
Tetapi, akan menjadi problem jika yang menjadi pelacur adalah anak-anak. Apapun eufemisme dalam penyebutannya, mereka adalah korban. Negara kita menuangkan peraturan melalui Undang-undang Perlindungan Anak, bahwasannya anak-anak berhak atas hidup aman dan layak. Berarti bahwa negara menghormati hak anak untuk hidup aman, salah satunya dari perbudakan seksual. Meski demikian, kita tidak dapat menutup mata bahwa masih banyak anak-anak di Indonesia yang menjadi pekerja di sektor berbahaya, salah satunya pelacuran. Pada masa yang sudah menjelang posmodern ini, jasa seksual merupakan industri bisnis yang laku keras. Terlebih lagi, jasa seks anak menjadi salah satu destinasi wisata bagi asing. Ini menunjukkan bahwa jaringan prostitusi internasional sudah lama bersemayam di negeri ini.
Niko (2016) dalam tulisannya mengungkapkan bahwa boy prostitute eksis sejak lama di kota-kota besar di Indonesia, penyebabnya yaitu anak-anak dilingkari kemiskinan dan anak-anak dilingkari gaya hidup perkotaan. Fenomena anak yang terjun ke dalam dunia prostitusi tidak terlepas dari situasi kehidupan keluarga mereka. Fenomena di Afganistan misalnya, keluarga yang hidup miskin menjual jasa anak laki-laki mereka untuk ditukar dengan makanan, pakaian dan uang (Jones, 2014). Mereka menyebutnya “Bacha Bazi” yang artinya “boy for play”. Seorang anak laki-laki terjun ke dunia pelacuran bukan atas keinginannya sendiri, tetapi atas kepentingan tangan-tangan kuasa yang biadap. Wharton (2010) menyatakan bahwa pelacuran atau eksploitasi seks anak-anak ini merupakan bagian dari perdagangan manusia, dan harus dihentikan. Demikian pula dengan adanya fenomena pelacuran laki-laki (anak-anak) yang ada di Indonesia, sudah semestinya untuk dihentikan.
Pembebasan anak-anak dari belenggu pelacuran, tidak semestinya melihat jenis kelamin ataupun orientasi seksual. Baik itu perempuan atau laki-laki, ataupun orientasi seksual gay dan lesbian, mereka memiliki hak yang sama untuk jaminan negara atas rasa aman dari perbudakan seksual orang dewasa. Tetapi pada lembaga-lembaga tertentu, sangat anti terhadap keberagaman seksualitas—seperti anti terhadap LGBT—akan sangat sulit menggapai perlindungan terhadap anak-anak yang berada dalam situasi seksualitas mereka sebagai LGBT. Sudah seharusnya kita sebagai masyarakat umum, awaree terhadap keberadaan sindikat-sindikat yang memperkerjakan anak pada sektor pelacuran, baik itu anak perempuan maupun laki-laki. Demikian pula terhadap anak-anak yang memiliki orientasi seksual tertentu, misalnya gay atau lesbian, yang diperkerjakan dalam lingkar pelacuran, masyarakat tidak acuh terhadap mereka. Namun, tidak bisa dipungkiri terdapat pula masyarakat yang over protective, sehingga orientasi seksual tertentu dijadikan kambing hitam adanya pelacuran anak-anak. Tentu kita semua tidak ingin adanya “Bacha Bazi” yang mengerikan itu ada dan tumbuh dalam masyarakat kita.
Problematika kemudian muncul adalah anak-anak pelacur belum ditempatkan sebagai korban yang semestinya dilindungi oleh hukum. Hal ini tertuang pada pasal 293 ayat (1) “barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”, berarti bahwa pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk ini dapat dijatuhi hukum pidana (dalam konteks delik aduan) bila anak yang menjadi korban adalah bukan anak yang cacat (Yuwono, 2015). Kemudian menurut Soesilo (1996, dalam Yuwono, 2015) yaitu: “anak yang tidak bercacat kelakuannya berarti mengenai kelakuan dalam konteks seksual. Dalam hal ini membujuk seorang pelacur, meskipun belum dewasa, tidak termasuk di sini, karena pelacur sudah bercacat kelakuannya dalam lapangan seksual.”
Fenomena adanya pelacuran laki-laki, menurut saya bukan sesuatu yang baru dan aneh. Mereka menawarkan jasa melalui media sosial, dengan jasa massage dan pijat. Atau bahkan mereka menawarkan jasa seks dengan tarif tertentu. Selagi mereka sudah dewasa, hal itu mungkin bukan suatu masalah, apalagi alasan mereka menjadi penyedia jasa seks bukan semata karena ingin mendapatkan uang. Sekali lagi, hal ini akan bermasalah jika anak-anak yang dijadikan sebagai pemuas seks.
Pada era baru ini, akan banyak sekali fenomena-fenomena sosial yang akan mengemuka. Sebenarnya hal itu bukan merupakan sesuatu yang baru, hanya saja kita baru mengetahui bahwa fenomena itu ada dalam lingkungan sosial kita. Oleh karena itu, menurut saya penting kiranya menanamkan pendidikan-pendidikan yang melek gender dan “respect each other”. Hal ini penting karena masyarakat kita saat ini cenderung individualis dan tidak peduli (cuek), hal ini merupakan bahaya besar bagi bangunan perdamaian di negeri kita tercinta. Pendidikan melek gender menurut saya penting dilakukan untuk mengontruksi sikap peduli terhadap sesama manusia, tidak memandang jenis kelamin, orientasi seksual, bahkan agama, suku dan ras. Bagi saya, yang terpenting dalam persoalan melek gender adalah kepedulian atau respect kita terhadap sesama manusia. Begitu pula dengan sikap kita dalam menyikapi pelacuran laki-laki, jika kita tetap acuh dan cuek, ancaman dan bahaya besar senantiasa memangsa anak-anak kita.
Daftar Pustaka:
Jones, S. V. 2014. Ending Bacha Bazi: Boy Sex Slavery and the Responsibility to Protect Doktrin. Ind. Int’l & Comp. Law Review. Vol. 25, P. 63-78.
Niko, N. 2016. Boy Prostitute: Kemiskinan dan Life Style. Yogyakarta: Deepublish.
Wharton, R. L. 2010. A New Paradigm For Human Trafficking: Shifting the Focus from Prostitution to Exploitation in the Trafficking Victim Protection Act. William & Marry Journal of Women and the Law Review. Vol 16, P. 23-48.
Yuwono, I. D. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.