Yulianti Muthmainnah (Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah dan Mahasiswi Paramadina Graduate School of Diplomacy) [email protected] Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi bukan hanya selaras dengan ajaran Islam, tetapi juga mendukung perlindungan dan jaminan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, terutama perempuan korban perkosaan. Muktamar Internasional yang dihadiri negara-negara Islam di Zagreb, Kroasia, 2012, menghasilkan fatwa perempuan korban perkosaan boleh melakukan aborsi. Demikian disampaikan Syekh Yusuf Qardhawi. Alasannya, perkosaan itu bukan kehendak mereka, mereka pun tidak menanggung dosa akibat perbuatan itu, sehingga mereka boleh melakukan aborsi. Di Indonesia, terjadi pro dan kontra terkait aborsi. Kelompok yang menolak berpatokan pada larangan agama dan hak anak untuk hidup terlepas dari apapun status dan kondisi yang dialami sang ibu/perempuan hamil tersebut. Sedang kelompok yang mendukung berpandangan bahwa agama memperbolehkan untuk kondisi darurat, tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia di Asia Tenggara juga kondisi fisik dan trauma psikis perempuan korban perkosaan yang harus mendapatkan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Pemerintah menyetujui pelaksanaan aborsi secara aman, legal, dan berstandar. Aborsi diatur sangat ketat, melalui tahapan yang panjang (Pasal 31–39). Persetujuan keluarga diharuskan bila aborsi karena indikasi kedaruratan medis (Pasal 35). Pada korban perkosaan, usia kehamilan sesuai kejadian perkosaan dengan bukti surat dokter, keterangan penyidik, psikolog, dan ahli (Pasal 34). Aborsi pun baru bisa dilakukan setelah melalui tahapan konseling (Pasal 37), dilakukan oleh dokter berstandar, bukan untuk tujuan materi (Pasal 35–36) dan harus dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota (Pasal 39). Apabila perempuan korban perkosaan membatalkan rencana aborsinya setelah konseling, maka selama hamil, harus terus didampingi konselor, anak yang dilahirkan dari perkosaan dapat diasuh keluarga atau menjadi anak asuh negara (Pasal 38). Hilangnya jaminan kepastian hukum, potensi pelanggaran hak perempuan korban dan risiko memunculkan pengabaian ada dalam Pasal 39, rumusannya tidak membatasi jangka waktu keluarnya surat izin dari kepala dinas. Apakah visum et repertum tidak cukup? Bagaimana jika surat tak kunjung keluar? Padahal janin kian tumbuh dan aborsi hanya bisa dilakukan dengan syarat usia kehamilan dibawah enam minggu (Pasal 75 (ayat 2) UUK). Memahami Perkosaan Perkosaan merendahkan martabat perempuan dan melanggar HAM. Deklarasi PBB Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993, mendefinisikan perkosaan sebagai setiap perbuatan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun privat. Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court) memasukkan perkosaan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang ditanganinya sejak 2002. Perkosaan terjadi karena adanya relasi kuasa yang tidak setara antara korban dan pelaku. Kate Millet mengatakan perkosaan sebagai cara sosial yang efektif untuk menundukkan dan mempermalukan suatu komunitas. Dengan perbuatan itu laki-laki merasa menang, perempuan korban dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, ingin “bersenang-senang” dengan gerombolan laki-laki lainnya, menganggap rendah perempuan, menganggap perempuan milik laki-laki, ingin memamerkan kuasa dan membuktikan kekuatan dirinya (Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape The War Against Women in Bosnia-Herzegovina). Pandangan Agama Perkosaan berbeda dengan zina. Zina, perbuatan hubungan seksual diluar nikah, biasanya dilandasi kesenangan atau suka sama suka. Hukuman pezina yang belum menikah adalah dicambuk 100 kali (jild) atau dilempari baru (rajam) bagi yang telah menikah. Sedangkan perkosaan terjadi karena paksaan/ancaman. KH Husein Muhammad, meng-qiyas-kan pemerkosa seperti “muharib” (penyerang dalam perang) sehingga harus dihukum berat. Islam sangat memperhatikan nasib perempuan. Kedatangan Islam justru mengangkat derajat perempuan dari bukan siapa-siapa dan dapat diwarikan menjadi seseorang yang kelahirannya dirayakan melalui aqiqah. Perempuan (manusia) makhluk mulia ciptaan Allah SWT (Q.S. Al-Isra:70), perempuan dan laki-laki diciptakan dari substansi (nafs) yang sama (Q.S. An-Nisa:1), perempuan memiliki kedudukan setara dan sederajat dengan manusia lainnya (Q.S al-Hujurat:13). Alquran telah mengharamkan hubungan yang saling melecehkan antara manusia (Q.S al-Hujurat: 11). Jika melecehkan saja diharamkan Alquran apalagi menyerang dan menghinakan perempuan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas sesuatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa dan karena dipaksa melakukannya.” Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada Muktamar Tarjih XXII di Malang, 1989, mengeluarkan Putusan berkenaan dengan hukum abortus. Kesimpulan singkat dari Putusan tersebut; (1) abortus provocatus criminalis atau aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis yang jelas adalah haram, (2) abortus provocatus medicinalis atau aborsi yang dilakukan karena alasan medis dapat dibenarkan lantaran darurat, yaitu adanya kekhawatiran atas keselamatan, kesehatan ibu waktu mengandung, melahirkan berdasarkan hasil konsultasi dengan para ahli. Perempuan korban perkosaan, rata-rata mengalami trauma luar biasa, bahkan banyak dari mereka ingin bunuh diri. Karena itu, sepatutnya kita berpihak pada mereka. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |