Tahun 2014 adalah tahun politik, kita sebagai warga negara Indonesia menyaksikan dan turut ikut serta dalam menentukan wakil kita melalui pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden. Pada tahun ini pula para calon wakil rakyat berebut mendapatkan simpati rakyat untuk mendulang suara. Berbagai pemikiran dan ayat-ayat suci juga digunakan untuk menjadi landasan dan alasan untuk merebut simpati rakyat. Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki dasar hukum utama yaitu Alquran disusul hadis dan ijtihad. Anjuran umat islam untuk memimpin telah dituangkan dalam beberapa ayat-ayat Alquran seperti pada surat Al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…” Dan pada surat Al An’aam ayat 165: “Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Dia Tuhanmu amat cepat siksaan-nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[1] Sayangnya, pemahaman akan penguasa dalam beberapa ayat di Alquran ini sering kali dimaknai sempit penguasaan dan kepemimpinan terhadap manusia dan penguasaan terhadap alam. Pemilihan kata “penguasa” dibadingkan “pemimpin” juga mampu menggiring pandangan kita terhadap khalifah. Penguasa berasal dari kata kuasa atau dalam kata kerja menguasai yang berarti memegang kekuasaan atas sesuatu. Sesuatu disini sering kali dimaknai sempit hanya sekadar menguasai sebagian manusia atau kelompok. Padahal, isi bumi ini tidak hanya manusia, unsur kehidupan secara biologis dibagi biotik dan abiotik. Manusia memang bagian dari klasifikasi biotik tetapi begitu juga dengan hewan, tumbuhan, bakteri, dan kita sebagai makhluk hidup biotik juga tidak bisa hidup sendiri tanpa disokong abiotik seperti tanah, oksigen, air dan sebagainya. Pemaknaan penguasa disini merujuk pada manusia sebagai makhluk hidup yang dianggap memiliki akal dan mampu berpikir secara rasional dan tidak mengikuti insting dasarnya saja. Manusia mampu mengelola unsur biotik dan abiotik lain di luar dirinya, karena itulah manusia dipilih sebagai khalifah di bumi ini. Dalam buku Kangen Indonesia, Hisanori Kato menulis bahwa penggunaan sendok dan garpu ketika makan menyimbolkan manusia yang mampu menguasai alam. Apakah alam memang diciptakan untuk dikuasai? Pemikiran modern yang ditandai dengan revolusi industri merupakan perpanjangan atas pandangan antroposentris sebagai bentuk perlawanan dari theosentris pada masa abad pertengahan. Sayangnya, pemikiran modern ini melahirkan antroposentris yang kebablasan dan kemampuan manusia dengan sudut pandang manusia telah meninggalkan alam serta batas-batasnya. Khalifah bukan saja manusia menguasai manusia lainnya, tetapi lebih kepada mengelola dengan bijak manusia dan non-manusia. Kekuasaan adalah keinginan yang tidak ada habisnya karena menjadi salah satu dasar stratifikasi sosial sedangkan jika kita menggunakan kata mengelola akan membuat tujuan dari kepemimpinan yang kita lakukan lebih seperti mandat Tuhan untuk berbuat adil. Ekofeminisme menawarkan bentuk kepemimpinan terhadap seluruh makhluk dengan lebih ramah. Ekofeminisme dianggap salah satu cabang dari feminisme. Ekofeminisme adalah suatu gerakan dalam feminisme yang memiliki argumen bahwa penindasan patriarki menghancurkan alam (nature) dengan mengatasnamakan keuntungan (profit) dan kemajuan (progress)[2]. Feminisme menunjukan wajah islam sebagai agama yang memiliki Tuhan yang bersifat Ar-Rahmah (pengasih) dan Ar-Rahim (penyayang) yang biasanya diidentikkan dengan sifat perempuan. Dalam hal ini menunjukkan bahwa dalam kepemimpinan, khilafah diharuskan bersikap pengasih dan penyayang terhadap setiap makhluk. Bersikap pengasih dan penyayang tidak membuat seorang pemimpin menjadi lemah tetapi begitulah seharusnya ia bersikap. Feminisme menawarkan cara memimpin serta pemimpin yang berdasarkan cinta dan kasih sayang, menambal lubang pertarungan umat manusia yang membuat manusia hidup seperti dalam pacuan kuda yang tidak henti-hentinya mencapai sesuatu. Hal ini sempat dikritik dalam beberapa film yang dibuat oleh Aamir Khan, seorang sineas India yang mengatakan hidup ini tidak seperti lomba yang setiap manusia terus-terusan dipacu untuk terus mengejar sesuatu, berlomba untuk menguasai dan sistem pendidikan memang dibuat sedemikian rupa agar kita nantinya bisa dan selalu ingin terus menguasai sesuatu. Saya rasa kita harus sejenak duduk dan berpikir. Mencoba memaknai kepemimpinan yang telah kita lakukan selama ini. kepemimpinan atas diri kita sendiri, rehat dari perlombaan menguasai manusia. kepemimpinan yang kita lakukan atas tubuh kita, kepemimpinan kita dalam mengelola lingkungan hidup, kepemimpinan kita dalam menghargai dan berinteraksi dengan orang lain. Memikirkan kepemimpinan dan tanggung jawab kita terhadap anak-cucu-cicit kita kelak, memikirkan tanggung jawab kepemimpinan kita atas Tuhan. Catatan Belakang: [1] Buku Pintar Al-Quran: Refrensi Lengkap memahami Kitab Suci Al Quran . 2002. Mochtar Storqe dan Muhammad Iqbal.Jakarta: Ladang Pustaka & Intimedia. Hlm 242-243 [2] Kata dan Makna oleh Nur Iman Subono dalam Jurnal Perempuan edisi 80 vol. 19 No. 2, Mei 2014 hlm 167 Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |