Yulianti Muthmainnah (Mahasiswi Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah) [email protected] Idul Adha, dikenal pula dengan Lebaran Haji atau hari raya kurban, akan segera tiba. Kurban selalu identik dengan sejarah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail melalui mimpi (al-ru’ya al-shadiqah/mimpi yang benar). Dialog antara ayah dan anak pun terjadi. Dengan berat hati dan penuh keikhlasan, Ibrahim, sang ayah menceritakan mimpinya pada sang anak. Ismail yang kala itu berusia antara enam sampai tujuh tahun, mengizinkan ayahnya menjalankan perintah Sang Khalik tanpa rasa ragu (QS. Ash-Shaffaat: 102). Dengan penuh ketakwaan, mereka pergi menuju Jabal Qurban (gunung kurban), membaringkan leher Ismail di atas sebuah batu dan pedang siap diayunkan untuk menjalankan perintahNya. Namun Allah berkehendak lain, Ismail diganti dengan seekor hewan. Sehingga Ibrahim tidaklah menyembelih Ismail tetapi seekor hewan (QS. Ash-Shaffaat: 103-107). Ismail adalah anak dari istri kedua Ibrahim, Siti Hajar. Ismail dan Hajar tinggal terpisah dari Ibrahim. Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di Mekkah dengan beberapa potong roti dan sebuah guci berisikan air. Ketika Hajar kehabisan air dan makanan ia melihat air di arah timur yang ternyata hanya fatamorgana. Hajar pun berlarian antara bukit Sofa dan Marwah hingga tujuh kali, namun tak pula mendapatkan air. Ismail terus menangis. Ia menghentak-hentakkan kakinya di tanah. Atas izin Allah, hentakan kaki Ismail mengeluarkan air. Hajar yang kegirangan berteriak “zami-zami”. Tempat ini kemudian dikenal dengan sumber mata air Zam-zam. Kisah Hajar menjadi salah satu ritual Ibadah Haji yakni berlari-lari kecil antara bukit Sofa dan Marwah. Sedangkan kisah Ibrahim dan Ismail menjadi penanda sejarah kurban. Kurban merupakan ibadah dalam bentuk menyembelih hewan ternak. Penyembelihan hewan kurban adalah simbol mendekatkan diri pada Tuhan sebagai bentuk ketakwaan (QS. Al-Hajj: 36-37). Bagi umat muslim yang memiliki kelebihan harta maka hendaknya mereka menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikan dagingnya untuk orang-orang fakir miskin (QS. Al-Hajj: 36). Demikianlah kisah kurban selalu kita dengar setiap tahun dan berulang. Sebuah dialog antara Tuhan, Ibrahim, dan Ismail. Lantas dimanakah peran Siti Hajar, ibunda Ismail, dalam dialog di atas? Perempuan yang di(ter)hilangkan dalam sejarah kurban Siti Hajar mulanya budak perempuan yang dihadiahkan Raja Mesir kepada Ibrahim. Siti Sarah, istri pertama Ibrahim, berinisiatif mengizinkan Ibrahim menikahi Hajar dalam rangka mendapatkan keturunan karena Ibrahim telah berusia 100 tahun. Atas pernikahan itu, lahirlah Ismail. Sarah, perempuan tercantik kala itu, yang juga sangat mencintai Ibrahim merasa sedih melihat kemesraan mereka setiap saat. Allah pun memerintahkan Ibrahim membawa Hajar dan Ismail hijrah (berpindah) ke Mekkah dan meninggalkan mereka di sana. Hajar memang sempat bertanya mengapa ia harus pindah dan ditinggalkan, tetapi Hajar menerimanya. Mengorbankan kebahagiaan yang baru sebentar ia rasakan bersama Ibrahim atas nama menjalankan perintah Sang Khalik. Kerasnya kehidupan di Mekkah menjadi penanda pengorbanan Hajar membesarkan Ismail seorang diri, tanpa suami. Sedangkan di sisi lain, Ibrahim kembali pada Sarah yang melahirkan bayi bersama Ishaq (QS. Ash-Shaffaat: 112). Pengorbanan Hajar lainnya adalah ketika perintah kurban datang, Hajarlah yang mengasah pedang dan memastikan pedang tersebut benar-benar tajam agar tak menyakiti anak kesayangannya. Sebuah pengorbanan luar biasa dari tangan yang membesarkan Ismail selama tujuh tahun tanpa suami, tangan itu pula yang mengasah pedang. Selain Hajar, adakah pengorbanan Sarah? Sarah, atas permintaan Ibrahim, bersedia menjadikan dirinya sebagai saudara perempuan Ibrahim tatkala Raja Mesir menanyakan identitasnya. Karena jika ia mengaku sebagai istri Ibrahim, maka raja yang terkenal memiliki ratusan istri tanpa sungkan akan mengambil Sarah dari sisi Ibrahim. Pengorbanan Sarah yang kedua adalah kesediaan dirinya dimadu. Sebuah pengorbanan luar biasa dari seorang perempuan yang mencintai pasangannya. Selain itu, karena pernikahan tersebut, secara otomatis Sarah memerdekakan Hajar dari status budak menjadi manusia merdeka (Ibnu Sahid As-Sundy dalam Samudra Cinta Sarah dan Ibrahim a.s). Akan tetapi, pengorbanan Sarah dan Hajar tak jua diperdengarkan dalam kisah kurban. Setiap tahun, para muballigh/penceramah hanya menyuarakan dialog antara Ibrahim dan Ismail. Hampir tak pernah saya mendengar kisah Sarah dan Hajar dikumandangkan. Mengapa history, bukan herstory? Hilangnya kisah Sarah dan Hajar dalam peringatan Hari Raya Kurban menjadi penanda tidak dianggapnya kisah perempuan dalam tiap sejarah manusia. Tak berlebihan kiranya jika Simone de Beauvoir menyebutkan perempuan sebagai second sex. Sebagai jenis kelamin kedua di dunia, tentu saja sejarah perempuan dianggap tidak perlu dibahas dan didengar. St. Sunardi dalam Mencari Profil Pendidikan Kritis mengisahkan bagaimana Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis di negara-negara Amerika Latin senantiasa menuliskan bait-bait manusia dengan kata “man”. Kata-kata ini yang kemudian ditentang Abha Bhaiya dan Kalyani Menon Sen sebagai tanda menghilangkan sejarah perempuan, karena selalu mengidentifikasi manusia sebagai laki-laki. Perilaku ini yang tampaknya dilakukan sejarawan muslim ketika menulis dan menceritakan sejarah masa lalu dengan tokoh utama laki-laki, tanpa perempuan. Kesadaran akan pentingnya menyuarakan sejarah perempuan sebagai bagian dari sejarah manusia (perempuan dan laki-laki) menjadi titik tolak para sejarawan feminis mengubah persepsi kita tentang masa lalu. Maggie Humm dalam Ensiklopedia Feminism setidaknya menuliskan ada tiga pendekatan yang dilakukan sejarawan feminis yakni mendefinisikan kembali metode dan kategori—terutama konsep periodisasi, memfokuskan pada jenis kelamin bersamaan dengan analisa ras dan kelas sebagai cara mengidentifikasi ungkapan-ungkapan stereotip bagi perempuan dan terakhir mentransformasikan pemahaman kita mengenai perubahan sosial dan bagaimana lingkup domestik dan publik dibedakan. Dengan optimis, para feminis mengusulkan bahwa kebenaran subjektif sejarah kita akan membawa pada kesadaran perempuan secara kolektif. Atas desakan feminis, pendekatan itu diadopsi PBB. Preambul Piagam PBB versi awalnya menuliskan “equal rights among men” diubah menjadi “equal rights among men and women”. Demikian pula Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) mulanya mengonsepkan “all men” untuk menyebut semua manusia, diubah menjadi “all human being”. Lantas, apakah sejarawan muslim masih berkutat pada history tanpa mau membaca kembali bagaimana history itu muncul? Adakah niatan tulus untuk memosisikan perempuan dan laki-laki setara, sama-sama berkontribusi membangun sejarah? Bagaimana seandainya Sarah tak mendorong Ibrahim menikahi Hajar, atau Hajar yang enggan membesarkan Ismail, maka mungkin hingga kini tak kan ada sejarah kurban. Untuk itu, sekecil apapun perempuan menorehkan sejarah, saya meyakini itulah kontribusi terbaik perempuan bagi peradaban kita. Selamat Hari Raya Kurban.
3 Comments
mona
4/10/2014 12:41:58 pm
Very nice article.
Reply
Leave a Reply. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |