Kecantikan tidak bisa dilepaskan dari citra tubuh dan seksualitas. Perjalanan panjang sejarah sejak zaman Revolusi Industri di tahun 1830-an, memberikan jejak bahwa mitos kecantikan tak pernah lekang oleh waktu. Kecantikan selalu disematkan dengan bentuk fisik, relasi atau keintiman dengan lawan jenis serta perjodohan dan hubungan seksual. Kita barangkali tak pernah bosan mengagumi tubuh seksi perempuan, karena seks merupakan sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri manusia. Bentuk tubuh perempuan hampir selalu dikaitkan dengan seks, mereka diekspos sedemikian rupa sebagai objek seksual semata. Tidak berhenti di situ, konsep cantik ini kemudian bermetamorfosis dari waktu ke waktu, masing-masing daerah memaknai dan melihat kecantikan perempuan dari berbagai sudut tapi tentunya dengan “mengekploitasi” hampir setiap lekuknya. Figur-figur bentuk tubuh perempuan yang dianggap sebagai ideal ini berevolusi dari masa ke masa. Pada abad pertengahan, bentuk tubuh yang “subur”, perut, lengan yang berdaging dan berisi dianggap memiliki citra kesuburan. Menginjak tahun 1960-an, citra tubuh perempuan bertubuh subur tergeser, digantikan oleh tubuh yang kurus-kering sebagai simbol kecantikan. Hal ini juga dianggap sebagai simbol “pemberontakan”, perempuan ingin membuktikan bahwa mereka bukanlah sekadar alat reproduksi tapi mereka mampu mandiri secara ekonomi, terbuka dan profesional. Bergeser ke era 1980-an, tipe tubuh kurus kering ini mulai tak lagi diminati saat seorang model mulai memperkenalkan tubuh yang atletis, tidak berlemak dan berpayudara kecil sehingga para perempuan mulai berbondong-bondong ke pusat kebugaran. Hingga tahun 1990-2000-an, para perempuan mulai bebas “merenovasi” dirinya ketika teknologi kosmetika memberikan angin segar pada perempuan untuk menyulap bentuk tubuh mereka menjadi kurus dan berdada penuh (Melliana, 2006: 63-70). Begitulah tubuh dikonsepkan dengan seluruh konteks sosial yang menyertainya. Nilai, makna tubuh seseorang ditentukan oleh pengamat atau evaluator diluar pemilik tubuh, aspek tubuh yang mudah teramati menjadi aspek yang lebih dipentingkan. Aspek tersebut adalah penampilan seperti warna kulit, sensualitas atau ukuran-ukuran bagian tubuh tertentu. Praktik inilah yang oleh Fredrickson dan Roberts disebut sebagai praktik objektivikasi. Praktik ini terjadi saat tubuh atau bagian tubuhnya atau fungsi seksualnya dipisahkan dari kediriannya. Proses analisis terhadap tubuh diletakkan dalam konteks sosiokultural, tidak hanya sebagai struktur biologis, melainkan sebagai struktur pengalaman. Maka sebagai struktur pengalaman, makna, fungsi dan idealisasi seseorang atas tubuhnya menjadi rumusan konsep yang tidak tetap, berubah-ubah antar ruang dan waktu ditentukan secara individu dan sosial. Akumulasi dari berbagai bentuk praktik objektivikasi seksual ini dapat membentuk suatu sistem kultural yang disebut kultur objektivikasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam kultur objektivikasi mensosialisasikan pada kaum perempuan agar memperlakukan tubuhnya lebih sebagai objek untuk diamati dan dievaluasi daripada sebagai bagian dari keutuhan subjek yang otonom. Menjadi semakin ironis ketika kultur objektivikasi ini dilakukan oleh pemilik modal, yang menanamkan citra bagaimana seharusnya ukuran tubuh dan penampilan ideal. Mereka memborbardir dengan segala produk kecantikan, jasa memperbaiki penampilan sehingga membuka peluang untuk membentuk cara pandang perempuan terhadap bentuk tubuh ideal. Lebih dari itu, industri-industri kecantikan terus berkembang pesat dan menumbuhkan keraguan perempuan terhadap tubuhnya. Dengan segala cara mereka meyakinkan bahwa tanpa produk tersebut, perempuan tidak akan diinginkan. Demikianlah, tubuh menjadi ajang perebutan kekuasaan ekonomi politik dalam masyarakat industrial. Betapa kita tak lagi berkuasa atas tubuh kita, konstruksi sosial yang ada dalam masyarakat telah menyebabkan perempuan mudah merasa teralienasi dari tubuh mereka sendiri. Tubuh pada akhirnya direduksi hanya menjadi sebuah instrumen yang dapat digunakan untuk menyenangkan orang lain atau dapat memberikan keindahan visual. Ketika tubuh semakin “terpenjara”, identitas perempuan akan semakin dikukuhkan oleh mitos kecantikan, dan tentunya konstruksi yang ditentukan oleh tren pasar dan kaum kapitalis. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |