Judul : PUTIH: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional Penulis : L. Ayu Saraswati Penerbit : Marjin Kiri Edisi : Pertama, Juli 2017 Tebal : 254 halaman Tak perlu melakukan pengamatan besar, cukup cermati dua sampai tiga menit iklan televisi di sela-sela sinetron atau acara peak hours. Kita akan menemukan dari waktu yang singkat itu pasti ada satu atau dua iklan pemutih. Baik pemutih wajah, gigi, pakaian, lantai, kaki tangan, lipatan ketiak, hingga tungkak kaki. Sebuah usaha terus-menerus untuk membentuk framing akan pentingnya warna putih yang sudah lumrah di masyarakat. Seolah putih adalah simbol keindahan paripurna.
Putih yang oleh penulis dikhususkan untuk menyifati kecerahan kulit perempuan ternyata bukan sekadar penanda cantik atau buruk semata. Ada konten rasisme yang terselubung dan kepatuhan akan artefak kolonialisme sisa Jepang dan Belanda. Hingga terbentuklah sebuah keyakinan, atau dalam bahasa L. Ayu Saraswati tentang afek dan rasa bahwa warna putih jauh lebih baik dari warna gelap untuk kulit perempuan. Saraswati mengerucutkan pembahasan putih hanya untuk perempuan dan berkisar di ranah gender. Meskipun di era milleneal sekarang, demikian juga disadari oleh Saraswati, putih dan kulit bersinar pun diidamkan oleh kaum laki-laki. Bila dalam bahasa Saraswati melaki-lakikan istilah putih yang semula terkesan lebih feminin dengan padanan baru yakni white active. Memberi rasa maskulin dan sportif, yang berusaha menggaet lelaki tertarik dengan produk pemutih wajah. Dua alasan mengapa sosok perempuan harus selalu dibandingkan dan dipuja bentuk fisiknya karena sejak bayi perempuan lebih banyak menerima komentar tentang warna kulit dibanding bayi laki-laki. Kemudian juga karena laki-laki tidak seperti perempuan, tidak diminta oleh orang lain maupun kepatutan sosial untuk mempergunakan riasan wajah (hal. 203). Pembangunan persepsi dan kemudian mendarah daging hingga menumbuhkan afeksi akan keunggulan warna putih, dimulai bahkan sejak pra-Indonesia. Penelitian dalam buku ini mengungkapkan bahwa pembentukkan afeksi lebih untuk warna putih dimulai sejak Ramayana. Dalam epos yang tumbuh hampir sekuat agama, publik menempatkan putih, terang, dan bulan sebagai analogi hal-hal baik. Kecantikan Sinta disimilekan seterang bulan oleh Rama. Kenanganku akan wajahmu yang manis hidup kembali karena pemandangan sang bulan (serupa wajahmu) yang terang (hal.43). Sebaliknya, baik dalam versi India maupun Jawa Kuno, tokoh-tokoh jahat diasosiasikan berkulit gelap, senada dengan tindakannya yang melambangkan aura negatif. Keyakinan kuno ini lambat laun memengaruhi bagaimana referensi kecantikan bagi perempuan. Pembentukan demikian semakin menjadi-jadi ketika masa kolonial, orang-orang kulit putih datang dengan strata sosial lebih tinggi dari pribumi. Sepanjang periode kolonial, warna kulit terang atau putih menandakan status yang lebih tinggi (hal.70). Hal demikian terekam pula dalam memoar Hella S Haasse, Oeroeg (1948). Dikisahkan bagaimana Oeroeg yang sejatinya adalah pribumi menyaru menjadi seorang inlander lantaran perbedaan perlakuan bila sudah mengenakan atribut kebelandaan. Posisi terhormat kulit putih menjadi standar orang pribumi semacam Oeroeg di masa penjajahan. Perlakuan dalam hal hukum, ekonomi, sosial, dan penghormatan di masa kolonial, secara diam-diam mengonstruksi pikiran manusia Indonesia. Pada periode ini pula, mulai bermunculan iklan produk kecantikan dalam media cetak. Sebagai bentuk budaya adopsi kolonialisme barat. Produk yang diiklankan adalah produk luar negeri dengan bintang ras kaukasian berkulit terang. Iklan ini nyatanya tidak sekadar membentuk cantik ideal bagi wanita Indonesia, sekaligus mempertebal batas rasis putih dan gelap dan konstruksi gender yang sempit. Lantaran manusia bukan makhluk nokturnal dan berdarah panas, yang lebih banyak beraktivitas di suasana hari terang, tak ayal bila suasana terang lebih disukai. Suasana gelap atau malam lebih untuk istirahat. Namun, menurut Saraswati yang sedikit ganjil adalah menjadikan putih atau terang sebagai standar tunggal dan menganggap kulit gelap atau hitam berada di urutan bawah, di tengah fakta fisiologis kulit orang Indonesia yang sebagian besar tak putih. Bahkan dalam satu wawancara, terungkap beberapa orang beranggapan orang kulit hitam dekat dengan perilaku kriminal. Gelap di Indonesia hari ini dipersepsikan menakutkan, kriminal, bau, kotor, dan aneh (hal.188). Fondasi perihal keunggulan warna kulit putih terus menguat berkat eksposure berlebihan dalam iklan produk pemutih wajah. Tak hanya produk kecantikan impor, produk lokal dengan bintang iklan pun gencar disuguhkan. Tercatat nominal besar digelontorkan untuk iklan pemutih baik di televisi maupun majalah. Sebagai contoh Unilever menghabiskan 97 miliar untuk iklan produk pemutih sepanjang 2003. Bila dibandingkan dengan jumlah biaya iklan sampo anti ketombe yang di kisaran 72 miliar rupiah. Dalam buku ini, sempat disinggung kegagalan pembentukan putih Indonesia di era awal kemerdekaan. Pendirian Soekarno yang hendak Berdikari dan bebas dari pengaruh kolonial (Jepang dan Belanda) serta anti-barat (Amerika) mencoba menawarkan konsep putih yang benar Indonesia. Penolakan untuk menggunakan kata ‘putih’ ini, berikut penggunaan kata-kata lain untuk menandakan warna kulit terang, mencerminkan strategi era kolonial (hal.108). Bila mengikuti istilah Tirto Adhi Soerjo dalam cerita bersambung berjudul “Nyai Ratna” di Medan Prijaji tahun 1909, menggambarkan kecantikan Nyai Ratna dengan ‘sungguh, bukan putih, tetapi kuning’. Sebuah determinasi untuk menyederhanakan cantik Indonesia. Usaha pengukuhan cantik Indonesia ini kembali tumbang bersama muncul Orde Baru yang justu sangat condong ke Amerika. Hingga sekarang muncul sebuah prespektif yang semakin kuat saja, bahwa perempuan yang memiliki kulit putih-terang bukan hanya cantik, memikat, tetapi juga lebih kosmopolitan. Lebih siap melejit dan bersaing dengan perempuan Barat. Buku ini selain mendedah bagaimana putih menjadi rujukan tingkat kosmpolitan seorang perempuan, sekaligus menegaskan bahwa dari zaman Ramayana hingga mileneal, tubuh perempuan akan selalu menjadi materi yang dikupas. Dijadikan sasaran konsumsi produk kecantikan, termasuk pemutih. Dengan pembenaran bahwa putih memiliki nilai lebih atau nilai tukar lebih tinggi. Putih cemerlang yang bukan putih Indonesia. Lantas di domain mana kita harus menyikapi gelap-terang warna kulit kita? Kita akan terus menjadi budak, bila turut labelisasi kosmopolitan dan patuh iklan kecantikan. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |