Ada satu masa di mana seorang bapak tak dapat menggantikan peran Ibu kepada anaknya. Masa menyusui atau memberi ASI (air susu ibu) namanya. Pemberian ASI biasa berlangsung antara enam bulan hingga dua tahun. Peran ibu sangat penting saat ini. Selain masa pendidikan awal setelah dalam kandungan, sentuhan dan bahasa lembut ibu kepada sang bayi akan memberi ikatan batin yang kuat diantara keduanya. Lepas dari soal menyusui, perhatian di setiap detail perkembangan anak menjadi bahan pelajaran penting, berharga, dan menarik bagi kedua orang tua, bapak dan ibu. Kenyataan di atas ingin menegaskan bahwa soal menjaga, merawat, dan mengikuti setiap perkembangan anak bukan hanya tugas perseorangan, tapi hak dan kewajiban kedua orang tua. Bapak dan ibu berhak mengetahui dan mengalami masa-masa berharga di setiap tahapan perkembangan anak. Kewajiban menjaga, merawat, melindungi dan memberi jaminan kehidupan yang layak pun dibebankan kepada bapak dan ibu. Sayangnya, hingga kini, sebagian dari masyarakat kita masih berpandangan bias. Hak dan kewajiban menjaga anak sejak kecil hingga dewasa dianggap hanya menjadi tugas alami (kodrat) seorang Ibu. Adapun bapak hanya bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Ini pandangan keliru yang tak kunjung selesai karena begitu mengakarnya budaya patriarki dalam masyarakat kita. Pengurangan Jam Kerja Perempuan Implikasi dari pandangan bias di atas melahirkan banyak efek negatif, dimana perempuan yang cenderung menjadi korbannya. Belum juga selesai berbagai perlakuan diskriminatif pada perempuan, kini perempuan kembali dihadapkan pada wacana pengurangan jam kerja. Mungkin saja Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden, bermaksud berpihak pada perempuan dengan mengusulkan wacana ini. Sayangnya, niat baiknya kali ini didasari argumen yang keliru. Menurutnya, dengan mengurangi jam kerja perempuan selama dua jam, perempuan yang sudah berkeluarga akan punya lebih banyak waktu untuk mengurus anaknya di rumah. Pernyataan JK bermasalah dalam beberapa hal. Pertama, berangkat dari pandangan umum yang mengganggap hanya perempuan yang butuh dan perlu mengurus anak. Padahal, setiap perkembangan anak mesti disaksikan dan dialami oleh kedua orang tuanya agar tak satu pun momen berharga hilang. Melalui momen kebersamaan, ikatan emosional antara kedua orang tua dan anak dapat terbangun dengan baik, sehingga proses pendidikan keluarga pun mulai terinternalisasi kepada sang anak. Di Swiss, pemerintah bahkan memberikan cuti kerja bagi para bapak untuk menjaga anaknya. Tampak keputusan pemerintah Swiss ini berangkat dari kesadaran tentang pentingnya kebersamaan kedua orang tua dengan anaknya. Kedua, saat ini, tak semua bapak bekerja di luar rumah, sementara Ibu di rumah. Banyak keluarga yang mengalami sebaliknya. Entah karena alasan komitmen bersama ataupun karena kebetulan ibu lebih berkesempatan bekerja di luar rumah dibanding bapak. Dalam kasus ini, tentu ibu tak perlu mempercepat kepulangannya sebab sang anak aman bersama bapak. Ketiga, siapa yang bisa menjamin bahwa perempuan yang meninggalkan kantor lebih awal, benar pulang ke rumah untuk menjaga anaknya? Bukan tak mungkin ada yang memilih mengambil pekerjaan tambahan atau malah nongkrong bersama temannya. Keempat, jika diberlakukan secara umum, pengurangan jam kerja bagi perempuan dapat menurunkan “daya tawar” perempuan, khususnya di perusahaan-perusahaan global. Saat prinsip “waktu adalah uang” yang dikedepankan, maka mengurangi dua jam sama saja membuang “mesin uang”. Masuk akal jika perusahaan tak mau merugi dengan mempekerjakan perempuan. Kelima, namun paling penting, efek negatif wacana ini semakin membuka lubang diskriminasi dan pelemahan pada perempuan. Seolah-olah perempuan tak mampu mengatur setiap sisi kehidupannya sehingga perlu diberi “subsidi”, agar tak menanggung beban yang tak mereka sanggupi. Lagi-lagi pandangan yang keliru, sebab perempuan adalah makhluk dan khalifah (pemimpin) yang diberi kemampuan sama dengan laki-laki oleh Tuhan. Pandangan kesetaraan inilah yang seharusnya kita perjuangkan untuk memutus pandangan bias relasi antara perempuan dan laki-laki menuju relasi yang seimbang dan proporsional. Revolusi Mental Revolusi mental yang menjadi semangat pemerintahan kabinet Jokowi-JK harus diturunkan pada kebijakan-kebijakan yang inovatif, kreatif, dan revolusioner. Wacana pengurangan jam kerja perempuan jelas mementahkan semangat revolusi mental. Bukannya maju, tapi mundur ke zaman sebelum reformasi. Semangat revolusi mental sebaiknya berkonsentrasi pada perlindungan dan dukungan peningkatan kinerja perempuan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mendukung kerja-kerja perempuan. Misalnya, memastikan di setiap tempat kerja dan ruang publik tersedia fasilitas seperti, ruang menyusui, toilet khusus perempuan penyandang disabilitas, ruang bermain anak sekaligus kumpul keluarga yang bisa digunakan pada jam istirahat kantor dan memberi cuti haid. Jika kita percaya bahwa setiap momen bersama keluarga itu berharga, maka menyediakan waktu cuti bagi laki-laki dan perempuan agar secara bergantian menikmati waktu kebersamaan bersama anaknya, juga dapat menjadi alternatif. Faktor pendukung lain yang diperlukan perempuan adalah pemerintah memastikan keamanan fasilitas umum, khususnya di jalan dan di angkutan umum. Di tempat-tempat inilah kejahatan fisik dan psikis terhadap perempuan masih mengerikan. Perbaikan fasilitas umum dan tindakan tegas pada pelaku kejahatan di jalan, tentu akan mendukung peningkatan kinerja perempuan. Tak ada alasan terpaksa terlambat ke kantor karena khawatir berdesak-desakan di kereta, misalnya. Pulang malam pun tak menjadi momok yang mengerikan karena khawatir dirampok di ojeg, termasuk di angkutan berkelas semacam taksi. Jika pemerintahan Jokowi-JK masih memegang prinsip revolusi mental, kebijakan yang dikeluarkan tentu datang dari hasil kajian yang holistik, merdeka, serta berpekspektif keseimbangan dan keadilan untuk semua pihak. Bukankah revolusi mental memang ingin menghancurkan mental-mental lemah dan terbelakang yang menghinggapi negara kita akhir-akhir ini? Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |