peran intelektual dan partai sebagai ganti dari ‘Prince’ yang dalam gagasan awal Machiavelli merujuk pada para pangeran penguasa Negara Kota di Italia. Untuk ini lihat dalam Gramsci, Antonio, (1998), Selections From the Prison Notebooks, (London: Lawrence dan Wishart), hlm 123-135. [4] Machiavelli, Niccolo, (2003), The Prince, (New York: Bantam Book), diterjemahkan dan diedit oleh Daniel Donno, hlm. 69. [5] Machiavelli, The Prince, hlm. 94. [6] Di dalam Machiavelli sifat-sifat tidak pasti ini dilambangkan dalam istilah Fortuna atau Fortune yang merujuk pada sifat-sifat wanita, sementara virtu atau sikap tegas merujuk pada figure laki-laki (virtu berasal dari kata vir yang berarti laki-laki). Mengenai ini lihat dalam Honohan, Iseult, (2002), Civic Republicanism, (London dan New York: Routledge), hlm. 52. [7] Mengenai ini lihat dalam karya utama yang mengagumkan dari Pocock, J.G.A, (1975), The Machiavellian Moment: Florentine Political Thought and the Atlantic Republican Tradition, (Princeton dan Oxford: Princeton University Press) [8] Lihat dalam Laclau, Ernesto, (1990), Emancipatioan(s), hlm. 35. [9] Mouffe, Chantal, (2000), The Democratic Paradox, (London dan New York: Verso), hlm. 101. [10] Mengenai ini lihat dalam Badiou, (2005), Metapolitics, hlm. 10-25. [11] Terdapat kesulitan untuk mengartikan apa itu Common Good yang berasal dari konsep Aristotelian Bonnum Commune ke dalam bahasa Indonesia. Ada orang yang mengartikannya dengan ‘kebajikan bersama’. Namun istilah kebajikan di sini terlampau berat pada pengertian moral individual dan kurang memberikan dimensi material dan karakter sosialnya. Sebagian lagi menerjemahkannya dengan ‘kesejahteraan bersama’. Common Good sebagai “kesejahteraan bersama’ sebenarnya adalah terjemahan yang paling dekat, mengingat common good sering juga disebut dengan istilah ‘general welfare’ dalam bahasa Inggris. Namun demikian, untuk Indonesia, kesejahteraan bersama saya rasa juga kurang tepat untuk mengartikan common good karena kata sejahtera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ‘makmur, sentosa, tenteram . Istilah sejahtera terlampau menekankan segi-segi materi dan kurang dimensi etis normatifnya. Oleh karena itu istilah ‘kebaikan bersama’ saya rasa relatif lebih cocok digunakan untuk common good, karena dalam ‘kebaikan bersama’ tercakup kepenuhan material sekaligus kepenuhan etis, kepenuhan karakter individual sekaligus dimensi sosialnya. [12] Sekali lagi harus diingat bahwa pandangan ini disampaikan Machiavelli dalam konteks historis tertentu yakni ‘given a serious emergency, such as Italys’invasion by the foreign powers, and a unique opportunity to resolve this crisis by creating a strong, central principality from the combination of Florentine resoursces and those of the papacy’ (Bondanella dan Mark Musa, 23) Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |