Pada mulanya membaca Lelaki Harimau, novel karya Eka Kurniawan, saya tidak mempunyai ekspektasi apapun. Pengetahuan saya tentang penulis pun tidaklah terlalu banyak—saya tahu gaya tulisannya surealis itu saja. Namun dari obrolan yang sering muncul dengan kawan-kawan penikmat sastra, Eka Kurniawan adalah sedikit dari novelis laki-laki yang berkualitas. Sapardi Djoko Damono misalnya menilai tidak ada novelis laki-laki Indonesia sebaik Pramoedya Ananta Toer. Maka membaca novel ini lebih kepada memuaskan hasrat penasaran saya terhadap karya yang menjadi perbincangan khalayak ramai mengingat beberapa waktu lalu masuk nominasi Bookman Prize. Pada bagian awal terasa alur penceritaan yang lambat. Eka Kurniawan bertutur secara perlahan dengan kalimat-kalimat yang panjang. Diksi yang dia pakai tidaklah rumit, kata yang muncul terdengar sederhana, apa adanya mudah dipahami. Misalnya ketika Eka Kurniawan mengeksplorasi seksualitas—adegan persetubuhan—dia memilih kata “menungging” dan “menyodok”. 'Di sana Nuraeni menungging, serupa kuda, dan Komar bin Syueb menyodok dari belakangnya' (h.70). Tanpa mempertontonkan kecanggihan metafora, diksi Eka tetap renyah. Malahan gaya tuturnya yang tidak rumit menjadikan setiap detail cerita (ter)baca dengan jelas. Meskipun demikian dia bercerita secara runut, fokus pada karakter yang hendak dia ceritakan. Pembaca akan dibawa menyelami masing-masing karakter yang muncul dalam setiap babak cerita. Tidak ada tokoh yang muncul dalam novel ini secara tiba-tiba tanpa diketahui jalinan hubungan antar tokoh. Semua tokoh memiliki peran dalam membangun cerita utuh Lelaki Harimau. Perempuan-perempuan Korban Monster Patriarki Tema besar dalam Lelaki Harimau adalah dendam dan amarah, selayaknya harimau kelaparan yang siap menerkam mangsanya, begitu kira-kira kesan awal ketika membaca beberapa ulasan dan tanggapan tentang novel ini. Saya pribadi mempunyai persepsi yang berbeda setelah merampungkan novel ini dua kali. Setidaknya kepekaan saya terhadap isu perempuan membawa saya untuk mendalami narasi perempuan yang terkandung dalam Lelaki Harimau. Memang dengan judul dan tokoh utamanya Margio—satu dari sekian karakter laki-laki, novel ini terasa aroma maskulinitas yang menyengat—Eka Kurniawan pun, penulis adalah laki-laki. Lalu bagaimana narasi perempuan dalam novel ini? Tentunya menarik untuk dilihat lebih mendalam. Setidaknya saya telah menghitung tokoh perempuan dalam Lelaki Harimau berjumlah 7. Tujuh perempuan tersebut mengelompok dalam 2 keluarga besar. Nuraeni, Mameh, dan Marian ada dalam keluarga Komar bin Syueb—ayah dari Margio, tokoh utama. Sementara lainnya, Kasia, Laela, Maesa Dewi, dan Maharani merupakan istri dan anak-anak dari Anwar Sadat. Dalam cerita utuhnya keluarga Komar bin Syueb dan Anwar Sadat terlibat dalam konflik yang rumit. Kedua keluarga dari kasta yang berbeda ini dipertemukan dalam kondisi yang menyenangkan namun berakhir dalam sebuah tragedi. Nuraeni, ibu dari Margio adalah istri yang dinikahi Komar bin Syueb. Pria ini adalah laki-laki desa yang gagal dalam perantauan lalu kembali ke desa dan kemudian menikah. Lewat perjodohan—gaya menikah dalam tradisi lama yang sebenarnya masih bisa dijumpai saat ini—Syueb menikahi Nuraeni. Kehidupan rumah tangga yang dialami Nuraeni pasca menikah dengan Komar bin Syueb tidak berjalan membahagiakan. Lelaki dengan penghasilan pas-pasan—hanya tukang cukur pinggiran—tidak bisa diharapkan Nuraeni mampu membahagiakannya. Setidaknya masalah ekonomi dan tabiat Komar yang tidak menjadi suami yang baik membawa petaka yang berkepanjangan. Kemiskinan struktural biasanya memang membawa dampak dalam kehidupan rumah tangga. Nuraeni kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Perlakuan kasar yang diterimanya semakin menjadi-jadi karena Nuraeni kerap melawan. Perlawanan dari perempuan yang tidak sepenuhnya merdeka sejak pertama kali memutuskan menikah.
Sementara Kasia, perempuan dari hartawan desa yang mempunyai warisan tanah yang luas dipersunting Anwar Sadat. Pelukis yang terobsesi dengan Raden Saleh dan memiliki karya-karya patung yang murahan. Menikahi Kasia karena hartanya dan kemudian dia pensiun sebagai seniman amatiran. Nasib Kasia agaknya sedikit beruntung dari Nuraeni. Dirinya tidak menerima perlakuan kasar suaminya. Namun kelakuan suaminya tidak kalah menjijikkan dari Komar bin Syueb. Anwar Sadat adalah tipikal lelaki ongkang-ongkangan, main serong dan merendahkan perempuan.
Baik Nuraeni maupun Kasia sama-sama menjadi korban dari lelaki yang tidak lebih adalah parasit dalam rumah tangganya. Keduanya menjalankan kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia yang membuat mereka beradaptasi dan akhirnya masing-masing memiliki mekanisme bertahan yang tangguh. Nuraeni sudah mempan dengan perilaku berangasan dan kasar suaminya. Nuraeni menciptakan dunianya sendiri dan melupakan suami yang kerjanya hanya muntap seisi rumah. Dia sering mengobrol di dapur bersama temannya, panci, yang membuatnya sering dinilai sinting, pun oleh anak-anaknya. Sementara Kasia yang harus menerima kenyataan suaminya tukang main perempuan punya penilain sendiri terhadap rumah tangganya. Tidak penting seberapa banyak Anwar Sadat meniduri perempuan, asalkan tidak beranak pinak dengan pelampias nafsunya. Sikap ini mungkin dilatarbelakangi oleh Kasia yang merupakan perempuan mandiri. Profesi bidan desa yang telah dijalaninya bertahun-tahun membuatnya terlalu remeh mengurusi perilaku miring suaminya. Terlebih dia mandiri secara ekonomi, sementara Anwar Sadat hanya seniman gagal yang tidak bisa dibanggakan. Dengan demikian pengalaman Nuraeni dan Kasia tidak lagi sekadar fiksi, namun juga mewujud dalam fakta sosial yang dekat. Ada banyak Nuraeni dan Kasia di luar Lelaki Harimau. Mereka, perempuan rumah tangga, terdomestikasi, korban KDRT. Ataupun Kasia, perempuan berkarier mapan namun mempertahankan rumah tangganya yang kacau, mengalah pada laki-laki sundal. Pengalaman Nuraeni dan Kasia lekat dengan isu-isu perempuan, dulu dan sekarang. Isu-isu Perempuan dalam Lelaki Harimau Dengan menjajarkan dua tokoh perempuan yang mendapat sorotan utama dalam narasi Lelaki Harimau, Nuraeni dan Kasia, novel ini menjejalkan beberapa tema kunci dalam isu-isu perempuan. Memang isu-isu perempuan yang muncul begitu kasar. Jika pembaca tidak peka dan dekat dengan isu feminisme, cerita Nuraeni dan Kasia terasa banal. Sekadar bumbu drama–kisah kehidupan tragis rumah tangga—yang mengalir mengantarkan kisah Margio, si Lelaki Harimau memangsa korbannya. Bagi saya tokoh utama dalam novel ini adalah Nuraeni dan Kasia, dua perempuan yang dinarasikan sebagai korban lelaki parasit dan sundal. Lewat tokoh Nuraeni selain isu KDRT juga tentang pernikahan anak. Komar bin Syuaeb yang kala itu hampir berusia 30 tahun menikahi Nuraeni di usia 16 tahun. Laiknya tradisi yang masih berlangsung dari dulu sampai sekarang, Nuraeni terjerumus dalam pernikahan anak melalui mekanisme perjodohan–tentang pernikahan anak bisa dilihat dalam edisi terakhir Jurnal Perempuan. Faktor penyebab terjadinya pernikahan anak salah satunya adalah kemiskinan, narasi yang dilakoni Nuraeni. Petaka pernikahan anak selalu berlanjut dalam episode kekerasan dalam rumah tangga. Kemiskinan dan pernikahan anak menjadi variabel jitu yang melahirkan kekerasan dan kehidupan rumah tangga neraka. Kekerasan dalam rumah tangga banyak rupanya, salah satunya adalah marital rape, atau pemerkosaan dalam rumah tangga juga menu utama yang menjadi turunan KDRT. Sebagaimana yang dialami Nuraeni berikut ini.
Kisah Nuraeni juga menuturkan bahwa keluar dari wilayah domestik tidak selamanya membuat perempuan merdeka. Keluar dari jerat Komar bin Syuaeb, Nuraeni bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pikirnya selain menghindari neraka di rumah, dia mencari penghiburan sekaligus menjadi mandiri. Namun Nuraeni harus mengalami pelecehan seksual disaat dirinya terbebas dari wilayah domestik.
Pelecehan seksual yang dialami Nuraeni relevan dengan teori patriarki yang disampaikan Sylvia Walby dalam Theorizing Patriarchy. Anggapan bahwa dengan keluar dari wilayah domestik dan beralih ke ruang publik perempuan akan terbebas dari opresi patriarki tidak sepenuhnya benar. Di ruang publik monster patriarki berubah bentuk, bukan lagi suami atau laki-laki dalam keluarga, tapi majikan ataupun atasan bisa lebih kejam mengeksploitasi perempuan. Persis yang menimpa Nuraeni, perlakuan Anwar Sadat majikannya tidak lebih dari monster patriarki yang malih wujud. Sementara itu Kasia tidak banyak membawa isu perempuan yang diceritakan. Yang menonjol dari sosok Kasia adalah sosok perempuan mandiri, mapan secara finansial, yang mempertahankan pernikahannya. Isu perselingkuhan mewarnai kehidupan rumah tangga Kasia, yang ditutupinya bertahun-tahun. Pengorbanan yang harus ditanggungnya atas nama rumah tangga. Epilog: Monster Patriarki Bernasib Tragis Perempuan-perempuan dalam Lelaki Harimau adalah perempuan-perempuan yang ditindas, perempuan-perempuan yang dikalahkan, dan perempuan-perempuan yang dinistakan. Mereka adalah korban dari monster patriarki yang kasat mata. Monster patriarki itu adalah suami yang melakukan kekerasan terhadap istri, atau ayah yang mencabuli anak, atau pun majikan yang melecehkan bawahannya secara seksual. Permasalahan yang selama ini menjadi isu advokasi perempuan terwakili dalam kisah perempuan-perempuan Lelaki Harimau. Jelas dan bernas! Meskipun diawali dengan kekalahan dan ketertindasan, perempuan-perempuan ini beroleh kemenangan yang tampaknya diberikan karena keberpihakan penulis. Komar bin Syueb, suami ongkang-ongkangan yang ringan tangannya membuat Nuraeni menanggung memar lahir batin akhirnya mati, sekarat dengan dosa-dosanya. Sampai-sampai mayatnya ditolak lubang makamnya sendiri. Sementara Anwar Sadat, lelaki cabul tukang serong, tidak lebih baik, malahan lebih nahas. Kematiannya dinistakan sedemikian rupa. Kepalanya terputus dari badannya, diterkam macan ngamuk. Kematiannya dirayakan dengan kubangan darah yang menggenapi kengerian nasibnya. Baik Nuraeni dan Kasia, sama-sama dingin menanggapi kematian dua monster ini. Demikian fiksi yang dinarasikan Eka Kurniawan dalam tuturan yang mengalir pelan namun pasti mengarah pada nasib tragis. Mungkin saja secara adaptif Eka Kurniawan mencuplik isu-isu perempuan lalu mengemasnya dalam bumbu dendam Lelaki Harimau. Tampaknya Eka Kurniawan secara tidak langsung melahirkan mitos baru. Monster Patriarki bernasib tragis. Hantu Anwar Sadat dan Komar bin Syueb akan membayangi siapapun (monster) patriarki. Jangan coba-coba menjadi Anwar Sadat ataupun Komar bin Syueb! Petuah yang tidak bertele-tele, mengerikan!
Shinju
5/7/2017 07:01:02 am
Menarik Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |