Ada masalah serius dalam pembacaan kitab suci ketika membincangkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, terutama masalah seksualitas dan moralitas. Dalam teks agama-agama Ibrahim, pembacaan narasi tentang Adam yang teralienasi dari Tuhan dan diturunkan ke bumi setelah memakan buah Khuldi akibat bujuk rayu Hawa, begitu kuat didengungkan untuk memberikan justifikasi bahwa secara intlektual dan spiritual, kaum perempuan itu inferior, jauh dari Tuhan dan dekat dengat setan. Dalam pembacaan yang bias, nenek moyang perempuan adalah dia yang sangat mudah tergoda oleh bujuk rayu Iblis yang menyamar. Dalam kitab Kejadian misalnya, konsekuensi dari bujuk rayu itu, adalah wanita yang harus menderita saat mengandung dan akan selalu birahi pada laki-laki. Begitu juga dalam Al-Qur’an dimana wanita dikonsepsikan sebagai perhiasan dunia dan objek birahi (madzinah sahwat) yang menggoda laki-laki. Dalam pembacaan yang lebih lanjut, wanita adalah tempat dimana setan bersemayam untuk menggoda laki-laki yang sholeh. Membaca kitab suci dengan cara male centrist seperti ini bukan hanya berbahaya untuk semangat keadilan dengan mengkaburkan nilai-nilai sakral dalam hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi juga mengakibatkan distorsi dan memberikan konsepsi akan keberpihakan sang khaliq pada satu entitas gender tertentu. Adalah jamak terjadi bilamana pada masyarakat patriarki, pemahaman yang bias tentang seksualitas yang hadir dalam kitab suci kemudian diangkat ke dalam isu generasi dan isu moralitas. Isu ini berdampak pada pemahaman dimana wanita yang baik-baik dan bermoral adalah dia yang dikonsepsikan mampu menjaga tubuhnya sendiri. Isu generasi misalnya, ada pada pemahaman bahwa wanita harus tetap perawan dan belum pernah disentuh sampai saat pernikahan, bukan hanya untuk menyenangkan sang suami di malam pertama, tetapi juga untuk menjaga kehormatan keluarga. Dalam peziarahan saya di kantong-kantong pernikahan dini, banyak sekali keluarga yang merasa perlu untuk menikahkan anak gadisnya secepat mungkin, agar terhindar dari beban bahwa keperawanan anak gadis itu rentan. Sedikit terkoyak maka hancurlah kehormatan keluarga, maka jalan yang cukup efektif adalah menikahkan mereka sedini mungkin. Sementara isu moralitas membawa pada fenomena menutup diri (veiling), dimana oposisi biner antar bermoral dan tidak bermoral ditentukan oleh penampilan fisik (physical appearance) semata, wanita itu berkerudung atau tidak, pakaiannya panjang atau pendek, dia memakai kemben atau baju kurung dan lain sebagainya telah menjadi standar utama apakah wanita itu bermoral atau tidak. Sindrom moralitas dengan veiling ini bukan hanya menjangkit masyarakat urban yang religius, tetapi juga menjadi popular di kalangan masyarakat sekuler metropolitan. Dalam fenomena masyarakat seperti ini, narasi seksualitas dan moralitas yang ada dalam kitab suci sangat layak untuk diperbincangkan kembali untuk melihat seksualitas dan posisi perempuan secara utuh. Tentu saja, dalam pembacaan masyarakat religius, isu seksualitas adalah lensa yang tajam untuk melihat apa yang terjadi di masyarakat. Bagaimana kontrol terhadap seksualitas adalah upaya untuk mendominasi yang lain. Maka adalah tepat jika membaca kitab suci, kita juga turut membaca bagaimana isu itu dinarasikan dan diinterpretasikan, serta dalam tujuan apa. Sinopsis Perempuan Dalam Kitab Suci Dalam pembacaan objektif ketika menarasikan Al-Quran misalnya, kita bisa melihat bagaimana ayat yang membicarakan tentang perempuan tidak pernah secara jelas menyebutkan bahwa laki-laki harus mengontrol seksualitas pasanganya. Pada ayat yang menjelaskan seksualitas dalam ayat dzihar[1] (membelakangi istri) misalnya, ayat itu diwahyukan untuk mengkritik pendapat nabi Muhammad yang tidak adil pada kasus wanita yang di-dzihar. Para penafsir sepakat bahwa ayat pertama dalam surah Al-Mujadalah adalah ayat yang turun untuk wanita bernama Khaulah. Seorang wanita yang diabaikan hak seksualitasnya (dzihar) oleh suaminya. Dalam tradisi seksualitas masyarakat Arab, wanita adalah objek seksual, sedangkan laki-laki adalah satu-satunya subjek yang berbicara mengenai seksualitas. Menelantarkan hak seksualitas adalah sesuatu yang menyakitkan sebagaimana melakukan kekerasan seksual. Tradisi ini kemudian dikritik keras oleh Al-Qur’an dengan wahyu yang turun pada Muhammad, bahwa menelantarkan hak seksualitas pada wanita dalam tradisi dzihar adalah tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan. Narasi lain tentang seksualitas dan keadilan bisa kita temukan dalam kitab Kejadian dalam kisah Tamar. Tamar, seorang wanita yang dianggap membawa sial oleh Yehuda karena kedua putranya (Er dan Onan) mati saat menjalin hubungan dengannya. Bahkan kematian Onan terjadi saat dia melakukan coitus interuptus (persengamaan terputus), dan Tuhan murka dengan apa yang dilakukan Onan. Maka oleh Yehuda sang mertua, Tamar dibiarkan menjadi janda tanpa anak dengan janji akan dinikahkan pada Shelah yang masih kecil. Hingga pada suatu hari, Tamar memakai kerudung dan menyamar sebagai pelacur untuk mengelabui sang ayah mertua, dan terjadilah hubungan seksual itu, antara Tamar dan Yehuda. Kedua kitab suci ini, tidak pernah malu-malu atau merasa tabu untuk menceritakan masalah seksualitas. Pada kasus Khaulah dan Tamar yang ditelantarkan hak seksualitasnya, Tuhan dengan gigih membela dengan penuh keadilan bahwa praktik kebudayaan yang mengsubordinatkan perempuan sama sekali tidak diperkenankan. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu ditekankan, pertama saya melihat kasus Khaulah bukan hanya sebagai wanita yang pengaduanya didengarkan oleh Tuhan, tetapi sebagai narasi sosial bahwa seksualitas bukan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan oleh wanita di depan umum. Kitab suci memberikan narasi yang kuat tentang bagaimana seorang istri bisa menuntut suaminya jika berlaku tidak adil. Kedua, geneaology tentang masalah seksualitas tidak memiliki hubungan masalah moralitas. Seksualitas adalah hal yang inborn (bawaan lahir), dan moralitas adalah konstruksi sosial. Sedangkan kitab suci tidak melihat satu konstruksi sosial masyarakat tertentu sebagai konstruksi yang absolut. Maka, moralitas tidak bisa diseragamkan, dan mereka yang memakai cadar, penutup kepala tidak serta merta lebih bermoral dari pada mereka yang hanya memakai kemben. Dengan sudut pandang yang berbeda, maka narasi ribuan tahun tentang Adam yang terusir ke bumi karena bujuk rayu Hawa, atau narasi tentang neraka yang dipenuhi wanita dan wanita yang dekat dengan Iblis dan Setan perlu dibaca ulang untuk dikoreksi dan mempertegas bahwa baik laki-laki atupun perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam hal sosial maupun spiritual. Adalah ironi jika setelah ribuan tahun kitab suci membicarakan seksualitas dengan semangat membebaskan, masyarakat patriarkhi justru berjalan ke arah yang berlawanan, ke arah semangat mendominasi. Dalam budaya religius modern, seksualitas adalah hal yang tabu dan wanita yang “religius”, “bermoral” dan “baik-baik” adalah wanita yang tidak membicarakan seks, karena seksualitas adalah hal yang memalukan, dan godaan menuju seksualiatas itu berawal dari nafsu binatang atau setan. Menyedihkanya, logika tentang tubuh wanita sebagai objek seksualitas atau tempat dimana setan bersemayam untuk manancapkan panah-panah birahinya, diterima dan dijadikan standard moralitas pada wanita. Pada dunia yang mengambarkan tubuh wanita sebagai lokus, atau tempat dimana setan berada (demonic association), hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak akan berjalan berimbang. Karena yang satu dinobatkan sebagai manusia sempurna dan yang satu dianggap lebih rendah dari manusia, dan juga dekat dengan setan yang maha menggoda. Ada perang kosmis-teologis antara laki-laki dan perempuan dimana yang satu dekat dengan tuhan dan yang satu dekat dengan setan. Meski konsepsi semacam ini ironis bahkan menggelikan. Namun menjadi ide dasar proses dehumanisasi berjalan pada ranah teologi, maka ribuan ayat pembebasan gender hanya akan menjadi alat legitimasi untuk mengokohkan dominasi laki-laki. Pada masyarakat religius modern seperti di Indonesia, isu tentang seksualitas acap kali dijadikan alat untuk menundukkan wanita dan memberikan konfirmasi bahwa tubuh wanita itu menggairahkan, namun mereka tidak berdaya untuk menjaganya dan lemah secara alamiah, maka mereka membutuhkan perlindungan dari laki-laki bahkan untuk menjaga dirinya sendiri. Ada security syndrome dimana seseorang merasa tidak aman dengan dirinya sendiri. Tubuh wanita tidak lagi menjadi anugrah, melainkan beban yang harus dilindungi. Sebagai konsekuensi, maka baju-baju kurung dihadirkan untuk menutupi tubuh untuk memberikan jaminan akan moralitas dan keamanan. Meminjam istilah Foucault tentang bio power, tentu saja isu tentang seksualitas dan keamanan tubuh adalah isu yang sengaja dikonstruksi untuk menundukkan pihak lain. Laki-laki perlu untuk berbicara tentang keamanan, moralitas dan seksualitas agar wanita bisa dikontrol untuk tunduk pada peraturan laki-laki. Alih-alih membebaskan dengan prinsip keadilan, kitab suci malah dijadikan justifikasi dari langit untuk membenarkan semua tindakan pengkontrolan. Ketika kitab suci dibaca secara utuh, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, maka kita akan mendapati kesetaraan posisi dalam narasi. Tuhan menempatkan laki-laki ataupun perempuan sebagai hamba, mereka adalah sama sama manusia yang diperintahkan untuk bertaqwa kepada Tuhan dan memiliki hak yang sama dan setara baik secara sosial maupun spiritual. Ketika nabi Muhammad ditanya mengenai posisi laki-laki dan perempuan, beliau menjawab bahwa “laki-laki dan perempuan itu seperti gigi sisir yang berdiri sama tinggi dalam kesetaraan” (Abi Dawud dan Tirmidzi dari Aisyah). Singkatnya, narasi tentang pengontrolan tubuh dan seksualitas atas alasan moralitas tidak pernah secara jelas disebutkan dalam kitab suci sebagai akar teologis yang diskriminatif. Itu adalah produk penafsiran dan ekspresi budaya patriarki dimana wanita harus lebih sopan dari pada laki-laki. Fenomena menutup tubuh, ketabuan berbicara tentang tentang seksualitas di depan umum dan persepsi bahwa wanita yang berbicara tentang seks adalah wanita yang kurang bermoral adalah konstruksi masyarakat religius modern yang male centrist. Fenomena ini tidak sejalan dengan prinsip kitab suci yang membebaskan dengan penuh keadilan, seperti cerita Khaulah dan Tamar. Jika memang memakai penutup aurat adalah keharusan yang difirmankan dalam kitab suci, maka semata-mata itu berdasarkan ketaqwaan kepada sang khalik, bukan berdasarkan moralitas, kontrol sosial apalagi tentang tubuh yang dihinggapi setan. Catatan Akhir: [1] Dzhihar berasal dari kata dzahara yang artinya punggung. Kata ini digunakan oleh suami untuk tidak lagi memiliki hubungan seksual dengan istrinya Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |