Beberapa minggu lalu, saya mendapat telepon mengejutkan dari pos jaga di depan kantor. “Mbak, ada dua tamu yang mengunggu di depan”, kata Pak Mado, satpam KontraS. Lebih terkejut lagi saya, tatkala bertemu dengan kedua tamu tersebut. Rupanya mereka masih muda dan berasal dari dua lembaga berbeda, masing-masing dari Arus Pelangi dan Perempuan Mahardika. Bukan hal mengherankan jika saya terkejut. Biasanya tamu yang saya terima lebih banyak berusia senja. Maklum, saya berada di Divisi Pemantauan Impunitas. Divisi khusus di KontraS yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Salah satu tamu tersebut bertanya dengan malu-malu, “Mbak, tanggal 20 November mendatang kami akan memperingati Hari Transgender Internasional. Bolehkah kami menyelenggarakan puncak peringatannya di Aksi Kamisan?”. Tentu, saya yang memiliki ketertarikan lebih pada kajian gender dan perempuan sangat antusias menyambut usul tersebut. Alangkah menyenangkan jika Aksi Kamisan yang seringkali hanya digelar bersama lima sampai delapan korban berusia senja, akan kedatangan sekitar 50-60 orang kawan transgender dari beberapa provinsi di Indonesia. Sampai hari itu tiba, saya sangat bersemangat mempersiapkannya. Upaya kecil mengajak kawan-kawan jaringan untuk hadir pun saya coba lakukan. Entah itu lewat pemberitahuan singkat di berbagai grup pertemanan, atau sekadar membuat kultweet singkat tentang agenda di Aksi Kamisan ke-375 tersebut. Seperti Kamisan-Kamisan sebelumnya di era pemerintahan baru ini, saya bertugas menjadi editor surat Kamisan yang akan diserahkan ke Sekretariat Negara—yang semoga kemudian disampaikan pula kepada Bapak Presiden Joko Widodo. Betapa sedih rasanya ketika membaca surat Kamisan yang dikirimkan oleh komunitas pendamping kawan-kawan transgender. Tertera di dalamnya narasi beberapa kasus kejahatan yang umumnya menimpa mereka, diantaranya adalah stigmatisasi, diskriminasi (termasuk dalam beberapa akses layanan publik), kekerasan verbal maupun non-verbal, penolakan dan pengusiran secara paksa atas dasar kebencian, hingga tindak penghilangan nyawa yang seringkali disertai dengan tindak penyiksaan. Transgender Day of Remembrance merupakan sebuah hari yang sengaja diperingati untuk mengenang mereka yang menjadi korban saat mengampanyekan anti-transgender di berbagai belahan dunia. Adapun peringatan tersebut pertama kali dilakukan untuk mengenang Rita Hester, seorang transgender yang dibunuh pada 28 November 1998 di Allston, Massachusetts, Amerika Serikat. Transgender sendiri—sebagaimana yang didefinisikan oleh beberapa komunitas transgender di Indonesia—merupakan sebuah terminologi payung yang mencakup transgender wanita (waria), transgender pria (priawan/transmen), serta varian-varian gender lainnya yang belum terkonfirmasi secara normatif. Tahun ini, momentum peringatan Hari Transgender di Indonesia tidak hanya dimaknai sebagai wujud kepedulian atas berbagai bentuk ketidakadilan terhadap transgender yang masih berlangsung hingga hari ini, tetapi juga sebagai desakan kepada pemerintahan baru untuk segera mengakui gender ketiga. Menjelang pukul 14:00 di tanggal 20 November lalu, kantor KontraS telah dipenuhi sekitar 40 kawan-kawan transgender. Mereka semua menggunakan kaos hitam dengan tulisan “Akui Gender Ketiga di Indonesia, Sekarang!” yang berwarna kuning. Terasa betul semangat mereka di hari itu. Beberapa bahkan sudah berdandan dan berfoto bersama di depan instalasi yang berdiri di halaman depan kantor—padahal aksi baru akan digelar pada pukul 16:00. Saya kembali mendatangi Lutfi, panitia dari Arus Pelangi yang saban hari mendatangi kantor. Saya hendak meminta beberapa perwakilan dari kawan-kawan transgender membaca kembali surat yang telah saya edit. “Ini kenapa kasus pengusiran di Tambora tahun 2013 sih yang dimasukin?”, protes Fin, selaku koordinator lapangan. “Masih banyak kasus lainnya yang lebih up-date. Kalau nggak salah awal tahun ini ada teman kita yang dibunuh deh di Taman Lawang”, lanjutnya. Akhirnya saya dan Fina mencari berita tersebut di internet. Kami memasukan beberapa kata kunci, seperti “waria+pembunuhan+Taman Lawang” atau “Maret 2014+ pembunuhan+waria”, dan lain sebagainya. Sungguh menyedihkan ketika yang kami dapati adalah berita bernada minor yang mencemoohkan transgender. Sebagian besar berita malah memuat judul yang terkesan “esek-esek” dan sangat merendahkan kelompok waria pada khususnya. Lama kami mencari. Akhirnya kami menemukan satu portal berita yang memuat pembunuhan waria pada awal tahun 2014 ini. Pun artikel tersebut tidak ditulis dengan nada simpati, seperti kebanyakan berita pembunuhan lainnya yang juga menyertakan keterangan visum korban atau pernyataan keluarga korban. “Duh, ini sudah hanya satu, bahasanya begini pula yaa..”, keluh Fani. Baru kali itu saya mendengar langsung keluh dari seorang waria terkait pemberitaan media tentang kawan-kawannya. Begitu banyak tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual di Indonesia, namun hanya sedikit sekali yang diberitakan oleh media—apalagi dengan komposisi perspektif HAM atau gender yang proporsional, nyaris tidak ada. Menjelang pukul 15:00, kami dikejutkan dengan informasi adanya aksi perwakilan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) se-Indonesia di depan Istana Negara yang menuntut dibatalkannya kenaikan BBM bersubsidi. Tentu bukan momentum ideal bagi kawan-kawan transgender menggelar aksi bersamaan dengan mereka. Faktor keamanan menjadi prioritas utama yang harus dipertimbangkan. Alhasil saya pun bergegas pergi ke lokasi guna memantau dinamika aksi di sana. “Ayash, sepertinya tidak memungkinkan bagi kita untuk melanjutkan acara deh”, jelas Widy—salah seorang staf Divisi Program dari Arus Pelangi, “Soalnya beberapa bulan lalu kita sempat diserang waktu buat acara di Depok dan Jakarta. Mereka yang menyerang kita ada diantara barisan mahasiswa itu, Yash!”. Saya tetap bersikukuh soal keamanan kawan-kawan, mengingat banyaknya aparat kepolisian yang akan berjaga di sekitar lokasi Aksi Kamisan. Saya percaya mahasiswa masih memiliki rasa toleransi antar sesama. Pendapat bodoh tersebut luruh seketika tatkala Lutfi menelepon saya. “Yash, maaf sekali kami tidak bisa melanjutkan aksi. Kawan-kawan di sini beberapa masih ada yang trauma. Mereka pernah digebuki ketika menggelar aksi di daerah masing-masing. Sebenarnya tidak apa-apa, tapi kasihan mereka kalau dipaksakan. Kami langsung balik ke wisma ya, Yash. Tolong sampaikan terima kasih dan maaf kami kepada Ibu Sumarsih, serta korban-korban pelanggaran HAM lainnya yang telah memberikan izin”. Hari itu kami memang tetap menggelar Aksi Kamisan. Surat Kamisan ke-5 yang bertajuk “Akui Gender Ketiga: Peringatan Hari Mengenang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Transgender (International Transgender Day of Remembrance)” pun tetap kami sampaikan ke petugas Sekretariat Negara. Hari itu kami juga tetap menggelar refleksi dengan tema serupa. Kami juga tetap membagikan surat yang sama ke beberapa rekan media dan mahasiswa yang datang meliput. Semua sama, tapi tentu ada yang berbeda tanpa kehadiran kawan-kawan transgender di sana. Di ruang-ruang kelas, kita sering berbicara tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kita juga sering berbicara tentang keadilan dan kesetaraan. Tetapi, di ruang-ruang masyarakatlah kita akan melihat bagaimana seluruh konsep tersebut melebur dengan realitas. Hari itu juga, saya mendapat kabar menyedihkan dari seorang kawan. Aksi simpatik kawan-kawan transgender di Yogyakarta mendapat serangan dari beberapa oknum yang mengatasnamakan agama. Beberapa kawan di sana terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Fear of crime Guna melindungi kepentingannya, beberapa kelompok masyarakat menganggap komunitas LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer) sebagai sebuah kelompok kriminal. Mereka takut. Oleh karena itu bagi mereka keberadaan komunitas LGBTIQ pantas dimusnahkan sampai ke akar-akarnya agar tidak menjadi bahaya laten seperti komunis. Itulah sebabnya saya percaya, bahwa tabu terhadap persoalan seksualitas di Indonesia sama bermasalahnya dengan tabu fakta kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Di sisi lain, ketakutan yang sama juga terjadi pada komunitas LGBTIQ di Indonesia. Mereka merasa takut pada kelompok-kelompok ekstremis yang intoleran atau anti terhadap keberagaman. Meski tak sedikit pun kawan-kawan LGBTIQ menganggap gerombolan tersebut sebagai kriminal yang pantas dibumihanguskan. Adalah pesan untuk hidup berdampingan tanpa stigma, diskriminasi, kekerasan, dan ketakutan semacam itulah yang hendak komunitas ini sampaikan kepada publik. Saya masih percaya—betapa pun saya telah menyaksikan sendiri ketakutan kawan-kawan transgender di hari itu—bahwa suatu saat masyarakat Indonesia belajar saling menghargai. Dengan bijak menolak kekerasan dan merawat kebebasan. Entahlah. Setidak-tidaknya, jika menggunakan perspektif gender dirasa masih sangat sulit untuk diterima, mungkin kita dapat belajar menggunakan perspektif kemanusiaan dalam menyikapi perbedaan. Bukanlah, manusia diciptakan untuk tidak saling melukai sesama? 16/12/2014 07:28:11 pm
Hi temen-temen saya juga seorang waria , bagai mana cara saya ikut berpartisipasi kalau saya tinggal di luar kota ( Bali ) saya tertarik dalam membahas masalah ini , apakah ada social media yang bisa di hubungi , thanks . Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |